"Kemasi barang-barangmu, Gladys. Kita akan pulang."
Suara berat milik Steve, membuat Gladys memutar tubuhnya.
Laki-laki bertubuh jangkung dengan tatapan mata sedingin kutub utara itu tengah berdiri di belakangnya, sambil melipat tangannya di dada."Pulang ... kemana?" Gladys menautkan kedua alisnya.
Baginya, pulang adalah kembali ke rumah orang tuanya. Namun, tidak mungkin Steve akan mengantarkannya pulang, terlebih saat rencana baru saja akan dimulai."Ke rumahku. Cepatlah, aku tunggu kamu di bawah.
Setelah berkata, Steve bergegas turun. Sementara Gladys menggaruk kepalanya walau tidak gatal. Dia kembali memandang ke arah deretan bukit yang tampak begitu indah dari balkon kamarnya.
Dia membentangkan kedua tangannya, menghirup sebanyak mungkin udara yang masih begitu segar, sebelum akhirnya masuk untuk membereskan barang-barang yang tidak seberapa.
Ketika mengangkat baju untuk dimasukkan ke dalam ransel, tangannya menyentuh sesuatu yang beradaGladys termenung di dalam kamarnya.Pikirannya berkelana kemana-mana, banyak sekali yang dia pikirkan.Bayangan kedua orang tuanya, menari-nari di pelupuk mata, namun sekuat tenaga mencoba untuk tidak terlalu hanyut dalam kerinduan, sebelum apa yang menjadi keinginannya tercapai."Bapak, Ibu, apa kabar kalian? Lama sekali aku tidak mendengar kabar tentang kalian. Ingin sekali aku memelukmu, Ibu, Bapak. Aku berjanji, setelah membalas rasa sakit hatiku ini, aku akan menemui kalian, aku janji," lirih Gladys."Andai saja aku punya ponsel, mungkin akan lebih bagiku untuk mengetahui keadaan mereka, juga Roy. Dimana dia sekarang?"Gladys mendesah, menyadari kalau selama ini dirinya tidak mempunyai ponsel. Padahal, dengan benda tersebut, tentu akan lebih memudahkan dirinya untuk berkomunikasi.Tok tok tok ...."Gladys, kamu di dalam?" sebuah ketukan di pintu kamarnya, sedetik kemudian, muncul Steve dari balik pintu.Tampak Steve membawa sesuatu d
Gladys berdiri memperhatikan Tania yang sibuk melihat sebuah sepatu.Beberapa kali Tania terlihat mencoba sepatu yang dia pegang dan melihat harga yang tertera di sana."Mbak, berapa harga sepatu yang dipegang oleh wanita yang ada di sana?" Gladys bertanya pada karyawan yang mendampinginya."Oh, itu sekitar tiga puluh juta Nona," jawab gadis itu."Hanya tiga puluh juta?" tanya Gladys lagi.Gadis yang berada di sebelahnya mengangguk.Namun dalam hati, Gladys sangat takjup dengan harga sepatu yang dipegang oleh Tania.Akan tetapi, dia tidak akan menunjukkan rasa terkejutnya. Baginya, tiga puluh juga sangat mahal. Terlebih selama ini, dia hanya mampu membeli sepatu seharga puluhan ribu saja. Itupun hanya ketika sepatunya sudah rusak.Gladys menarik napas dalam, lalu berjalan lebih dekat ke arah Tania.Dengan sudut matanya, Gladys melihat wajah angkuh Tania. Wajah yang selalu dia ingat, karena menjadi bagian dari orang-orang yang telah menghancurka
Gladys kembali melihat kartu nama yang baru diberikan oleh Tania, bibirnya tersenyum.Baru saja dia hendak melangkahkan kaki, tampak Steve berjalan tergesa menuju ke arahnya."Wah, cepat sekali dia datang," gumam Gladys."Apa yang terjadi?!" tanya Steve dengan wajah panik.Gladys yang melihat wajah Steve, menyembunyikan senyumnya. Lalu buru-buru dia berkata, sebelum kemarahan Steve meledak."Mana yang bangus menurutmu?" tanya Gladys sambil menunjuk deretan sepatu di atas rak.Wajah Steve berubah merah padam, tangannya mengepal, lalu dia membuang pandangannya keluar dengan kesal."Kamu memanggilku hanya untuk ini?" tanya Steve dengan suara tertahan."Iya. Aku ingat, kamu punya selera bagus. Bukankah waktu itu kamu pernah membelikan aku sepasang sepatu? Itu bagus sekali," jawab Gladys tanpa rasa bersalah.Steve menarik napas, dan membuangnya kasar.Wajahnya yang semula menegang, kini perlahan menjadi rileks."Tentu saja
Drtt ... drttt ....Ponsel Gladys beberapa kali berdering, membuatnya bergegas melangkah menuju meja, dimana ponsel itu berada.Sebuah nomer tidak dikenal melakukan panggilan."Halo ...." sapa Gladys begitu sambungan terhubung."Hai ... ini Tania, aku dengar dari sekretarismu, saat ini kamu sedang mencari apartemen, apa benar?"Sejenak Gladys termangu mendengar ucapan Tania dari ujung telepon, namun beberapa saat kemudian, dia sudah bisa menetralkan keadaan dan mencerna arah pembicaraan Tania.'Wow, cepat sekali,' pikir Gladys sambil tersenyum."Iya, benar. Apakah sekretaris saya sudah menghubungi anda?" tanya Gladys ramah."Iya, benar. Kemarin dia menghubungiku, dan minta rekomendasi sebuah hunian yang nyaman dan berada di pusat kota." Tania menerangkan.Gladys mengernyit, bingung, entah apa yang harus dia ucapkan. Sementara dia sama sekali tidak mengerti masalah properti. Terlebih rumah mewah."Apakah anda punya rekomendasi?
"Aku tidak percaya bisa melihatmu lagi, Gendis. Aku pikir, setelah mendengar bunyi letusan pistol waktu itu, kamu telah ....""Ssttt ... sudah, jangan menangis. Sekarang kamu lihat sendiri, bukan? Aku masih hidup."Gladys memeluk Suli, menenangkan sahabatnya serta meyakinkan bahwa dirinya masih hidup dan saat ini berdiri tegak di depannya."Bagaimana kamu bisa berubah seperti ini, Gendis? Ups ... Gladys?" Suli meralat nama baru temannya, baginya, menyebut Gendis lebih mudah dibanding Gladys. Walau hanya beda beberapa huruf saja."Tidak apa-apa, kamu tetap bisa memanggilku Gendis, seperti dulu. Asal tidak ada orang lain diantara kita," seloroh Gladys."Bagaimana dengan bayimu? Pasti sekarang sudah besar?"Kembali Gladys bertanya, kali ini sembari memandang perut Suli yang sudah rata. Hal itu membuat Gladys berpikir kalau sahabatnya itu sudah melahirkan.Namun ekspresi wajah Suli berkata lain, matanya memancarkan kesedihan, sambil
Pagi ini, seperti yang telah direncanakan, Gladys dengan ditemani Roy, akan berangkat menuju rumah Dirga.Pagi-pagi sekali, Roy sudah berada di rumah besar Steve untuk menjemput gadis itu.Ditemani pak Markus, Roy menyesap kopi di ruang tengah."Apa kamu baik-baik saja, Roy?" tanya pak Markus. Dari gerak-geriknya, lelaki tua yang telah mengabdikan seumur hidupnya di keluarga Steve itu, bisa menangkap kekhawatiran di mata Roy."Saya tidak apa-apa, Pak. Hanya sedikit kurang tidur saja," ucap Roy, sambil kembali menyesap kopi yang masih mengepulkan asap."Hmm ... begitu, kah? Karena ini masih terlalu pagi untuk datang bertamu," ucap pak Markus, sambil melihat jam yang ada di lengan kirinya."Iya, saya pikir juga begitu. Namun akan lebih baik jika saya minum kopi berdua dengan Bapak di sini, daripada menikmatinya sendirian di rumah." Roy berkata, sebelah tangannya kembali mengangkat cangkir kopi.Pak Markus tersenyum mendengar ucapan Roy, sambil sesek
Untuk beberapa saat, Tania terdiam. Keningnya berkerut, tampak sekali dia sedang memikirkan sesuatu. Bahkan beberapa kali pula, Tania menarik napas dalam.Seperti merasa berat jika harus melepaskan Suli untuk ikut bersama Gladys, sementara gadis yang sekarang ada di depannya belum lama dikenalnya."Bagaimana, apakah saya bisa mendapatkan asisten pribadi sekarang?" tanya Gladys hati-hati."Oh, tentu saja bisa. Bahkan, detik ini pun, dia bisa menjadi asisten pribadi anda. Bukan begitu, Sayang?"Dirga buru-buru menjawab pertanyaan Gladys, sembari berbasa-basi menanyakan pada Tania.Dengan wajah kaget, Tania menjawab, "Tentu saja, kami sangat profesional dalam menjalankan usaha."Senyum mengembang di wajah Tania, juga Dirga. Entah apa yang membuat Tania tiba-tiba menyetujui ucapan Dirga. Padahal, sebelumnya, dia begitu ragu untuk membiarkan Suli mejadi asisten pribadi Gladys.Menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tania dan Dirga, membuat
Mobil yang membawa mereka bertiga sudah memasuki kota, dimana Gladys tinggal.Hari sudah gelap, ketika mobil mewah itu memasuki halaman sebuah rumah mewah. Rumah tuan muda Steve."Dys, ini rumah siapa? Kita tidak salah masuk rumah orang, kan?" tanya Suli dengan suara lirih, ketika mereka berjalan memasuki rumah megah tersebut."Tentu saja tidak, Suli," jawab Gladys sambil tersenyum tipis.Mereka terus berjalan, hingga memasuki ruangan tengah rumah tersebut."Kalian sudah datang rupanya."Pak Markus yang berjalan menghampiri mereka bertiga, berkata."Iya, Pak." Roy menjawab singkat."Gladys, aku sepertinya pernah melihat orang tua ini. Tapi aku lupa. Dimana pernah melihatnya," bisik Suli."Kamu benar, Suli. Kamu memang pernah bertemu sebelumnya. Di rumah Dirga.""Kamu serius?!"Suli membulatkan kedua matanya, menatap pak Markus dari ujung rambut hingga ujung kaki, begitu mendengar penjelasan Gladys yang mengatakan k