Share

6. Kukira Preman. Ternyata...

"Jangan panggil aku Tuan, Bi! Udah berapa kali  Zavier suruh buat enggak manggil Zavier dengan Tuan?"

"Eh iya-iya, maaf. Habisnya aden perginya lama, kan Bibi jadi rindu."

Zavier membuka tudung hoodienya lebih dahulu. Pria itu tampak santai sekali, sedang wanita yang tampak berumur 40 tahunan itu kembali berucap, "Aden cepat masuk! Di luar angin, tak baik untuk kesehatan aden."

Zavier menggeleng kecil. "Udah biasa, Bi. Gak usah khawatir kayak gitu lah," ucapnya kemudian melenggang pergi. Namun, langkahnya terhenti saat teringat sesuatu, sampai ia kembali berbalik dan berbisik pada wanita tersebut. 

"Oh iya , di belakang ada perempuan, Zavier harap Bi Hawa gak buat dia jantungan," ucapnya setelah itu masuk ke dalam. 

Wanita bernama Hawa itu menoleh pada seseorang perempuan. Di mana ... Carissa yang kini sedang mematung. Mematung bagaikan patung. 

"Ka--kalian, kalian si--siaapa?" tanya Carissa dengan gelagapan.

Hawa mengerutkan alisnya, wanita itu berjalan mendekat ke arah Carissa. 

"Bukannya seharusnya aku yang bertanya, kau siapanya Den Zavier?" tanya Hawa membuat Carissa mengidipkan mata untuk beberapa saat. 

**

"Preman?" seru Hawa tertawa renyah. "ya ampun nona, apa yang nona pikirkan?" Wanita yang tampak berumur lebih dari 40 tahunan itu lagi-lagi tertawa. Walau sudah keriput tapi wajahnya tampak masih muda saja. Jiwa mudanya terlihat dari ramahnya dalam berkata. 

Carissa jadi canggung sendiri. Apa salahnya ia bertanya akan sosok Zavier? Hanya bertanya apa dia preman atau bukan malah ditertawakan begini. Kan jadinya malu sendiri. 

Niat Carissa yang hendak pergi tadi malah tertahan karena mengetahui sebuah kebenaran, yang mana tentang Zavier sendiri. Seorang laki-laki yang Carissa kira seorang preman, jahat, kejam, arrogant, seorang pencuri bahkan sampai berpikir bahwa lelaki itu tak mempunyai masa depan terhempas sudah. Sebuah kebenaran yang membuatnya tercengang, bahwa Zavier ...? 

"Dia itu cuma pura-pura berpenampilan seperti itu. Dia bukan seorang preman, justru dia orang paling penting di kota ini." Ucapan Hawa benar-benar membuat Carissa tidak percaya. Otaknya belum bisa diajak kompromi, masih ngelag dengan pikiran berkecamuk. 

"Sebentar ya? Bibi bawain dulu teh hangat buat kamu."

"Eh jangan, Bi. Gak usah!" Carissa langsung menjawab cepat. Hatinya jadi merasa tak enak saja. 

"Gak pa-pa, tunggu sebentar." Hawa pergi dari meja makannya, sedang Carissa masih terdiam di kursi, mematung dengan pikiran yang kian berkecamuk. 

"Apa kenyataan ini? Preman itu ... siapa sebenarnya dia?"

Carissa menatap bangunan di sini, besar, mewah dan sangat mengkilau. Tak percaya ini, Carissa seperti berada di istana saja, semuanya serba mengkilau dan mewah. Menakjubkan.

Sekilas Carissa menunduk, menatap penampilan dirinya sendiri. Lusuh, itulah dirinya sekarang. 

Aish! Malu sudah dirinya. Dengan pakaian yang sudah lusuh ini membuat Carissa merasa bahwa ia tak pantas menginjakkan kakinya di rumah besar ini. Terasa canggung. 

Di sana Carissa melihat Hawa berjalan sembari membawa nampan yang berisi gelas dan camilan lain. Hati Carissa semakin tak enak saja. 

Ah, kenapa tiba-tiba ia jadi disudutkan dengan mereka yang memiliki sebuah rahasia? Apalagi dengan Zavier sendiri? Yang mana tadi ia sudah berprasangka buruk terhadapnya. 

"Minum dulu, biar pikiranmu lebih fresh!" ucap Hawa tersenyum tipis. Wanita itu duduk berhadapan dengan Carissa. 

Karena tenggorokannya yang sedari tadi memang sudah kering membuat Carissa mengambil gelas tersebut. Canggung sebenarnya, tapi karena haus ya sudahlah, ia akan menurunkan gengsinya lebih dahulu. 

Carissa menyeruput pelan teh hangat yang dibuatkan Hawa, begitu terasa enak saat kehangatan itu menelusur masuk ke dalam organnya. Walau merasa lega tapi pikirannya belum merasa lega atas pertanyaan ini. 

Tentang Zavier! Ia masih penasaran akan dirinya. 

Carissa menyimpan gelas tersebut, kemudian perempuan itu menatap Hawa dalam diam. Bingung juga mengawalinya seperti apa. 

"Kau masih penasaran tentang Den Zavier?" tanya Hawa membuat Carissa mengangguk. 

Hawa tersenyum tipis. "saya kira kau sudah tahu tentangnya, karena masalahnya dia tidak pernah membawa seorang perempuan ke rumahnya." 

Carissa terkejut, penjelas apalagi ini? 

"Jangankan membawa, dekat dengan perempuan saja di enggan."

"Maksud Bibi, saya perempuan pertama yang---" Belum sempat menuntaskan ucapannya Hawa sudah mengangguk-nganggukan kepala. 

"Itulah maksudku, makannya aku bertanya demikian," ucapnya. Carissa menggeleng, ia memang mengenal Zavier, hanya saja sebagai seorang preman yang sering meresahkan kompleknya. Dan pun ... pria itu yang selalu menjadi incaran para polisi, bagaimana bisa Carissa tidak mengenal dirinya? 

"Aku tidak mengenalnya, Bi. Makannya aku juga bertanya pada Bibi. Jadi, sebenarnya Zavier itu siapa?" tanya Carissa dengan jantung berdetak. Namun, sudah beberapa detik lamanya Hawa malah terdiam, tidak membuka suara. 

"Kau jangan panggil dia dengan nama Zavier!" ucap Hawa setengah berbisik, mata wanita itu menoleh terlebih dahulu ke anak tangga. Takut ada majikannya yang akan turun di sana. 

"Bagi kami, siapa saja yang memanggil namanya tanpa embel Tuan atau Aden, maka kepalanya akan dipotong!"

Refleks Carissa memegang lehernya. Yang benar saja? Hanya karena tak membawa embel Tuan atau Aden, kepala seseorang itu akan dipotong? Apa semua orang di sini seorang psycopat? 

Carissa merinding, mendadak nyalinya menciut. 

"Lalu, aku harus memanggilnya apa?" tanya Carissa. Baru saja ia kenal, jadi wajar jika ia mengatai laki-laki itu dengan nama Zavier. 

"Panggil dengan nama Tuan juga, kau akan selamat," ujarnya memberitahukan. 

Carissa terdiam, ia hanya mengangguk sebagai respon bahwa ia akan menurut. Memanggil namanya dengan nama Tuan. 

"Jadi, sekarang bisa Bibi bisa jawab siapa sebenarnya Tuan Zavier?" tanya Carissa lagi. Menyebut nama Tuan membuat Carissa merasa aneh, pasalnya ia kan baru kenal dengan pria itu, jadi masih terasa aneh. 

"Tuan Zavier ... dia ... eh---Den Zavier?" Tiba-tiba Hawa mengalihkan perhatiannya dalam menatap Carissa. Perempuan itu menoleh ke arah tangga di mana Zavier turun dengan penampilan khasnya. 

"Mana makanannya, Bi? Zavier udah lapar nih," ucap pria itu yang kini sudah berada di anak tangga. Pria itu berjalan menuju meja makan, sebelum itu ia menoleh pada Carissa yang juga menatapnya. Sedetik berikutnya pandangan keduanya terputus saat mendengar suara Hawa. 

"Bibi ambilin dulu ya Den. Kebetulan udah dimasak kok," ucapnya kemudian berlalu meninggalkan dua sejoli yang kini sama-sama terdiam. 

Baik Carissa maupun Zavier keduanya sama-sama terdiam. Entahlah, kenapa tiba-tiba suasana terasa canggung saja, membuat keduanya enggan untuk memulai sebuah pembicaraan. 

Ah bukan. Lebih tepatnya dari sisi Carissa. Perempuan itu menatap Zavier dengan tatapan terpaku. Penampilan pria itu benar-benar berbeda. Dengan kaos oblong bewarna hitam dan celana pendek bewarna mocca, membuat ketampanan Zavier bertambah dua kali lipat. Berbeda saat pria itu memakai celana bolong-bolong dengan pakaian yang tampak lusuh, pria itu seperti gelandangan saja. 

Tak hanya itu, rambut yang sering acak-acakan menutup ketampanan Zavier yang sebenarnya. Ah, pria itu bahkan ditatap menyeramkan kala berpenampilan seperti preman. Sekarang siapa yang mengira bahwa lelaki yang dikira preman, tak jelas asal-usul dan tak memiliki masa depan justru menjadi orang terpandang di kota ini? 

Teringat akan ucapan Hawa tadi, bahwa Zavier seseorang yang terpandang di kota ini. Jika benar begitu lantas ... kenapa pria itu harus berubah seperti seorang preman? Kenapa pria itu sering berkeliaran dikompleknya? Dan kenapa pria itu harus menutup identitas yang sebenarnya? 

Jadi, siapa sebenarnya Zavier ini? 

"Kau tidak---"

"Maaf untuk---"

Serempak keduanya membuka suara. Sudah membuka suara, barengan pula, membuat helaan napas dari Zavier terdengar pelan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status