Pagi menjelang siang itu, Ameera sedang duduk sendirian di kursi santai. Matanya terpaku pada kolam renang di hadapannya yang airnya tenang. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya melalui sela-sela kain cadar yang dikenakan, mengusir panas dan sesak yang bergumul di dalam dadanya. Sekalipun dia berada di Mansion megah. Namun, tidak menutupi kesepian di hatinya.Ameera merenungi Nasib hidupnya yang pahit. Masa lalunya tidak seindah yang dibayangkan. Kenangan-kenangan yang menyakitkan terus menggelayut di pikirannya. Ia teringat dengan ucapan ibu Panti yang mengatakan jika saat bayi, dirinya ditelantarkan di depan pintu panti asuhan dan tumbuh di sana, pengalaman berpindah tempat tinggal dengan orang tua asuh yang berbeda, mendapatkan perlakuan kurang mengenakan, seperti dipukuli, di siksa dengan berat di usianya yang masih terlalu kecil, tidak terlewatkan. Sampai pada saat di mana dia bertemu dengan Via dan Sulistyo, orang tuanya yang sekarang, barulah Ameera bisa merasakan kehangatan dan
Di sudut ruangan dengan pencahayaan yang redup, Alvan tengah memegang ponsel miliknya. Setelah keresahan yang dialaminya semalam, laki-laki jangkung itu benar-benar menghubungi Eldome, pamannya yang berada di Amerika untuk meminta saran. Akhir-akhir ini, emosinya menjadi tidak stabil. Entah apa yang terjadi, Alvan merasa seolah-olah ada bagian di dalam dirinya yang telah berubah, sehingga Alvan merasa dia perlu membagikan masalah yang dimiliki dengan sang paman.“Ada apa, Alvan? Tidak biasanya kau menghubungiku terlebih dahulu?” Suara berat Eldome, terdengar melalui sambungan telpon.“Ada sesuatu yang ingin aku diskusikan denganmu, Paman. Itu tentang ….” Suara Alvan tiba-tiba tercekat. Dia nampak ragu untuk memberitahukan apa yang tengah ia rasakan kepada Eldome.“Aku dengar, kini kau telah menikah, Alvan,” sambut Eldome berhasil membuat Alvan terkesiap.“Kau mengetahuinya juga, Paman?” tanya laki-laki itu di sela-sela keterkejutannya.Gelak renyah terdengar dari Seberang telpon. “Kau
***Ameera berdiri di tengah-tengah keramaian. Hiruk-pikuk ruangan yang seharusnya dipenuhi tawa dan kebahagiaan, kini terasa penuh dengan kesesakan. Belum lagi gaun pengantin indah yang dikenakan terasa berat. Namun, tidak sebanding dengan beban yang menghimpit di dadanya. Menilik sedikit ke bawah, di tangannya, terdapat sebuah ponsel, di mana baru saja ia menerima pesan singkat yang berhasil mengubah segalanya.Uknow|Maaf, Ameera. Saya Brian, Papa Alex. Baru saja, Alex mengalami kecelakaan. Saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, dia menghembuskan napas terakhirnya.Perempuan itu menangkup mulutnya karena terkejut. “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Alex ....” Ameera merasa dunianya seakan runtuh. Calon suaminya, yang saat ini seharusnya berada di sampingnya, kini terbujur kaku di rumah sakit. Ia mencoba menahan air matanya. Namun, tidak mampu. Seketika itu juga, air matanya luruh. Dadanya terasa begitu sesak lantaran kepahitan yang baru saja menimpanya.“Aku tidak menyangka, ka
Di sebuah kamar yang dihias dengan pernak-pernik dekorasi indah, terdapat seorang wanita muda yang tengah menatap nanar dirinya dari pantulan cermin rias yang berada di hadapannya. Semerbak aroma kelopak bunga yang bertaburan menyeruak di indra penciuman, berhasil memberikan kesan rileks bagi siapa saja yang berada di sana.Kemelut rasa melanda bersama dengan sampainya kabar duka mengenai kecelakan yang menimpa Alex. Perlahan, cairan bening menetes dari kedua sudut mata yang dinaungi bulu-bulu lentik. Bayangan akan kesungguhan Alex dalam melamarnya terus menari-nari di benak Amera. Butuh waktu yang cukup panjang, bagi mereka untuk bisa sampai di tahap ini. Lalu, dalam sekejap mata semua harapan itu pupus tak bersisa. Sungguh, tidak pernah terbayangkan oleh Ameera bahwa pernikahan indah yang dia impikan harus berakhir bersama dengan duka mendalam. Dalam perjalanan menuju tempat resepsi, sebuah truk besar menabrak mobil yang dikendarai oleh Alex beserta seorang kepercayaannya, Owen. Naa
Rintik gerimis membasahi bumi pertiwi. Di bawah langit malam yang memayungi alam semesta, terlihat lautan manusia yang datang berbondong-bondong ke pemakaman guna mengiringi peristirahatan terakhir Alexander Septihan. Siang tadi, kabar duka datang menimpa keluarga besar David Septihan. Pria berusia sekitar 24 tahun yang seharusnya menikah pada hari ini dan akan memulai hidup bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya, kini telah pergi untuk selama-lamanya menuju kepangkuan Yang Maha Kuasa.Banyak yang merasa sedih atas kepergian Alex. Kematian, tidak ada yang tahu kapan ia datang menjemput. Kehadirannya tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kemunculannya pun menjadi rahasia di antara ribuan nyawa manusia. Bisa jadi, sekarang kita merasa sehat dan baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu satu-dua detik kedepan, raga telah meregang nyawa menyusul mereka yang terlebih dahulu telah pergi.Serangkaian proses pemakaman telah selesai dilaksanakan. Satu-persatu dari orang-orang yang ikut mengantar k
“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai dengan ritual shalat malam bergumam.Sejak tadi, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak kunjung bisaa tidur, Ameera pun memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat malam dengan tujuan mencari ketenangan diri.“Apa jangan-jangan, Mas Alvan beneran enggak pulang?” monolog perempuan itu begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi.“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”Diletakkannya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera teralih pada botol air kosong yang juga di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide terlintas di kepala Ameera. “Siapa tahu sebentar lagi Mas Alvan pulang. Sebaiknya aku buatkan teh hangat untuknya.” Diraihnya botol tabung berbahan kaca itu lalu membawanya ke dapu
Pagi itu, Ameera sedang berkutat di dapur. Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri, sebuah peran yang harusnya diisi dengan kebahagiaan dan harapan. Namun, bagi Ameera, ini adalah peran yang dia ambil dengan hati yang berat dan mata yang masih berkabung atas kepergian Alex, cinta pertamanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis.“Sebaiknya aku membuat sesuatu untuk sarapan pagi.” Sebenarnya, pelayan telah melarang Ameera untuk masuk ke dalam dapur dan membiarkan mereka yang melakukan semua pekerjaan ini. Namun, Ameera bersikeras melakukannya.Di ambilnya beberapa bahan dan sayuran dari dalam lemarai es lalu mencucinya hingga bersih. Dengan lihai perempuan itu memotong sayuran untuk omelet. Ameera tersenyum penuh arti di sela-sela kegiatannya. Meskipun ini bukanlah pernikahan yang diinginkan, dia telah memutuskan untuk tidak menangis lagi dan mengikhlaskan semua yang terjadi. Sekalipun suaminya saat ini masih belum bisa menerima kehadirannya sebagai seorang istri.Ameer
Ameera menghela napas lega, menatap langit biru yang cerah sambil menggantungkan pakaian terakhir di jemuran yang sebelumnya telah dicucinya. Di atas sana, matahari bersinar dengan hangat, tetapi tidak sehangat harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Dia mengusap keringat di dahinya, kemudian membawa atensinya memandangi sekeliling mansion megah, yang kini lantainya berkilau dan halamannya bersih tanpa daun yang berserakan.Di mansion yang luas ini, setiap sudut biasanya dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitasnya masing-masing. Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan mereka, melainkan karena ini merupakan perintah khusus dari Bianca, mertuanya yang cukup sulit untuk dihadapi.Bianca, wanita yang tegas dan berwibawa itu, memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan rumah dengannya. Ame