Pagi itu, Ameera sedang berkutat di dapur. Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri, sebuah peran yang harusnya diisi dengan kebahagiaan dan harapan. Namun, bagi Ameera, ini adalah peran yang dia ambil dengan hati yang berat dan mata yang masih berkabung atas kepergian Alex, cinta pertamanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis.
“Sebaiknya aku membuat sesuatu untuk sarapan pagi.” Sebenarnya, pelayan telah melarang Ameera untuk masuk ke dalam dapur dan membiarkan mereka yang melakukan semua pekerjaan ini. Namun, Ameera bersikeras melakukannya.
Di ambilnya beberapa bahan dan sayuran dari dalam lemarai es lalu mencucinya hingga bersih. Dengan lihai perempuan itu memotong sayuran untuk omelet. Ameera tersenyum penuh arti di sela-sela kegiatannya. Meskipun ini bukanlah pernikahan yang diinginkan, dia telah memutuskan untuk tidak menangis lagi dan mengikhlaskan semua yang terjadi. Sekalipun suaminya saat ini masih belum bisa menerima kehadirannya sebagai seorang istri.
Ameera menghela napas lega sembari meletakkan panci terakhir di atas meja makan yang besar. Tenang saja, sebelum melakukan semua ini, dia telah meminta izin khusus untuk memasak sarapan pagi ini, itulah sebabnya meski tidak diizinkan oleh para pelayan, Ameera tetap melakukannya. Tentu saja, ia ingin menunjukkan kemampuannya dan mungkin, untuk mendapatkan sedikit pengakuan dari keluarga Alvan yang baru.
Brian, orang pertama yang memasuki ruang makan, diikuti oleh David, kakek Alvan itu walaupun telah lanjut usia tetapi tetap terlihat bijaksana. Keduanya tersenyum lebar saat aroma masakan menyambut indra penciuman mereka. “Wah, apa yang kamu masak, Ameera? Sangat menggugah selera,” kata Brian sambil duduk di kursinya.
David, yang sudah jarang menunjukkan ekspresi karena usianya, tampak terkejut dan senang. “Ini mengingatkanku pada masakan mamamu dulu,” ucapnya kepada Brian, yang baru saja bergabung di meja dengan ekspresi yang lebih lembut dari biasanya.
Brian mengangguk. “Aah, Papa benar. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang yang mirip dengan mediang Mama,” sambut Brian menyetujui. Tatapan pria paruh baya itu tertuju pada Ameera dengan rasa terima kasih yang tidak diucapkan. Dia tahu betul usaha yang telah Ameera lakukan untuk pagi ini.
Saat semua orang mulai duduk, Bianca—ibu Alvan berjalan memasuki ruangan dengan langkah anggun. Namun, diselimuti aura dingin. Matanya segera menangkap piring-piring yang penuh dengan hidangan buatan Ameera tanpa minat. “Oh, jadi kita tidak menggunakan layanan pelayan hari ini?” tanyanya dengan nada bicara ketus.
Ameera menelan ludah, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh sikap Bianca. Dia tahu betul, kepergian Alex merupakan pukulan besar bagi ibu mertuanya itu. Tidak heran, jika saat ini Bianca membencinya. “Saya hanya ingin mencoba memasak sesuatu, Ma,” jawab Ameera berusaha tetap tenang.
Tidak menghiraukan Ameera, Bianca duduk dengan di kursi yang selalu tersedia untuknya, memeriksa setiap hidangan dengan tatapan kritis. Namun, ketika dia mencicipi omelet yang dibuat Ameera, sejenak ada kilatan kepuasan di wajahnya, sebelum dia kembali menutupinya dengan ekspresi datar. “Biasa saja. Tidak ada yang istimewa,” ucap Bianca sembari meletakkan sumpit ke atas tatakan.
Brian dan David mulai memuji masakan Ameera, mengatakan betapa lezatnya hidangan tersebut. “Kamu punya bakat, Ameera,” kata Brian, sambil mengambil porsi kedua.
David mengangguk setuju. “Ini sarapan terbaik yang pernah aku makan dalam waktu yang lama,” tambahnya, membuat hati Ameera terasa hangat.
Di tengah-tengah kegiatan sarapan yang berlangsung, Alvan berjalan menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa sembari mengenakan dasi, matanya sesekali melirik jam di tangan yang berdetak dengan teratur. Pagi ini, dia terburu-buru hendak menuju kantor. Ada rapat penting yang menunggu dan harus dia hadiri guna menentukan arah masa depan perusahaan yang kini berada di bawah tanggung jawabnya.
Melihat hal tersebut membuat Ameera berniat menawarinya agar sarapan bersama. Bangkit dari duduk, ia berjalan menghampiri suaminya dengan senyum yang lembut. “Sarapan sudah siap, Mas. Siapa tahu Mas Alvan mau mencicipinya dulu sebelum berangkat kerja,” ajaknya, dengan nada bicara penuh harap.
Menghentikan langkah, Alvan membawa atensinya ke sekeliling dan berhenti pada pemandangan di ruang makan. Di sana semua orang telah berkumpul bersama, dengan hidangan di atas meja. Alih-alih menerima ajakan Ameera, laki-laki dalam balutan jas yang gagah itu justru menggeleng singkat. “Aku tidak punya waktu. Ada rapat penting yang harus aku hadiri,” jawabnya singkat, dingin dan tegas.
Sontak, penolakan Alvan tersebut membuat Brian tidak terima. “Hey, Son. Kemarilah. Istrimu telah memasak. Kau sarapanlan terlebih dahulu!” serunya memerintah.
Menghela napas panjang, Alvan kembali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Tidak bisa, waktunya sudah tidak sempat. Aku sarapan di kantor saja,” tolaknya tidak berminat. Tanpa sepatah kata lagi, dia mengambil tas kerjanya kemudian bergegas keluar dari rumah, meninggalkan Ameera yang berdiri dengan perasaan kecewa yang mendalam.
Sementara itu di tempatnya, Brian mendesah berat. Sosok jangkung yang kini berjalan menuju pintu keluar itu memiliki pribadi yang kompleks, dia terbelenggu oleh rasa sakit dan kewajiban. Di matanya, Ameera hanyalah bayangan dari adiknya yang telah meninggal, seseorang yang terpaksa harus dia nikahi dan tidak pernah bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan. Dia menikahi Ameera bukan karena cinta, melainkan karena tekanan darinya yang telah menjanjikan perusahaan keluarga sebagai imbalan atas pernikahan tersebut.
“Tidak apa-apa, Ameera. Mas Alvan sedang buru-buru. Mungkin lain kali, Mas Alvan akan sarapan bersama.” Ameera menatap pintu yang baru saja tertutup di depannya dan mencoba menenangkan diri.
Tak pelak, ada kecewa yang mendera relung hatinya. Kehangatan sarapan yang telah ia siapkan perlahan menguap. Ameera telah bangun lebih awal, memastikan bahwa setiap hidangan dibuat dengan sempurna, di mana dia berharap, Alvan akan menghabiskan sedikit waktu untuk menikmati hasil jerih payahnya.
Berjalan menghampiri meja makan, Ameera kembali duduk di tempatnya. Melihat sorot mata yang sendu itu Brian merasa tidak enakan. Berdeham beberapa kali, pria paruh baya itu mencoba membuka kembali topik pembicaraan yang sempat senyap. “Ameera, kau juga sarapan bersama kami. Lihat, masakan ini keburu dingin nantinya.”
Sepasang mata indah Ameera menyipit bak bulan sabit. “Iya, Pa.”
“Terima kasih untuk sarapannya, Ameera. Ini sangat lezat,” ucap David bersungguh-sungguh.
“Sama-sama, Kek,” balas Ameera sopan.
“Ck, masakan biasa saja. Kalian memujinya berlebihan!” ketus Bianca menohok.
“Ma, berhentilah bersikap ketus. Dia menantu kita,” tegur Brian.
Memutar bola matanya malas, Bianca melipat kedua tangannya ke depan. “Mustahil aku bersikap ramah terhadap seseorang yang telah membunuh putraku!”
Ucapan Bianca bak belati yang menyayat-nyayat jantung Ameera. Kebencian wanita paruh baya itu terlalu mendalam dan kental. Meskipun kecelakaan itu bukanlah sesuatu yang mereka inginkan. Namun, Ameera tetap merasa bersalah akan hal itu.
“M-maafkan Ameera, Ma,” ucap Ameera getir.
Deritan kursi terdengar mengiringi David yang bangkit dari duduk. “Berhentilah menyalahkan. Semua ini sudah kehendak Tuhan. Brian, sebaiknya kau bawa istrimu beristirahat, dan Ameera, kau lanjutkan sarapanmu, aku hendak mencari udara segar di taman belakang,” ujar pria senja itu dengan bijak. Setelahnya, Brian pun melenggang pergi meninggalkan ruang makan.
Tidak membantah, Brian segera mengangguk patuh. “Baik, Pa.” Menoleh ke samping, ia menatap sang istri. “Sebaiknya kita beristirahat,” ucapnya lalu mulai membawa Bianca berjalan ke kamar untuk beristirahat.
Di tempatnya, Ameera termenung dalam diam. Ada banyak sekali hal berat yang dia rasakan. Mulai dari patah hati, menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya dan menghadapi mertuanya yang sangat membencinya dan menyalahkan kematian Alex padanya. Menghela napas panjang, Ameera mencoba menenangkan diri.
“Oh, aku harap aku bisa menghadapi semua hal berat ini.”
Ameera menghela napas lega, menatap langit biru yang cerah sambil menggantungkan pakaian terakhir di jemuran yang sebelumnya telah dicucinya. Di atas sana, matahari bersinar dengan hangat, tetapi tidak sehangat harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Dia mengusap keringat di dahinya, kemudian membawa atensinya memandangi sekeliling mansion megah, yang kini lantainya berkilau dan halamannya bersih tanpa daun yang berserakan.Di mansion yang luas ini, setiap sudut biasanya dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitasnya masing-masing. Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan mereka, melainkan karena ini merupakan perintah khusus dari Bianca, mertuanya yang cukup sulit untuk dihadapi.Bianca, wanita yang tegas dan berwibawa itu, memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan rumah dengannya. Ame
Dinginnya malam, terasa menusuk hingga tulang-belulang. Di atas kasur, Ameera terjaga dari tidurnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata tatkala rungunya menangkap deru napas lembut seseorang.“Sshhh.” Perempuan itu meringis tatkala merasakan pening yang teramat sangat di kepalanya. Masih dengan mata berat yang terbuka, Ameera terkejut saat netranya menangkap sosok Alvan yang tengah tertidur dengan posisi terduduk di samping pembaringan. “Mas Alvan? Kenapa Mas Alvan tidur di sini?” gumamnya lirih.Sembari sedikit membenarkan kain cadar yang dikenakan, ruang di antara kedua alis Ameera berkerut tatkala merasakan sesuatu di atas keningnya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil sesuatu yang mengganjal tersebut. “Handuk kecil?” Ia memandangi handuk di tangannya dengan perasaan bingung.Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera kembali menatap sosok jangkung yang kini masih terlelap itu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi? Semalam ….” Ameera mencoba mengingat-ingat kembali
Sinar matahari pagi menyelinap masuk, menerangi ruang makan keluarga Septihan, menciptakan aura yang hangat. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana yang dingin. Bianca, yang sedang duduk di ujung meja memasang wajah tegang, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran untuk melampiaskan kekesalannya.“Melihatmu berjalan seperti itu, aku pikir kamu hanya berpura-pura sakit, Ameera. Ck, Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga,” cibir Bianca saat mendapati Ameera berjalan memasuki ruangan dengan langkah yang masih goyah.Sorot mata Bianca begitu menghunus, seolah siap menguliti menantunya hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-kata tajam.Brian, yang duduk di samping Bianca, menghela napas berat. “Cukup, Ma,” katanya dengan suara rendah. Namun sarat akan ketegasan. “Mama lup
Ameera mengusap keringat di dahinya setelah sebelumnya menyelesaikan pekerjaan di mansion keluarga Septihan yang luas. Kali ini, tubuhnya terasa lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan ia yang telah beristirahat semalaman dan meminum obat.Selagi tertegun di dalam kamar, pikiran Ameera tiba-tiba melayang pada sosok Alvan. Saat ini, suaminya itu pasti sedang sibuk bekerja. Entah apa yang terjadi ia mulai memikirkan sebuah rencana, yakni, ingin membuatkan bekal makan siang spesial untuk Alvan.“Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah ide yang buruk,” monolognya pada dirinya sendiri.Setelah mencoba memantapkan diri, akhirnya Ameera berjalan keluar kamar menuju dapur. Bukan dapur utama yang selalu digunakan oleh para pelayan untuk menyiapkan makanan bagi keluarga mereka, melainkan sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk kegiatan memasa
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruang pribadi Alvan, membuat Jay yang berdiri di depan pintu menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang mengenakan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya ke titik ini. Titik di mana hatinya hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untukku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah.” Sembari mengusap air matanya kasar, Ameera terus berlari kencang.Namun, karena dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia pergi. Orang-orang ya
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” Ameera meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Alvan yang kuat.Alih-alih mendengarkan ucapan Ameera dan melepaskannya, sosok jangkung itu justru menulikan pendengarkannya dan terus menarik perempuan itu pergi. Tak pelak, langkah Alvan yang lebar, membuat Ameera kesulitan dalam mengimbangi. Bahkan, tak jarang ia sampai terseok-seok, lantaran cepatnya laki-laki itu berjalan.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari.Meski begitu, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikirannya tengah kacau dan perasannya tidak karuan. Dia terus menarik Ameera dan membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan kembali bersama Ameera. “Kalian berdua keluar dari
Semilir angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di pekarangan luas. Di bawah langit senja yang indah, Ameera berjalan lunglai memasuki teras mansion. Pundaknya menurun lesu, pandangannya yang kabur, menyiratkan kesenduan. Seolah-olah ia baru saja melewati hari yang kurang menyenangkan. Masih terbayang di benak Ameera bagaimana ia berusaha keras membuatkan bekal makan siang untuk Alvan. Namun, saat mencoba mengantarkannya ke kantor, ia justru disambut dengan respon kurang baik oleh suaminya. Persitegangan terjadi, dengan Alvan yang menuding Ameera dengan pernyataan ini dan itu, sehingga membuat perempuan itu berakhir merasa sakit hati.“Oh, apa yang kamu pikirkan, Ameera. Sudahlah, semua sudah berlalu,” monolognya pada diri sendiri.Menghela napas panjang, Ameera mencoba melupakan beban berat di hatinya dan fokus kembali dengan tujuan serta rencana masa depan. Ia melanjutkan langkahnya, berjalan memasuki pintu utama mansion dengan perasaan yang jauh lebih r
Alvan membawa Ameera menuju kamar. Perempuan di dalam gendongannya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya. Bahkan, ketika Alvan mencoba memanggil-manggil namanya, Ameera tetap tidak menghiraukannya dan merancau lirih dengan kedua mata tertutup.“Tolong, buka pintunya. Ameera takut,” bisik Ameera dengan suara rendah hingga nyaris tak terdengar kalau saja Alvan tidak memiliki rungu yang tajam.Menundukkan kepalanya sekilas, Alvan terkesiap melihat kondisi Ameera yang semakin memprihatinkan kemudian mempercepat langkah kakinya. Sesampainya di dalam kamar, sosok jangkung itu menurunkan Ameera, bermaksud menyuruhnya agar segera beristirahat. Namun, baru saja telapak kaki perempuan itu menyentuh lantai, Ameera tiba-tiba tidak sadarkan diri dan jatuh ke dalam pelukan Alvan.“Ameera, Ameera.” Alvan yang terkejut, menepuk-nepuk wajah Ameera yang tertutup kain cadar, mencoba membangunkannya. Namun, perempuan itu tetap tidak merespon. “Astaga, ada apa dengannya?” Dengan segera, Alvan mengang