Ameera mengusap keringat di dahinya setelah sebelumnya menyelesaikan pekerjaan di mansion keluarga Septihan yang luas. Kali ini, tubuhnya terasa lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan ia yang telah beristirahat semalaman dan meminum obat.Selagi tertegun di dalam kamar, pikiran Ameera tiba-tiba melayang pada sosok Alvan. Saat ini, suaminya itu pasti sedang sibuk bekerja. Entah apa yang terjadi ia mulai memikirkan sebuah rencana, yakni, ingin membuatkan bekal makan siang spesial untuk Alvan.“Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah ide yang buruk,” monolognya pada dirinya sendiri.Setelah mencoba memantapkan diri, akhirnya Ameera berjalan keluar kamar menuju dapur. Bukan dapur utama yang selalu digunakan oleh para pelayan untuk menyiapkan makanan bagi keluarga mereka, melainkan sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk kegiatan memasa
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruang pribadi Alvan, membuat Jay yang berdiri di depan pintu menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang mengenakan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya ke titik ini. Titik di mana hatinya hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untukku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah.” Sembari mengusap air matanya kasar, Ameera terus berlari kencang.Namun, karena dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia pergi. Orang-orang ya
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” Ameera meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Alvan yang kuat.Alih-alih mendengarkan ucapan Ameera dan melepaskannya, sosok jangkung itu justru menulikan pendengarkannya dan terus menarik perempuan itu pergi. Tak pelak, langkah Alvan yang lebar, membuat Ameera kesulitan dalam mengimbangi. Bahkan, tak jarang ia sampai terseok-seok, lantaran cepatnya laki-laki itu berjalan.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari.Meski begitu, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikirannya tengah kacau dan perasannya tidak karuan. Dia terus menarik Ameera dan membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan kembali bersama Ameera. “Kalian berdua keluar dari
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangannya yang kabur, menyiratkan kesenduan. Seolah-olah ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan. Masih terbayang di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkannya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir merasa sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu,” monolognya pada diri sendiri.Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan. Ia melanjutkan langkahnya, berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh lebih r
Alvan membawa Ameera menuju kamar. Perempuan di dalam gendongannya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menghiraukannya dan merancau lirih dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” bisik Ameera dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Menundukkan kepalanya sekilas, Alvan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan kemudian mempercepat langkah kakinya. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera tiba-tiba tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkannya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa dengannya?” Dengan segera, Alvan mengang
Ameera terbangun dengan perasaan linglung. Membawa atensinya ke sekeliling, dia terkejut tatkala menyadari jika saat ini, ia telah berada di dalam kamar. Padahal, seingat Ameera ia sedang dikurung oleh ibu mertuanya di gudang bawah sore tadi. “Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah Mama mengurungku di gudang?” gumamnya di sela-sela kebingungan.Mendudukkan dirinya, Ameera menyandarkan punggung kurusnya ke sandaran kasur. “Sepertinya Mas Alvan tidak ada.” Sebelah tangan Ameera tergerak untuk membuka kain cadar yang dikenakan, sehingga dia bisa bernapas dengan lebih leluasan. “Tubuhku, rasanya sakit sekali,” monolog perempuan itu seraya merenggangkan otot-otot pundaknya yang menegang.Di sela-sela kegiatannya, pergerakan Ameera tiba-tiba terhenti tatkala teringat sesuatu. “Mas Alvan? Dia yang menyelamatkanku dari gudang?” lirihnya tak yakin. Bayangan akan Alvan yang membuka pintu dan menghampirinya di gudang, remang-remang terputar di dalam memorinya.Ameera tersenyum tipis. Hatinya me
Pagi menjelang siang itu, Ameera sedang duduk sendirian di kursi santai. Matanya terpaku pada kolam renang di hadapannya yang airnya tenang. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya melalui sela-sela kain cadar yang dikenakan, mengusir panas dan sesak yang bergumul di dalam dadanya. Sekalipun dia berada di Mansion megah. Namun, tidak menutupi kesepian di hatinya.Ameera merenungi Nasib hidupnya yang pahit. Masa lalunya tidak seindah yang dibayangkan. Kenangan-kenangan yang menyakitkan terus menggelayut di pikirannya. Ia teringat dengan ucapan ibu Panti yang mengatakan jika saat bayi, dirinya ditelantarkan di depan pintu panti asuhan dan tumbuh di sana, pengalaman berpindah tempat tinggal dengan orang tua asuh yang berbeda, mendapatkan perlakuan kurang mengenakan, seperti dipukuli, di siksa dengan berat di usianya yang masih terlalu kecil, tidak terlewatkan. Sampai pada saat di mana dia bertemu dengan Via dan Sulistyo, orang tuanya yang sekarang, barulah Ameera bisa merasakan kehangatan dan
Di sudut ruangan dengan pencahayaan yang redup, Alvan tengah memegang ponsel miliknya. Setelah keresahan yang dialaminya semalam, laki-laki jangkung itu benar-benar menghubungi Eldome, pamannya yang berada di Amerika untuk meminta saran. Akhir-akhir ini, emosinya menjadi tidak stabil. Entah apa yang terjadi, Alvan merasa seolah-olah ada bagian di dalam dirinya yang telah berubah, sehingga Alvan merasa dia perlu membagikan masalah yang dimiliki dengan sang paman.“Ada apa, Alvan? Tidak biasanya kau menghubungiku terlebih dahulu?” Suara berat Eldome, terdengar melalui sambungan telpon.“Ada sesuatu yang ingin aku diskusikan denganmu, Paman. Itu tentang ….” Suara Alvan tiba-tiba tercekat. Dia nampak ragu untuk memberitahukan apa yang tengah ia rasakan kepada Eldome.“Aku dengar, kini kau telah menikah, Alvan,” sambut Eldome berhasil membuat Alvan terkesiap.“Kau mengetahuinya juga, Paman?” tanya laki-laki itu di sela-sela keterkejutannya.Gelak renyah terdengar dari Seberang telpon. “Kau