"Gimana Bang, sudah dapat tiket buat aku pulang?"
"Sabar Cin, beberapa daerah lagi terkena dampak asap. Kita belum bisa pergi jauh-jauh bandaranya belum buka."
"Iya Bang. Oh iya makasih ya Bang Iwan udah mau bantuin Nawang selama Nawang ada disini."
"Udah gak usah kayak gitu Cin ... kamu juga bantu abang. Kalau gak ada kamu abang mungkin udah jadi almarhum."
Mereka saling menggenggam tangan. Hubungan mereka memang seperti saudara kandung. Mereka saling menjaga dan melindungi dengan cara mereka masing-masing.
****"Kamu mau beli apa aja, Cin?"
"Aku gak pengen beli apa-apa Bang. Aku cuma mau jalan-jalan aja."
Malam ini, Iwan dan Mawar berjalan berdua di mall terbesar di Pontianak. Disaat yang sama Bagas pun tengah menuju ke mall untuk membeli sepatu kets.
Iwan bertemu beberapa temannya yang sama-sama melambai. Mereka ngobrol seru. Karena bosan Mawar memutuskan melihat-lihat sepatu.
Mawar ingin mengambil sebuah s
Bagas dan Mawar berenang menuju tepian sungai dengan bertopang pada ban mobil. Entah ini kebetulan atau memang nasib mujur, Setyo menaruh ban mobil yang baru Bagas beli di jok belakang.Dengan terengah-engah akhirnya mereka sampai juga di tepian sungai. Bagas langsung rebah di rerumputan, sungguh ini hari yang sial baginya. Bagaimana bisa dia tadi terjun dan berusaha menyelamatkan diri. Lama dia rebahan hingga menyadari kalau dia bersama Mawar. Refleks dia bangun dan mendekati Mawar yang berada di sampingnya."Mawar... Bangun Mawar." Bagas mengguncang bahu dan menepuk pipi Mawar."Mawar! Hei ... mawar buka matamu."Bagas mulai panik. Ia meraba nadi Mawar masih ada lalu nafasnya. Nafasnya lemah."Bagaimana ini, ah ayolah Gas cuma nafas buatan. Kalian bahkan pernah melakukan lebih dari ini." Bagas berucap untuk dirinya sendiri.Bagas melakukan heimlich manuver untuk mengeluarkan air dalam tubuh Mawar setelah itu ia memberinya nafas
Bagas akhirnya bisa menghubungi salah satu temannya untuk membantu membawanya pergi dari desa dimana dia harus menikah dengan Mawar.Bagas sengaja membawa Mawar ke tempat tinggalnya. Sesampainya di sana ternyata Iwan dan Bara sudah berada di sana."Cin ... kamu gak papa? Ada yang luka?" Iwan nampak cemas melihat kondisi Mawar."Lebih baik kita masuk, Bang. Kita bicara di dalam." Bagas memberi saran.Kemudian mereka masuk ke dalam rumah."Mereka siapa Bang? Orang yang berusaha menculikku?" tanya Mawar."Kevin," jawab Bara."Apa? Bukannya Mawar sudah memberikan apa yang dia minta Bang? Satu milyar. Lalu kenapa ...?""Kamu jangan sepolos itu Nawang. Kevin terlalu terobsesi padamu. Tapi sayangnya, istrinya juga terlalu cemburu padamu. Salah satu suruhan Kevin rupanya berbalik arah menuruti perintah Mayang," lanjut Bara."Yang penting sekarang kamu sembunyi dulu, Cin. Kami sudah menemukan tempat persembunyian untuk kamu semen
Prawira marah dan menatap tajam puterinya, Nana."Kamu hamil? Dengan siapa?""Nana ... tidak tahu.""Bodoh kamu! Sekarang siapa yang akan tanggungjawab.""Bagas.""Apa maksudmu?""Bagas, ayah anak ini.""Baik. Lukman panggil Bagas ke sini!" titah Prawira.****Bagas menatap Nana dingin, dia sudah tahu maksud Pak Prawira memanggilnya."Bagas, kamu harus bertanggungjawab dengan kehamilan Nana.""Maaf Pak, saya tak pernah menyentuh puteri anda. Saya menolak, lagian saya sudah punya istri.""Kalau begitu jadikan Nana yang kedua.""Maaf saya tidak mau.""Kamu ... Saya akan penjarakan kamu. Karena menghamili anak saya.""Silakan coba saja atau saya umumkan kepada semua orang seperti apa kelakuan puteri anda. Karena saya punya banyak bukti dan saksi." Aslinya ini hanya gertakan Bagas.Tapi sepertinya berhasil membuat Prawira khawatir bahkan Nana nampak pucat."Gas, s
Bagas turun dari mobil bersama Nawang. Mereka telah sampai disebuah desa terpencil di kecamatan Kalibening, Banjarnegara."Kamu ternyata orang kaya ya Gas," sinis Nawang."Hehehe. Sayangnya semua ini bukan punyaku. Ini milik eyang kakungku."Bagas dan Nawang berjalan menuju gerbang sebuah rumah besar bergaya kuno.Saat sampai di gerbang, Wanto tergopoh-gopoh membuka gerbangnya."Ya Allah Den, ayo masuk. Juragan kakung pasti seneng." Wanto tergopoh menghampiri Bagas dan membawakan barang-barangnya.Saat akan melangkahi pintu, Bagas tertegun sesaat kemudian menapakkan kakinya pada rumah yang penuh kenangan akan luka pada diri Bagas."Bagas!" teriak seseorang."Hohoho, gak nyangka kamu balik ke sini Gas." Sapa Budi kakak sepupu Bagas yang berusia tiga puluh tahun. Satu tahun lebih tua dari Bagas yang kini usianya menginjak dua puluh sembilan tahun."Mas Bagas, Bowo kangen sama Mas Bagas," ucap Bowo yang dua tahun lebih muda
"Kita bakalan tidur di paviliun ini?" tanya Nawang sambil menyisir rambutnya."Iya? Kenapa? Kamu gak suka.""Enggak. Cuma aneh. Eh.. Kamu itu anak yang tak diharapkan ya?""Kenapa kamu bisa berkesimpulan seperti itu?""Kelihatan banget kok dari reaksi semua orang.""Iya kamu betul. Aku ini anak yang tak diharapkan karena terlahir bukan dari rahim wanita kaya atau berdarah bangsawan.""Hem pantes. Semua orang kayaknya benci banget sama kamu. Kecuali satu orang.""Hah ... Siapa?""Seorang wanita cantik, bergelar istri dari Bisma. Kamu tahu gak. Matanya tak lepas menatap kamu penuh cinta. Penuh kerinduan. Huh. Dasar. Kalau suaminya tahu gimana coba?" ucap Nawang berapi-api.Bagas hanya menatap Nawang sambil cengengesan. Bagas suka sekali melihat Nawang kalau sedang kesal entah kenapa justru kecantikannya bertambah jika dia sedang marah atau kesal."Kamu cemburu.""Gak""Terus kenapa sewot."
"Ayo ikut aku.""Kemana?" tanya Nawang."Ada deh."Nawang mengikuti langkah Bagas. Mereka menaiki mobil menuju ke sebuah perkebunan teh yang dimiliki oleh keluarga Bagas."Hemmm ... sejuknya. Ini milik Eyang semua Gas?""Iya."Mereka menikmati suasana sepi dan udara pegunungan yang sejuk. Nawang merentangkan kedua tangannya menikmati hembusan semilir angin nan sejuk. Bagas mengamati tingkah istrinya dan tersenyum.Kemudian mendekati Nawang dan memeluknya dari belakang. Tak lupa menopangkan dagunya pada pundak sang istri."Gas ....""Hem ....""Lepas!""Gak mau. Nyaman kayak gini."Nawang hanya bisa pasrah melihat perlakuan Bagas padanya. Karena mencoba menolak pun, ia akan tetap kalah.Tak jauh dari mereka hanya berjarak sekitar 20 meter terdapat sepasang
Suasana di meja makan berlangsung hening. Semua orang sibuk dengan makannya. Binna dan Betty saling melirik, Eyang putri memasang wajah dingin sedangkan Eyang Kakung memilih makan dengan lahap dibantu oleh mbah Maman."Bagas.""Iya Eyang""Bagaimana perkebunan kita?""Bagas masih berusaha Eyang.""Hehehe. Baiklah. Eyang tunggu kabarnya.""Kamu gak usah merendah Gas, kita semua tahu kok dalam sebulan ini perkebunan sudah mulai stabil. Pabrik teh pun sudah mulai berproduksi lagi khan?" Bisma bersuara."Wuihhhh. Keren. Gak percuma ya Gas kamu kuliah di Biologi." Budi berkata sambil berkelakar namun terlihat jelas nada sindiran pada setiap kata-katanya.Bagas hanya menanggapi keduanya bagai angin lalu. Dia sudah hafal kelakuan semua sepupunya itu."Asal gak kamu jual aja, nanti mau makan apa kamu kalau dijual," ketus Bulik Bet
Hari ini ada sedikit masalah diperkebunan, mau tak mau Bagas harus turut menyelesaikan ditemani oleh Wanto."Den Bagas kelihatan capek sekali?" tanya wanto mengiringi langkah Bagas menuju ke mobil."Iya To, Nawang sama istrimu kan?""Iya Den, saya sudah minta Sri menemani den Nawang. Bahkan Wisnu dan Wati ikut menemani. Mereka suka sama den Nawang."Bagas hanya tersenyum."Den Bagas pinter nyari istri. Saya dulu takut den Bagas gak mau kawin gara-gara dikhianati den Seruni. Tapi syukurlah gak terjadi.""Saya juga gak nyangka To, ternyata rasa sakit itu sudah tidak ada." Ya Bagas akui dulu dia sangat mencintai Seruni sampai susah move on darinya. Tapi entah kenapa, setelah kenal bahkan menikah dengan Nawang rasa cinta Bagas pada Seruni entah menguap begitu saja. Bahkan Bagas sering menertawakan dirinya kenapa terlalu hanyut akan cintanya dulu.Saat mobil mulai melaju dan mulai memasuki kawasan jalan yang dilewati hutan yang masih rimbu