"Jangan panggil aku Tuan, Bi! Udah berapa kali Zavier suruh buat enggak manggil Zavier dengan Tuan?"
"Eh iya-iya, maaf. Habisnya aden perginya lama, kan Bibi jadi rindu."Zavier membuka tudung hoodienya lebih dahulu. Pria itu tampak santai sekali, sedang wanita yang tampak berumur 40 tahunan itu kembali berucap, "Aden cepat masuk! Di luar angin, tak baik untuk kesehatan aden."Zavier menggeleng kecil. "Udah biasa, Bi. Gak usah khawatir kayak gitu lah," ucapnya kemudian melenggang pergi. Namun, langkahnya terhenti saat teringat sesuatu, sampai ia kembali berbalik dan berbisik pada wanita tersebut. "Oh iya , di belakang ada perempuan, Zavier harap Bi Hawa gak buat dia jantungan," ucapnya setelah itu masuk ke dalam. Wanita bernama Hawa itu menoleh pada seseorang perempuan. Di mana ... Carissa yang kini sedang mematung. Mematung bagaikan patung. "Ka--kalian, kalian si--siaapa?" tanya Carissa dengan gelagapan.Hawa mengerutkan alisnya, wanita itu berjalan mendekat ke arah Carissa. "Bukannya seharusnya aku yang bertanya, kau siapanya Den Zavier?" tanya Hawa membuat Carissa mengidipkan mata untuk beberapa saat. **"Preman?" seru Hawa tertawa renyah. "ya ampun nona, apa yang nona pikirkan?" Wanita yang tampak berumur lebih dari 40 tahunan itu lagi-lagi tertawa. Walau sudah keriput tapi wajahnya tampak masih muda saja. Jiwa mudanya terlihat dari ramahnya dalam berkata. Carissa jadi canggung sendiri. Apa salahnya ia bertanya akan sosok Zavier? Hanya bertanya apa dia preman atau bukan malah ditertawakan begini. Kan jadinya malu sendiri. Niat Carissa yang hendak pergi tadi malah tertahan karena mengetahui sebuah kebenaran, yang mana tentang Zavier sendiri. Seorang laki-laki yang Carissa kira seorang preman, jahat, kejam, arrogant, seorang pencuri bahkan sampai berpikir bahwa lelaki itu tak mempunyai masa depan terhempas sudah. Sebuah kebenaran yang membuatnya tercengang, bahwa Zavier ...? "Dia itu cuma pura-pura berpenampilan seperti itu. Dia bukan seorang preman, justru dia orang paling penting di kota ini." Ucapan Hawa benar-benar membuat Carissa tidak percaya. Otaknya belum bisa diajak kompromi, masih ngelag dengan pikiran berkecamuk. "Sebentar ya? Bibi bawain dulu teh hangat buat kamu.""Eh jangan, Bi. Gak usah!" Carissa langsung menjawab cepat. Hatinya jadi merasa tak enak saja. "Gak pa-pa, tunggu sebentar." Hawa pergi dari meja makannya, sedang Carissa masih terdiam di kursi, mematung dengan pikiran yang kian berkecamuk. "Apa kenyataan ini? Preman itu ... siapa sebenarnya dia?"Carissa menatap bangunan di sini, besar, mewah dan sangat mengkilau. Tak percaya ini, Carissa seperti berada di istana saja, semuanya serba mengkilau dan mewah. Menakjubkan.Sekilas Carissa menunduk, menatap penampilan dirinya sendiri. Lusuh, itulah dirinya sekarang. Aish! Malu sudah dirinya. Dengan pakaian yang sudah lusuh ini membuat Carissa merasa bahwa ia tak pantas menginjakkan kakinya di rumah besar ini. Terasa canggung. Di sana Carissa melihat Hawa berjalan sembari membawa nampan yang berisi gelas dan camilan lain. Hati Carissa semakin tak enak saja. Ah, kenapa tiba-tiba ia jadi disudutkan dengan mereka yang memiliki sebuah rahasia? Apalagi dengan Zavier sendiri? Yang mana tadi ia sudah berprasangka buruk terhadapnya. "Minum dulu, biar pikiranmu lebih fresh!" ucap Hawa tersenyum tipis. Wanita itu duduk berhadapan dengan Carissa. Karena tenggorokannya yang sedari tadi memang sudah kering membuat Carissa mengambil gelas tersebut. Canggung sebenarnya, tapi karena haus ya sudahlah, ia akan menurunkan gengsinya lebih dahulu. Carissa menyeruput pelan teh hangat yang dibuatkan Hawa, begitu terasa enak saat kehangatan itu menelusur masuk ke dalam organnya. Walau merasa lega tapi pikirannya belum merasa lega atas pertanyaan ini. Tentang Zavier! Ia masih penasaran akan dirinya. Carissa menyimpan gelas tersebut, kemudian perempuan itu menatap Hawa dalam diam. Bingung juga mengawalinya seperti apa. "Kau masih penasaran tentang Den Zavier?" tanya Hawa membuat Carissa mengangguk. Hawa tersenyum tipis. "saya kira kau sudah tahu tentangnya, karena masalahnya dia tidak pernah membawa seorang perempuan ke rumahnya." Carissa terkejut, penjelas apalagi ini? "Jangankan membawa, dekat dengan perempuan saja di enggan.""Maksud Bibi, saya perempuan pertama yang---" Belum sempat menuntaskan ucapannya Hawa sudah mengangguk-nganggukan kepala. "Itulah maksudku, makannya aku bertanya demikian," ucapnya. Carissa menggeleng, ia memang mengenal Zavier, hanya saja sebagai seorang preman yang sering meresahkan kompleknya. Dan pun ... pria itu yang selalu menjadi incaran para polisi, bagaimana bisa Carissa tidak mengenal dirinya? "Aku tidak mengenalnya, Bi. Makannya aku juga bertanya pada Bibi. Jadi, sebenarnya Zavier itu siapa?" tanya Carissa dengan jantung berdetak. Namun, sudah beberapa detik lamanya Hawa malah terdiam, tidak membuka suara. "Kau jangan panggil dia dengan nama Zavier!" ucap Hawa setengah berbisik, mata wanita itu menoleh terlebih dahulu ke anak tangga. Takut ada majikannya yang akan turun di sana. "Bagi kami, siapa saja yang memanggil namanya tanpa embel Tuan atau Aden, maka kepalanya akan dipotong!"Refleks Carissa memegang lehernya. Yang benar saja? Hanya karena tak membawa embel Tuan atau Aden, kepala seseorang itu akan dipotong? Apa semua orang di sini seorang psycopat? Carissa merinding, mendadak nyalinya menciut. "Lalu, aku harus memanggilnya apa?" tanya Carissa. Baru saja ia kenal, jadi wajar jika ia mengatai laki-laki itu dengan nama Zavier. "Panggil dengan nama Tuan juga, kau akan selamat," ujarnya memberitahukan. Carissa terdiam, ia hanya mengangguk sebagai respon bahwa ia akan menurut. Memanggil namanya dengan nama Tuan. "Jadi, sekarang bisa Bibi bisa jawab siapa sebenarnya Tuan Zavier?" tanya Carissa lagi. Menyebut nama Tuan membuat Carissa merasa aneh, pasalnya ia kan baru kenal dengan pria itu, jadi masih terasa aneh. "Tuan Zavier ... dia ... eh---Den Zavier?" Tiba-tiba Hawa mengalihkan perhatiannya dalam menatap Carissa. Perempuan itu menoleh ke arah tangga di mana Zavier turun dengan penampilan khasnya. "Mana makanannya, Bi? Zavier udah lapar nih," ucap pria itu yang kini sudah berada di anak tangga. Pria itu berjalan menuju meja makan, sebelum itu ia menoleh pada Carissa yang juga menatapnya. Sedetik berikutnya pandangan keduanya terputus saat mendengar suara Hawa. "Bibi ambilin dulu ya Den. Kebetulan udah dimasak kok," ucapnya kemudian berlalu meninggalkan dua sejoli yang kini sama-sama terdiam. Baik Carissa maupun Zavier keduanya sama-sama terdiam. Entahlah, kenapa tiba-tiba suasana terasa canggung saja, membuat keduanya enggan untuk memulai sebuah pembicaraan. Ah bukan. Lebih tepatnya dari sisi Carissa. Perempuan itu menatap Zavier dengan tatapan terpaku. Penampilan pria itu benar-benar berbeda. Dengan kaos oblong bewarna hitam dan celana pendek bewarna mocca, membuat ketampanan Zavier bertambah dua kali lipat. Berbeda saat pria itu memakai celana bolong-bolong dengan pakaian yang tampak lusuh, pria itu seperti gelandangan saja. Tak hanya itu, rambut yang sering acak-acakan menutup ketampanan Zavier yang sebenarnya. Ah, pria itu bahkan ditatap menyeramkan kala berpenampilan seperti preman. Sekarang siapa yang mengira bahwa lelaki yang dikira preman, tak jelas asal-usul dan tak memiliki masa depan justru menjadi orang terpandang di kota ini? Teringat akan ucapan Hawa tadi, bahwa Zavier seseorang yang terpandang di kota ini. Jika benar begitu lantas ... kenapa pria itu harus berubah seperti seorang preman? Kenapa pria itu sering berkeliaran dikompleknya? Dan kenapa pria itu harus menutup identitas yang sebenarnya? Jadi, siapa sebenarnya Zavier ini? "Kau tidak---""Maaf untuk---"Serempak keduanya membuka suara. Sudah membuka suara, barengan pula, membuat helaan napas dari Zavier terdengar pelan.Malu sudah muka Carissa saat ini. Astaga ... jantungnya lagi-lagi berdegup sangat kencang. "Kau duluan saja," ucapnya membuat Carissa melirik, sekilas. Ia menghembuskan napas terlebih dahulu, mendadak tenggorokannya kering saja. "Maaf." Akhirnya hanya itu yang keluar dari bibir Carissa. Carissa memalingkan muka. Mengingat akan sikapnya yang sedikit keterlaluan membuat ia benar-benar malu. Apalagi sekarang di hadapkan dengan sosok yang asli, jauh dari kepura-puraan membuat ia semakin canggung saja. Selain merasa bersalah, ia juga merasa insecure pada pria di depannya ini. Zavier pria yang sangat tampan, tubuhnya ideal untuk kalangan laki-laki yang memiliki porsi amat menawan. Alisnya tebal, matanya lentik, hidung mancung, bibir tipis, ah, jangan lupakan pada lengannya yang kekar, sungguh! Terlihat seksi secara bersamaan. Sekarang Carissa benar-benar menyesal telah berhadapan dengan pria itu. Harusnya ia pergi saja saat itu daripada tahu yang sebenarnya, yang mana ia sadar kalau i
"Lagipula identitas apa yang kau maksud? Aku bahkan tidak tau siapa kamu." Carissa menormalkan emosinya yang tadi naik beberapa detik. "Jadi, apa yang bisa aku bocorkan?" tanyanya lagi. "Apa Bibi tidak memberitahumu?" Carissa menggeleng. "Bibi hanya mengatakan kalau kau bukan preman, itu saja. Aku salah paham terhadap itu."Zavier terdiam. Sesekali ia menghembuskan napas pelan. "Baiklah, ternyata aku juga telah salah paham," ucapnya. Kemudian dia melanjutkan, "untuk sepatu serta kopermu yang tertinggal ... nanti aku akan mencarinya lebih dahulu. Tapi jika kau ingin yang baru, nanti akan aku ganti.""Banyak kenangan di dalamnya, dan aku tidak ingin kehilangan kenangan tersebut." Walau perkataan Zavier meyakinkan tapi ... koper itu benar-benar sangat berharga untuknya. Di dalam koper tersebut terselip kertas yang kemarin Bianca berikan. Di mana nama panti yang sekaligus tempat dirinya berasal. Ya, kertas tersebut akan menunjukkan nama panti serta alamat panti tersebut. Dengan kata l
"Mas, apa yang Mas lakukan pada Carissa? Kau menganggapnya sudah mati?" ujar Ilma setengah marah. "apa Mas tidak tau apa yang telah kamu perbuat dengan mengusir Carissa?""Itu sudah menjadi keputusanku, Ilma," jawab Fathur tanpa melihat raut geram Ilma. Ia tahu bahwa Ilma kecewa padanya tapi apa yang bisa ia lakukan selain memasrahkan segalanya? Ia juga tak punya pilihan lain. Sebuah kejadian yang tiba-tiba itu membuat Fathur menyesal. Bukan, bukan menyesal atas perkataan yang telah ia lontarkan melainkan menyesal kenapa harus sekarang kejadian ini terjadi? Kenapa saat ia ingin benar-benar melepaskan Carissa dengan cara menikahkannya justru terjadi hal yang tidak ia inginkan? "Tapi kenapa Mas? Apa Mas mau ingkar janji? Begitu?" Nada Ilma sedikit naik membuat Fathur terdiam sesaat. "Dia bukan anakku," ucap Fathur dengan nada lirih. "Justru karena dia bukan anak kita kenapa Mas melakukan ini tanpa pikir panjang ha? Gimana kalau---""Mas tidak punya pilihan Ilma. Mas bingung dihadapka
"Lelaki mana yang mau dengan perempuan gendut coba? Setiap laki-laki pasti akan malu punya istri seperti itu. Gak kebayang pas malam pertama, belum dicoba udah roboh tuh ranjang.""Minimal cantik lah, jadi gendutnya ketutup sama kecantikan. Lah ini? Udah gendut, udik lagi!"Carissa menatap dirinya di depan pantulan cermin. Putaran dari setiap hinaan itu bagaikan kaset rusak yang memenuhi otaknya, terus berputar tanpa henti. Sakit dan sesak sudah menjadi makanan setiap hari. Jika dikata kuat? Tidak. Ia sudah lelah dengan semuanya. Hanya saja selama ini ia kuat karena kedua orangtuanya. Karena mereka ... ia kuat seiring kaki itu melangkah. Namun, kenyataan itu lagi-lagi harus terhempas jauh-jauh. Dirinya ... jatuh kembali. Sosok penguat dalam hidupnya tak lagi bersamanya. Sang Ayah dan Ibu ... mereka bukanlah penguat dirinya. Mereka ... bukan orang tua kandung atas dirinya. "Apa aku sejelek itu?" tanyanya pada dirinya sendiri. Carissa semakin menatap lekat dirinya. Padahal pagi ini
"Adik?" Zavier mengangguk. "Terlalu fokus di dunia intertaiment membuatku melupakan adikku. Melupakan segala hal, sampai saat aku sadar atas semuanya ... aku ingin melepaskan apa-apa yang ada."Zavier Abizar Osean, seorang aktris di dunia intertaiment yang berhasil melepaskan karirnya. Ya, dia adalah aktor dengan sejuta bakat. Siapa yang mengira kalau preman yang sering meresahkan ini ternyata seorang Aktris terkenal? Yang mana amat di pandang oleh masyarakat? Amat dikagum dan dipuja oleh kaum-kaum muda? Lantas kenapa dia tiba-tiba berubah tampak seperti preman? Atau mungkin seperti seorang gelandangan dengan baju yang lusuh nan kotor? Carissa ingat pada foto yang sempat ia lihat. Di dalamnya ada Zavier, Ayahnya, dan Ibunya. Ah, ada satu lagi pria, mungkin itu adalah kakeknya. Kenapa Carissa bisa tahu? Karena keluarga Osean saat itu sedang naik daun, menjadikan keluarga tersebut benar-benar amat dikenal dan dihormati. Ayahnya yang berprofesi sebagai pengacara menjadi alasan orang-
Zavier melepaskan cekalan tangannya pada Carissa. Pria itu dengan refleks menyimpan telapak tangannya di kening Carissa, membuat sang empu menatap heran Zavier. "Apa yang kau lakukan?" tanya Carissa di tengah keadaan resah begini. Zavier, bukannya membantu pria itu malah menyimpan telapak tangannya di kening Carissa. "Aku takut otakmu koslet, jadinya memastikan---Aw!" Zavier meringis saat Carissa menginjak sandalnya, mana sakit lagi. "Kau kira aku tidak waras?" tanya Carissa dengan napas memburu. Padahal ia sudah mengatakan apa maksudnya, tapi pria itu... "Heh, yang kau bicarakan itu ngelantur! Bisa-bisanya kau melupakan orangtua mu," ucap Zavier. "Orang tua yang mana? Orang tua yang mengumumkan kalau aku udah mati, iya?" Zavier terdiam, mendengar Carissa tampak emosional membuat bibirnya tak berani berkata. "Dia bukan orang tuaku! Mereka ... hanya keluarga baik yang rela menampung anak seperti diriku ....""Kejadian kemarin yang terjadi ... itu dilakukan oleh adikku sendiri. Di
"Ya ... gak gitu juga konsepnya, Zav." Carissa menggaruk tengkuknya yang tak gatal, mendengar penuturan tersebut membuatnya menggelengkan kepala. Menjadi gelandangan? Yang benar saja! "Tapi itu satu-satunya cara agar kita bisa menemukannya kembali," ucap Zavier. Carissa terdiam sejenak, menghiraukan ucapan Zavier yang malah membuatnya pusing saja. Bukan apa-apa, tapi ... jika konsepnya begini ya mana mau ia? Masa harus benar-benar menjadi gelandangan? Sudah fisiknya yang serba kurang, masa ditambah dengan hal beginian? Tidak, tidak! Membayangkannya saja sudah membuat Carissa akan menangis. Sebegitu menderitanya kah ia dalam menjalani hidup? Sampai-sampai dunia benar-benar membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya! "Menurutku ... kau tidak usah membantuku dalam hal ini," ucap Carissa setelah selain menit terdiam. "aku tidak ingin kau kena masalah lain nantinya."Dahi Zavier mengerut. "jangan anggap aku membantumu, tapi anggap aku yang bertanggung jawab karena sudah menghilangkannya!" Tau
Tuk! "Aw!" Carissa meringis kala Zavier dengan tiba-tiba menyentil keningnya. Perempuan itu menyentuh keningnya. "Kau mau buat wajahku sehitam kayak gimana lagi? Sedari tadi kau terus saja memberikan arang padaku!" Eh? Refleks Carissa tersadar dari apa yang telah ia lakukan pada Zavier. Terkejut muka Carissa saat mendapati wajah hitam diwajah Zavier. Benar saja perkataan pria itu, bahwa dirinya telah memperburuk wajah Zavier yang sebelumnya tampan. Bukannya minta maaf Carissa malah tertawa ngakak. "Wajahmu?" tanyanya tertawa lepas. Carissa benar-benar tak percaya ini. Yang ia lihat ini bukan Zavier, melainkan sosok manusia menyeramkan yang tampak seperti hantu saja. Yang terlihat hanyalah mata dan gigi putihnya. "Ish! Kau---""Maaf, aku benar-benar gak sengaja." Akhirnya Carissa berkata demikian. Melihat raut kekesalan Zavier membuat perasaan bersalah itu hadir. "Ck!" Zavier memutar matanya malas. Tanpa aba-aba ia mengambil sebuah kain yang ada di saku celananya. "bersihkan!"