Zavier kembali dengan dua botol minum ditangannya. Pria itu berinisiatif membeli minuman untuk dirinya dan Carissa. Namun, matanya mengerut karena tak mendapati Carissa ada di sini, ke mana dia? Zavier ingat bahwa Carissa duduk di gubuk ini, hal itu pula membuat Zavier tak khawatir apabila ia meninggalkan Carissa seorang diri, karena kebetulan ia pergi hanya untuk membeli minum. Tapi, saat ia kembali kenapa dirinya tak mendapati Carissa? Zavier menelusurkan bola matanya ke sekeliling, namun tak ia dapati Carissa. "Apa jangan-jangan dia pergi sendiri?" gumam Zavier menyimpan terlebih dahulu dua botol minum di dekat gubuk, pria itu kembali melirik sana-sini. "Atau aku tunggu saja di sini sampai dia datang sendiri?" tanyanya pada dirinya sendiri. Perasaannya semakin tidak enak saja, tapi juga ia tak punya pilihan lain selain berdiam diri terlebih dahulu. Karena tak kunjung datang Zavier memilih untuk tidur saja, lumayan, semalam ia kurang tidur jadi agaknya akan terasa nyaman apabil
Zavier menepuk jidatnya sendiri, masih mencerna atas ucapan Carissa padanya. "Zav, bantuin ya?""Apa kau tidak waras? Kau meminta buat langsing padaku? Yang benar saja!" Zavier menggeleng. "apa otakmu bergeser setelah keluar dari dalam toilet? Atau jangan-jangan otakmu terbawa arus bersamaan warna kuning---"Carissa melotot, perempuan itu mencubit punggung tangan Zavier, membuat bibir itu langsung terkatup. "Zav, kemarin kamu sempet nanya, apa aku gak mau balas dendam sama pria yang sudah menghancurkan hidupku? Kamu bahkan bilang bakal mau membantuku.""Kapan?""Tadi.""Aku tak pernah menawarkan," ucap Zavier keukeuh. "Dih lupa, kamu sendiri yang bilang itu kemarin.""Kau tidak pandai berbohong!" Zavier berdecak, apa-apaan perempuan itu, bilangnya tadi, lah kenapa jadi kemarin? "Aku tidak berbohong!" jawab Carissa tegas. Zavier menghembuskan napas gusar. Untuk hari ini niat baiknya benar-benar diuji! "Ayolah, Zav. Bantuin ya?" Carissa memegang lengan Zavier, memohon penuh agar p
"Zav, gimana? Apa berat badanku sudah turun?" tanya Carissa sembari menilik-nilik tubuhnya. "Ck! Yang benar saja? Hanya melakukan sekali tak memungkinkan langsung berubah jadi langsing Risa ...." "Kenapa? Kamu bilang tadi katanya lari di sore hari itu nurunin berat badan?""Memang, tapi gak harus sekali jadi, apa-apa juga kan butuh kesabaran dulu, jadi ... buat kamu yang kepengen turun berat badan, ya harus bersabar. Katanya orang sabar itu disayang Tuhan, nah kalo udah sayang kan bisa tuh minta doa?"Carissa tampak cemberut, bukan pada perkataan Zavier yang berhasil menyinggung dirinya melainkan pada pakaian yang dikenakan Carissa masih belum longgar. Huh, ternyata ucapan Zavier justru ada benarnya kalau dirinya harus bersabar lebih dahulu. Sekarang keduanya tengah duduk yang entah di mana. Yang jelas tempat itu kosong, tak ada orang yang berlaku atau melintas. Apalagi untuk kendaraan beroda empat dan dua, tidak ada sama sekali. Setelah tadi habis berlarian membuat keduanya beris
"Sialan!" teriak Arkan murka. Pria itu merasa tidak terima atas pukulan yang ia dapat dari laki-laki rendahan seperti Zavier, membuat pria itu hendak membalas pukulan Zavier, namun sebelum itu. "Udah, Ar! Berurusan dengan mereka hanya akan membuat mereka semakin gila." Wanita yang tadi bersama Arkan langsung menahan gerakan pria itu. "Tapi, San?""Udah, biarin aja! Lebih baik kita pergi daripada terjadi masalah lain," bisiknya membuat Arkan pada akhirnya menurut. Pria itu menatap tajam Zavier. "Kenapa, heh? Kau takut padanya?" tanya Carissa tertawa mengejek. "Dasar pria m****m!" Arkan mengeraskan rahangnya. Pria itu menatap tajam pula Carissa. Merasa benar-benar direndahkan membuat Arkan mengepalkan tangannya. "Ingat ini, Arkan! Apa yang barusan kamu lakukan akan aku laporkan pada Bianca! Biar dia tau bahwa ternyata pria yang dia cintai justru melakukan---""Siapa yang akan mengira kalau dia akan tau? Hah, wanita b0doh itu justru akan berlutut di bawah kakiku saking takutnya kehi
“Harusnya kamu bilang sama aku, Zav! Kenapa malah sembunyiin semuanya sendirian? Apa kau tidak mengerti kalau aku khawatir?”“Kak, bukan begitu. Tapi—-”“Lihat keadaanmu sekarang, aktris papan atas yang terkenal diberbagai televisi seorang gelandangan?” Dia Alan, tertawa lucu walau sebenarnya tidak lucu. “dan apa ini?” Alan menyentuh kalung rantai yang dikenakan Zavier, pria itu menariknya dari kaos yang dikenakan Zavier. “ kau seorang gelandangan apa preman?”“Kau tau artinya sedang trend? Nah, preman berkedok gelandangan ini sedang naik daun, jadi wajar saja aku melakukan cara begini.” Ucapan Zavier mendapat gelengan dari Alan. Tampak raut tidak percaya pada majikannya ini. “Bukan begitu Zavier … tapi yang kamu lakukan ini membuat semua orang merasa gempar, kau tidak tau kan apa yang telah terjadi 2 tahun setelah kepergianmu yang memilih pergi dari rumah?”“Aku tidak perlu tau dan tidak ingin tau!” ucap Zavier dengan cepat. Baginya semuanya hanyalah kemuakan! Ia sudah muak atas apa
“Apapun yang berkaitan dengan Winda dan putrinya, tutup semua kasus itu! Yang mati biarkan hidup tenang di sana, kita tidak perlu mengungkit permasalahan yang sudah berlalu.” “Kematian Winda berada di rumah sakit jiwa, dan itu membuktikan bahwa dia mati saat kondisinya tidak baik-baik saja. Wajar, karena kecelakaan yang terjadi membuat otaknya bergeser, menjadikan Winda setengah gangguan jiwa.”Ucapan tersebut terdengar kepada Zavier yang hendak masuk ke ruangan sang Ayah. Mendengar nama Ibunya disebut membuat Zavier mengurungkan niat untuk menyapa. Pria itu mendekatkan diri ke pintu, mendengar setiap ucapan yang didengar. “Ya, gunakan kata-kataku tersebut sebagai pembuktian bahwa dia benar-benar sudah mati. Aku tidak ingin ada seorang pun yang tau kalau sebenarnya mereka masih hidup.”Ucapan Zayn berikutnya berhasil membuat Zavier mematung di tempat, benar-benar mematung! Pria itu sedikit memundurkan langkah, niat hati yang ingin berbincang dengan sang Ayah berubah menjadi rasa kes
Bukannya marah Alan malah semakin menggoda Zavier. Ah, pria itu sama seperti dulu, jika cinta tidak pernah bisa jujur. “Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda. Sekarang katakan lagi, apa yang kalian lakukan malam-malam begini di penginapan? Apa ….” Lagi-lagi Alan membawa pikiran Zavier ikut negatif, membuat Zavier sudah bersiap meninju perut Alan. “Apa kalian tidak punya rumah?” Alan seakan tau arti tatapan tajam Zavier. Pria itu sedikitnya tidak bisa disinggung, untuk itu ia harus hati-hati dalam berkata. “Aku tidak semiskin itu untuk tidak mempunyai rumah,” jawabnya setengah membanggakan diri. “Sombongg …” seru Alan dengan nada jengah. Zavier kalau sudah besar kepala pasti membuat Alan mual. Tapi tidak juga, sebenarnya Zavier tidak suka membanggakan dirinya, atau berbangga diri atas apa yang dia capai. Zavier itu … sedikit berbeda dari yang lain. Sedikit. Zavier tersenyum bangga. “tentu saja, sebuah pencapaian patut disombongkan!”Alan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Baikla
“Kita ke ruang ganti dulu, pakaianmu harus diganti terlebih dahulu.” Alan yang berjalan lebih dulu berucap demikian. Di belakang Carissa mengerutkan keningnya. “Kenapa harus ganti?”“Kau mau ditatap aneh oleh mereka?” Alan berhenti dari langkahnya, pria itu menelusurkan tatapan mata ke area sekitar. Carissa ikut merotasikan dalam memandang, seketika nyalinya menciut saat tatapan orang-orang yang lewat memandang aneh padanya. Carissa menunduk, tersadar bahwa baju yang ia pakai begitu lusuh nan kotor. Astaga … pantas saja ia dipandang aneh. Carissa cengengesan. “emangnya tidak apa-apa?” Carissa yang takut merepotkan orang lain meminta terlebih dahulu kepada Alan, ia takut apabila pria di hadapannya ini merasa kerepotan sendiri. “Tidak masalah, ayo!” Alan kembali berjalan sedang Carissa merasa tak enak hati. Ah, kenapa jadi secanggung ini? “Nama kamu siapa?” Di tengah perjalanan menuju ruang pakaian Alan bertanya. Di dalam penginapan ini memang terdapat ruangan khusus berbelanja pak