Share

6. Playboy 1

RINDU YANG TERLUKA

- Playboy

"Om." Daffa mencium punggung tangan Pak Haslam. Tidak mengira kalau lelaki ini akan menjemput Rinjani. Tapi Daffa tahu kalau beberapa hari yang lalu Pak Haslam hendak mengurus pembebasan bersyaratnya Rinjani, hanya saja sudah keduluan dirinya yang memproses.

"Apa kabar, Nak Daffa?"

"Kabar baik, Om."

"Aku akan pulang ke rumah Om, Mas," sela Rinjani.

"Kamu nggak kangen Noval? Dia menunggumu di rumah karena mas bilang kalau hari ini kamu pulang."

"Hanya Allah yang tahu bagaimana hatiku saat ini," jawab Rinjani dengan netra berkaca-kaca. Kangennya sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana bisa suaminya bertanya apa dia tidak kangen anaknya?

"Aku akan menemuinya nanti malam. Dia harus melihat ibunya dalam keadaan bahagia dan baik-baik saja. Bukan dalam keadaan seperti ini. Aku ingin menenangkan diri dulu." Rinjani menghindari bersipandang dengan suaminya.

Ponsel Daffa bergetar di saku celana. Saat dilihat, tertera nomer rumahnya. Pasti Noval yang menelepon. Anaknya sudah tahu cara menghubungi lewat telepon kabel dari rumah mereka.

"Halo, Noval." Daffa sengaja menekan tombol loud speaker supaya Livia mendengarnya.

"Pa, katanya jemput mama. Kenapa belum pulang-pulang. Noval nungguin!" Suara di seberang membuat hati Rinjani seperti tersayat-sayat. Itu suara anaknya yang ia rindukan sebulan lebih. Air mata tidak terbendung.

"Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang sama mama, ya. Tunggu di rumah."

"Oke, Pa."

Daffa mengembalikan ponsel ke saku celana.

"Noval tidak masuk sekolah hari ini karena menunggumu pulang. Tadi ngotot ingin ikut menjemput, tapi mas melarangnya. Kita pulang. Kasihan kalau dia kecewa lagi."

Rinjani menatap Pak Haslam. Rasanya enggan pulang ke rumah Daffa, tapi hatinya tercabik mendengar suara putranya. Apa dia tega Noval menunggu lagi? Tadi suaranya terdengar penuh harapan.

"Ikulah Daffa. Temui Noval dulu. Kasihan dia menunggumu." Pak Haslam menjawab kebimbangan yang ditunjukkan oleh sorot mata sang keponakan. Dia memahami bagaimana perasaan Rinjani. Antara ego dan naluri seorang ibu.

"Om, kita bicara sebentar!" Rinjani melangkah menjauhi suaminya diikuti oleh Pak Haslam. Sedangkan Daffa masih diam di tempatnya. Menatap curiga dengan apa yang hendak dibicarakan oleh istri dan omnya.

"Saya ingin tetap memproses perceraian setelah wajib lapor saya selesai, Om. Tapi tujuh minggu terlalu lama." Lirih suara Rinjani supaya tidak terdengar sang suami.

"Kita bisa bicarakan nanti setelah kamu terbebas dari wajib lapor. Jaga diri kamu baik-baik."

Rinjani mengangguk. Mungkin sementara kembali ke rumah suaminya untuk menemui putranya dan menyiapkan berkas-berkas untuk gugatan. ATM, uang, dan semua dokumen pribadinya memang masih ada di sana.

Mereka berdua kembali mendekati Daffa. Pak Haslam pamitan pulang. "Om mau pulang dulu, Nak Daffa. Titip Rin, ya."

"Iya, Om." Daffa dan Rinjani mencium tangan Pak Haslam. Menunggu laki-laki itu masuk ke mobilnya dan pergi.

"Rin, duduk di depan!" Pintu depan sudah dibuka oleh Daffa. Namun Rinjani memilih duduk di belakang.

Mobil meluncur meninggalkan rumah tahanan. Rinjani diam memperhatikan sepanjang perjalanan. Hatinya lega bisa menghirup udara bebas, tapi juga terluka. Babak baru akan digelar tujuh minggu setelah hari ini. Ia malas berinteraksi dengan suaminya. Lelaki yang telah mengkhianati pernikahan mereka.

Daffa lupa pada janjinya ketika mereka sepakat untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

"Percayalah aku akan berubah. Nggak mungkin tetap seperti bujangan. Menikahlah denganku, Dokter. Akan kutinggalkan rokok, wine, nongkrong." Itu janji Daffa. Namun menjelang lima tahun pernikahan, Daffa lupa pada komitmennya.

Memang dia tidak merokok, tidak minum, juga tidak pernah nongkrong lagi. Tapi bagaimana dengan perempuan? Daffa akhirnya tergoda juga.

"Dia itu playboy, Rin. Ngapain kamu mau nerima dia. Banyak cowok yang suka sama kamu. Kenapa harus Daffa?" Protes Desy waktu itu. Teman yang menentang keras hubungannya dengan Daffa. Kala itu Rinjani masih sebagai dokter koas di sebuah rumah sakit.

"Tampan, gagah, tajir. Tapi kalau membuatmu sakit hati buat apa."

Setelah itu Rinjani menjauh, Daffa terus mengejar. Akhirnya dokter muda itu kembali luluh. Pesona Daffa memang luar biasa memikat. Ditambah lagi Bu Tiwi yang memberikan lampu hijau pada hubungan mereka. "Daffa banyak berubah setelah bersamamu, Rin. Tante berterima kasih padamu. Kalian cepatlah menikah."

Siapa yang tidak luluh jika sudah mendapatkan restu dari calon mertua. Waktu itu Rinjani sudah menjadi dokter internship di rumah sakit yang sama saat dia koas. Juga sudah mendapatkan SKD atau Sertifikasi Kompetensi Dokter. Daffa yang mengantar jemput saat Rinjani ujian sertifikasi.

Setahun setelah menjadi dokter internship, Rinjani menjadi dokter umum di UGD rumah sakit yang menjadi tempatnya bekerja hingga sekarang. Lalu menikah dengan Daffa di usianya yang ke 26 tahun.

Daffa suami yang sangat mencintai dan memanjakannya. Semua keinginan Rinjani dituruti, tapi Rinjani juga harus mengikuti kemauannya. Termasuk melarangnya buka praktek dan tawaran menjadi dokter jaga di sebuah klinik.

"Menjadi istriku, kamu nggak akan kekurangan apa-apa. Tapi aku tetap memberikan kesempatan padamu untuk bekerja. Karena menjadi dokter adalah cita-citamu sejak kecil, kan?"

Benar, Rinjani tidak kekurangan apapun. Daffa mengajak Rinjani menempati rumah baru setelah enam bulan mereka menikah dan Rinjani sedang hamil anak pertama. Mama mertuanya tambah perhatian dan sayang.

Namun notifikasi pesan dengan kalimat mesra itu telah mengungkap pengkhianatan suaminya.

"Rin, kita mampir dulu ke toko mainan. Beliin oleh-oleh buat Noval." Daffa menoleh pada istrinya. Rinjani yang melamun hanya mengangguk tanpa membalas tatapan. Dia memang harus membawa buah tangan untuk Noval. Sebab yang diketahui anaknya, Rinjani sedang dinas ke luar kota.

Mobil berhenti di depan Playful Minds Emporium. Sebuah toko mainan langganan mereka.

Rinjani memilihkan mainan yang edukatif. Lego, puzzle, stacking toys dan pasir kinetik. Sedangkan Daffa mengambil dua mobil remote control. Padahal di rumah mobil-mobilan seperti itu menumpuk di lemari. Pilihan mereka dalam membelikan mainan untuk sang anak pun berbeda.

"Mau ke mana, Mas?" tanya Rinjani ketika Daffa menarik tangannya dan mengajak masuk sebuah butik. Usai mereka menaruh mainan yang sudah dibeli ke dalam mobil.

"Kita beli baju untukmu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
sabar dulu y Rin untuk saat ini setelah itu hempaskan suamimu.. sementara ini bertahanlah demi Noval..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status