Yudith melepas cepol rambutnya, merapikan dengan kedua tangannya di hadapan tiga laki-laki dalam satu meja. Hampir lima jam nonstop mereka menekuri layar monitor pada satu ruang kontrol kantornya. “Dek ... kamu bisa pulang duluan, lelah sekali sepertinya?” Galuh memberikan kotak tisu ke hadapan adiknya. “Semua lelah Bang, Abang juga pasti. Kita makan dulu, kita setidaknya memberikan makan pada mereka yang kita seret di hari libur. Terima kasih ya Bapak Arman, dan Bapak Rajendra. Maaf waktu liburnya kami ganggu.” Yudith memberikan senyuman hangat dengan rambut sedikit lebih rapi, ia ikat ekor kuda. “Saya tadi hampir mati sendirian, Bu Yudith. Ingat kalau punya kenalan hebat, pak Rajendra ini. Pak Galuh bilang bawa yang bisa dipercaya, jadi saya tarik saja beliau lagi Gym di rumahnya. Maaf ya Pak Rajendra enggak saya kasih waktu ganti pakaian,” kelakar Arman. “Tidak apa-apa Arman, saya memang tidak punya banyak
Yudith tersentak dari lamunan saat sang sekretaris menyapanya untuk kedua kali. Ia jarang sekali melamun di depan pekerjaan yang sedang dikerjakan. Semua karena ucapan-ucapan maaf dari Rajendra minggu lalu ketika ia menyetujui bertemu dengan secangkir capucino hangat. “Kita ada meeting sepuluh menit lagu, Bu,” tukas sekretaris Yudith. “Iya kita jalan sekarang.” Yudith mematikan layar monitor setelah menyimpannya, mengambil tablet untuk ia berikan pada sekretarisnya dan berjalan beriringan. “Ibu belum makan siang tapi, tadi pas jam makan siang katanya tanggung,” ungkap sekretaris mengingatkan. “It’s ok, nanti pulangnya baru makan.” Yudith menjawab dengan mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah tadi pagi ia sarapan atau tidak. “Bu ... anu ... ada bapak Rajendra tapi bersama PT Zeus. Saya baru mengetahui tadi dari pihak Zeus mengatakan mereka akan membawa satu orang yang akan memprogram ker
“Itu yang mau saya minta tolong ke kamu, bisa tolong kamu temani saya ke kamar mandi? atau jangan deh, sampai depan pintu saja,” desah Yudith. “Tentu saja saya akan temani sampai dalam, kalau Ibu jatuh di kamar mandi bagaimana. Sudah bisa bangun, Bu?” Nasa membantu Yudith bangun untuk duduk. “Sory.” Rajendra yang tidak sabar atau lebih tepatnya tidak tega melihat Yudith menahan kesakitan hanya untuk bangun, mengangkat tubuh Yudith ringan. “Nasa tolong bawa infusnya,” titah Rajendra. “I ... iya Pak,” jawab Nasa terbata-bata melihat bagaimana dengan mudahnya Rajendra mengangkat tubuh lemah mantan istrinya. “Aku akan tunggu di luar pintu, jangan banyak protes Yudith kamu pasien dan aku hanya menolong. Lekas ganti dan berbaring.” Rajendra keluar kamar mandi usai mendudukkan Yudith di closet. “Iya,” jawab Yudith pelan. Yudith segera membersihkan diri dan berganti pa
“Wah Ibu ... terima kasih,” jerit tertahan Nasa menggema di depan ruangan Yudith. Yudith terkekeh melihat reaksi sekretarisnya, setelah satu minggu beristirahat pasca kejadian ia kambuh saat meeting, Yudith kembali berangkat bekerja namun tadi ia sempat mampir ke toko ice cream dan roti jadul setelah sehari sebelumnya memesan ice cream kelapa untuk Nasa. Kini di hadapannya Nasa memeluk paper bag berlogo toko tersebut dengan senyuman lebar. “Astaga Nasa ... saya belikan satu galon nanti kalau lihat mata kamu yang berbinar-binar seperti ini. Hari ini kita akan bekerja keras, awas kalau melakukan kesalahan. Lima menit lagi bawa jadwal saya masuk ya.” Yudith melenggang masuk, bersiap bekerja. “Siap Bu, aku simpan ini dulu di pantry sama tulis nama ibu ya biar enggak ada yang berani buka,” kekeh Nasa. “Iya boleh,” timpal Yudith geli sekali. Yudith tengah bergulat dengan layar monitor saat sebuah pe
“Bisa ... sangat bisa aku membuat kamu masuk bui, tapi setelah itu lalu apa? aku akan sama jahatnya kalau begitu. Penyesalan aku bahkan lebih besar dari keinginan aku untuk memasukkan kamu ke sana. Penyesalan karena sudah membohongi mama dan ibu. Aku mengalami masalah mental cukup dalam ... karena penyesalan itu. Sekarang aku sudah sembuh .. jadi tolong jangan diingatkan itu lagi,” tegas Yudith. “Iya maaf ... aku memang selain berbisnis baru, aku sudah menetapkan diri untuk jadi lebih baik. Mungkin kamu enggak pernah percaya ... aku sungguh-sungguh menyesal sama kamu, Yuidth,” tandas Rajendra. Yudith menghela nafas kecil, keputusannya ikut mobil Rajendra sepertinya tidak tepat. Ia sekarang menyesal mengorek luka lama saat diingatkan kembali dengan hal tersebut yang susah payah ia coba singkirkan satu tahun terakhir. Begitu mobil berhenti di lobi kantor, Yudith segera hendak turun akan tetapi tertahan oleh sebuah pertanyaan luar biasa dari
Yudith bukan penggemar clubing maupun hiburan malam, ia dididik sehat oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi saat ia diajak menemani Briana yang tengah bertengkar dengan calon suaminya ke sebuah club, ia tidak mampu menolak. Ia tidak minum tentu saja walau bisa, ia akan menemani, hanya menemani dan berjaga-jaga jika Briana mabuk berat nanti. “Aku enggak mau mengurusi kamu muntah ya, Bri,” tegur Yudith saat botol kedua tandas oleh Briana seorang. “Ini mah gancil, Yudith. Aku biasa lebih keras dari ini. Sialan sekali memang Xander, sudah gua bilang Yudh kalau gua enggak mau pakai kebaya yang ribetnya ampun-ampunan, belum kepala pakai konde segede gaban. Bisa pecah pecah kepala gua, Yudh,” gerutu Briana.Yudith menghela nafas. “Iya sudah minumlah dulu, sana joged. Jangan mau dicolek-colek, tendang langsung burungnya kalau ada yang berani jelalatan tangannya.” “Sialan jangan ingatkan aku untuk tetap jadi anak baik,” kekeh Briana.
“Kenapa bisa terlambat?” bisik Galuh kepada Yudith. Pagi itu Yudith harus menemui salah satu klien bersama Galuh di salah satu ruangan meeting di kantornya. Pertemuan pukul delapan dan Yudith datang pukul delapan lebih lima menit di mana semua tim sudah duduk di sana tengah menunggu dirinya. “Maaf bapak dan ibu sekalian, saya pecah ban mobil saat ke sini. Baik mari kita segera mulai,” tukas Yudith tanpa menjawab pertanyaan sepupunya. Yudith berbohong mengenai pecah ban, ia bahkan tidak membawa mobil dan menaiki ojek online agar cepat sampai kantor. Ia bangun kesiangan dengan kepala berdenyut kencang, jika bukan mamanya yang menggedor pintu secara brutal karena Yudith tidak kunjung turun, maka habislah Yudith tidak akan bangun. “Benar pecah ban? Di mana mobilnya sekarang?” tanya Galuh setelah pertemuan selesai dengan lancar.Yudith meringis. “Aku kesiangan bangun, bang.” “Astaga ... habis nga
“Ada apa dengan klausul nomor sepuluh?” Yudith melanjutkan meeting segera setelah selesai menunggu Rajendra mengobati luka di bibirnya. Yudith menghela nafas panjang setelah meeting selesai namun belum tercapai kesepakatan. Beberapa harus mengalami revisi dari dua belah pihak. Ternyata memang Rajendra pebisnis handal, tidak main-main nominal yang kantornya siapkan dan ditolak mentah-mentah oleh laki-laki tersebut dengan menegaskan ia tidak ingin membahas nominal di awal meeting yang bahkan belum tercapai kesepakatan. “Terima kasih obatnya?” Sebuah suara mengakhiri lamunan panjang Yudith, ia tengah di samping mobil Galuh pada jam pulang kerja. “Kenapa Bapak masih berada di sini? meeting selesai dari siang kan?” Bukan menjawab melainkan Yudith justru bertanya mengapa Rajendra masih berada di sana. “Habis mengopi tadi sama teman di seberang, mobil aku masih di sini.” Rajendra menunjuk mobilnya di ujung bangunan