“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” Ameera meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Alvan yang kuat.Alih-alih mendengarkan ucapan Ameera dan melepaskannya, sosok jangkung itu justru menulikan pendengarkannya dan terus menarik perempuan itu pergi. Tak pelak, langkah Alvan yang lebar, membuat Ameera kesulitan dalam mengimbangi. Bahkan, tak jarang ia sampai terseok-seok, lantaran cepatnya laki-laki itu berjalan.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari.Meski begitu, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikirannya tengah kacau dan perasannya tidak karuan. Dia terus menarik Ameera dan membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan kembali bersama Ameera. “Kalian berdua keluar dari
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangannya yang kabur, menyiratkan kesenduan. Seolah-olah ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan. Masih terbayang di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkannya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir merasa sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu,” monolognya pada diri sendiri.Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan. Ia melanjutkan langkahnya, berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh lebih r
Alvan membawa Ameera menuju kamar. Perempuan di dalam gendongannya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menghiraukannya dan merancau lirih dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” bisik Ameera dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Menundukkan kepalanya sekilas, Alvan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan kemudian mempercepat langkah kakinya. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera tiba-tiba tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkannya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa dengannya?” Dengan segera, Alvan mengang
Ameera terbangun dengan perasaan linglung. Membawa atensinya ke sekeliling, dia terkejut tatkala menyadari jika saat ini, ia telah berada di dalam kamar. Padahal, seingat Ameera ia sedang dikurung oleh ibu mertuanya di gudang bawah sore tadi. “Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah Mama mengurungku di gudang?” gumamnya di sela-sela kebingungan.Mendudukkan dirinya, Ameera menyandarkan punggung kurusnya ke sandaran kasur. “Sepertinya Mas Alvan tidak ada.” Sebelah tangan Ameera tergerak untuk membuka kain cadar yang dikenakan, sehingga dia bisa bernapas dengan lebih leluasan. “Tubuhku, rasanya sakit sekali,” monolog perempuan itu seraya merenggangkan otot-otot pundaknya yang menegang.Di sela-sela kegiatannya, pergerakan Ameera tiba-tiba terhenti tatkala teringat sesuatu. “Mas Alvan? Dia yang menyelamatkanku dari gudang?” lirihnya tak yakin. Bayangan akan Alvan yang membuka pintu dan menghampirinya di gudang, remang-remang terputar di dalam memorinya.Ameera tersenyum tipis. Hatinya me
Pagi menjelang siang itu, Ameera sedang duduk sendirian di kursi santai. Matanya terpaku pada kolam renang di hadapannya yang airnya tenang. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya melalui sela-sela kain cadar yang dikenakan, mengusir panas dan sesak yang bergumul di dalam dadanya. Sekalipun dia berada di Mansion megah. Namun, tidak menutupi kesepian di hatinya.Ameera merenungi Nasib hidupnya yang pahit. Masa lalunya tidak seindah yang dibayangkan. Kenangan-kenangan yang menyakitkan terus menggelayut di pikirannya. Ia teringat dengan ucapan ibu Panti yang mengatakan jika saat bayi, dirinya ditelantarkan di depan pintu panti asuhan dan tumbuh di sana, pengalaman berpindah tempat tinggal dengan orang tua asuh yang berbeda, mendapatkan perlakuan kurang mengenakan, seperti dipukuli, di siksa dengan berat di usianya yang masih terlalu kecil, tidak terlewatkan. Sampai pada saat di mana dia bertemu dengan Via dan Sulistyo, orang tuanya yang sekarang, barulah Ameera bisa merasakan kehangatan dan
Di sudut ruangan dengan pencahayaan yang redup, Alvan tengah memegang ponsel miliknya. Setelah keresahan yang dialaminya semalam, laki-laki jangkung itu benar-benar menghubungi Eldome, pamannya yang berada di Amerika untuk meminta saran. Akhir-akhir ini, emosinya menjadi tidak stabil. Entah apa yang terjadi, Alvan merasa seolah-olah ada bagian di dalam dirinya yang telah berubah, sehingga Alvan merasa dia perlu membagikan masalah yang dimiliki dengan sang paman.“Ada apa, Alvan? Tidak biasanya kau menghubungiku terlebih dahulu?” Suara berat Eldome, terdengar melalui sambungan telpon.“Ada sesuatu yang ingin aku diskusikan denganmu, Paman. Itu tentang ….” Suara Alvan tiba-tiba tercekat. Dia nampak ragu untuk memberitahukan apa yang tengah ia rasakan kepada Eldome.“Aku dengar, kini kau telah menikah, Alvan,” sambut Eldome berhasil membuat Alvan terkesiap.“Kau mengetahuinya juga, Paman?” tanya laki-laki itu di sela-sela keterkejutannya.Gelak renyah terdengar dari Seberang telpon. “Kau
***Ameera berdiri di tengah-tengah keramaian. Hiruk-pikuk ruangan yang seharusnya dipenuhi tawa dan kebahagiaan, kini terasa penuh dengan kesesakan. Belum lagi gaun pengantin indah yang dikenakan terasa berat. Namun, tidak sebanding dengan beban yang menghimpit di dadanya. Menilik sedikit ke bawah, di tangannya, terdapat sebuah ponsel, di mana baru saja ia menerima pesan singkat yang berhasil mengubah segalanya.Uknow|Maaf, Ameera. Saya Brian, Papa Alex. Baru saja, Alex mengalami kecelakaan. Saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, dia menghembuskan napas terakhirnya.Perempuan itu menangkup mulutnya karena terkejut. “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Alex ....” Ameera merasa dunianya seakan runtuh. Calon suaminya, yang saat ini seharusnya berada di sampingnya, kini terbujur kaku di rumah sakit. Ia mencoba menahan air matanya. Namun, tidak mampu. Seketika itu juga, air matanya luruh. Dadanya terasa begitu sesak lantaran kepahitan yang baru saja menimpanya.“Aku tidak menyangka, ka
Di sebuah kamar yang dihias dengan pernak-pernik dekorasi indah, terdapat seorang wanita muda yang tengah menatap nanar dirinya dari pantulan cermin rias yang berada di hadapannya. Semerbak aroma kelopak bunga yang bertaburan menyeruak di indra penciuman, berhasil memberikan kesan rileks bagi siapa saja yang berada di sana.Kemelut rasa melanda bersama dengan sampainya kabar duka mengenai kecelakan yang menimpa Alex. Perlahan, cairan bening menetes dari kedua sudut mata yang dinaungi bulu-bulu lentik. Bayangan akan kesungguhan Alex dalam melamarnya terus menari-nari di benak Amera. Butuh waktu yang cukup panjang, bagi mereka untuk bisa sampai di tahap ini. Lalu, dalam sekejap mata semua harapan itu pupus tak bersisa. Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh Ameera bahwa pernikahan indah yang dia impikan harus berakhir bersama dengan duka mendalam. Dalam perjalanan menuju tempat resepsi, sebuah truk besar menabrak mobil yang dikendarai oleh Alex beserta seorang kepercayaannya, Owen. Naa