Share

Bab 04 || Sikap Dingin Alvan

“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai dengan ritual shalat malam bergumam.

Sejak tadi, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak kunjung bisaa tidur, Ameera pun memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat malam dengan tujuan mencari ketenangan diri.

“Apa jangan-jangan, Mas Alvan beneran enggak pulang?” monolog perempuan itu begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi.

“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”

Diletakkannya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera teralih pada botol air kosong yang juga di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide terlintas di kepala Ameera. “Siapa tahu sebentar lagi Mas Alvan pulang. Sebaiknya aku buatkan teh hangat untuknya.” Diraihnya botol tabung berbahan kaca itu lalu membawanya ke dapur yang berada di lantai bawah.

Ameera berjalan lambat menuruni anak tangga. Bangunan yang dihuninya saat ini begitu besar dan luas. Menurut kabar yang Ameera dengar, keluarga David Septihan memang sangat kaya raya. Tidak heran, jika rumah tempat mereka tinggal bisa sebesar dan semegah ini.

Sesekali, hembusan angin membisiki keheningan. Berjalan mendekati sisi dinding, Ameera menekan saklar lampu. Saat itu juga suasana di sekitar dapur menjadi terang lantaran cahaya dari lampu yang menerangi. Tidak berlama-lama, Ameera pun berjalan memasuki pantry dan bergegas memanaskan air.

***

Gesekan kertas serta seretan ujung boplen yang runcing terdengar nyaring mengisi heningan. Dentak jarum jam yang berputar perlahan, mengiringi lengan kokoh Alvan yang sedang membolak-balik kertas secara bertahap dan teratur. Sang dewi malam nampak bersinar terang di atas sana menyapa bumantara dan seisinya. Kesyahduan usai hujan deras yang turun, menyelimuti atmosfer malam yang kian larut.

Setelah duduk lama dan berkutat dengan setumpuk pekerjaan, Alvan menghentikan kegiatannya. Menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, Alvan memijat pangkal hidungnya yang mancung. Memejamkan matanya, dia kembali teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu. Yakni, saat di mana dirinya memutuskan menghabiskan waktunya untuk mengurus pekerjaan di kantor dari pada bermalam di mansion atau tidur bersama dengan Ameera, wanita yang dinikahinya siang tadi.

“Oh, kenapa keadaannya menjadi rumit seperti ini?” Menghela napas berat, Alvan mencoba menghempaskan beban berat yang dirasakan. Tidak pernah terlintas di dalam pikiran Alvan bahawa dia akan terjebak di dalam situasi rumit seperti ini.

“Alex sialan! Sampai mati pun kau tetap saja menyusahkanku!” Alvan mengumpati almarhum adiknya. Bahkan, tanah di pemakaman itu masih belum kering. Namun, rasa-rasanya Alvan terpancing untuk mengundang keributan di sana.

“Berhenti, Nona. Tuan Alvan sedang tidak ingin diganggu.”

“Apa yang kau lakukan, Jay? Aku ini kekasih Alvan. Sudah sepantasnya aku menemui kekasihku.”

“Maafkan saya, Nona. Tuan Alvan sendiri yang berpesan kalau tidak mengizinkan siapapun mengganggunya. Anda dilarang masuk ....”

Kegaduhan di luar berhasil mengusik ketenangan Alvan. Mengernyitkan kening, ia nampak mengenali siapa pemilik suara nyaring tersebut. Sampai pada saat di mana, seseorang mendobrak pintu dan memaksa masuk ke dalam ruangan pribadadi Alvan tanpa mempedulikan larangan yang diserukan, pria itu mengangkat sebelah tangannya ke atas memberi isyarat agar Jay, sekretaris pribadinya itu membiarkan perempuan berpakaian super sexy itu masuk.

“Kau boleh pergi, Jay.”

Tidak membantah, sosok tegap itu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.” Tanpa berlama-lama, Jay segera kembali ke luar dan menutup pintu ruangana rapat-rapat. Bosnya itu terlalu mengerikan jika marah, dan Jay tidak ingin dirinya menjadi penyebab atas kemarahan tersebut.

“Ada apa, Katrine? Kenapa kau datang ke sini?” Tepat setelah pintu ditutup, Alvan yang masih di tempat duduk bertanya kepada perempuan berpakaian sexy yang berdiri di antara meja dan sofa panjang.

Dengan perasaan kesal, perempuan berparas cantik dan berpakaian sexy itu berjalan melenggok menghampiri sosok Alvan. “Habisnya, seharian ini kamu enggak ngangkat telpon aku. Aku, ‘kan kangen sama, kamu.” Tanpa sungkan, Katrine langsung memeluk tubuh tegap laki-laki itu dengan manja.

Menghela napas panjang, Alvan melepas pelukan Katrine dan membuat sang empu terkejut. Pasalnya, tidak biasanya kekasihnya itu bersikapa demikian. Bahkan, ungkapan i love you atau i miss you sebagaimana yang selalu laki-laki itu berikan setiap kali mereka bertemu tidak Alvan ucapkan. Entah kenapa, Katrine merasa sikap kekasihnya kali ini terasa sedikit berbeda.

“Sayang, kamu kenapa? Kok kamu jadi nyuekin aku gini?” Katrine berpura-pura tersinggung.

Mengusap kasar wajahnya menggunakan sebelah telapak tangan, Alvan mencoba mengenyahkan rasa frustrasi. “Maafkan aku, Katrine. Aku tidak bermaksud menyinggung kamu,” sesalnya meminta maaf.

“Kamu tahu, Alvan. Butuh perjuangan buat aku untuk bisa sampai di sini dan nemuin kamu. Aku sampai berantem sama Daddy karena memaksa ketemu kamu,” ungkap Katrine merajuk.

“Benarkah? Oh, padahal kamu tidak perlu sampai harus berantem dengan paman El. Aku hanya sebentar di sini dan akan segera kembali ke Amerika.” Alvan menanggapi sekedarnya.

Sembari memasang wajah cemberut, Katrine mendudukkan dirinya di atas pangkuan Alvan. “Aku enggak bisa sabar, Alvan. Aku sangat merindukan kamu,” bisiknya seraya mengusap wajah Alvan dengan gerakan sensual.

Memejamkan matanya sejenak, Alvan menggeram tertahan. Ayolah, dia sedang tidak berminat untuk menanggapi Katrine yang berusaha keras merayunya. “Sayang, selama pacaran kita tidak pernah melakukan itu. Gimana kalau malam ini kita habiskan waktu bersama? Kamu tahu, memikirkannya saja sudah membuat aku panas-dingin.” Wanita sexy itu semakin gencar menggoda Alvan dan berharap laki-laki itu akan terangsang.

Tidak membiarkan Katrine berbuat lebih jauh, Alvan segera mencekal tangan Katrine dan menghentikan pergerakan perempuan. “Maaf, Katrine aku harus pergi.” Sembari menghela napas berat, sosok jangkung itu bangkit dari tempat duduk, sehingga membuat Katrine terpaksa harus ikutan turun dari atas pangkuannya.

“Sayang ....” Katrine menatap Alvan tidak percaya. Baru saja, pria itu mengacuhkan dirinya.

“Aku akan meminta Jay mencarikan hotel untukmu. Besok pagi, kamu bisa kembali ke Amerika. Aku juga akan meminta Jay memesankan tiket pesawat,” tandas Alvan dengan raut wajah tanpa ekspresi.

Katrine tercengang. “Tapi, Sayang. Aku baru sampai, masa iya kamu nyuruh aku kembali?”

Kedua tangan Alvan tergerak untuk mengancing jas yang dikenakan lalu berjalan keluar ruangan tanpa menghiraukan protesan sang kekasih. Menurut Alvan akan tidak baik jika Katrine mengetahui tentang pernikahannya dengan Ameera. Ya, ia akan memberitahu wanitanya itu di waktu yang tepat.

“Sayang? Sayang ... kamu mau ke mana? Haish, Alvan kenapa sih? Main pergi gitu saja!” Katrine menatap punggung tegap Alvan yang kini telah lenyap dari balik pintu dengan sorot mata penuh kecewa.

‘Apa yang salah dengan Alvan? Tidak biasanya dia tidak peduli kepadaku.’

***

Cahaya rembulan menembus celah ventilasi. Di atas meja kayu mengkilap, terdapat dua buah cangkir dan ceret dengan uap mengepul dari cerobong kecil. Derap langkah yang terdengar, berhasil mengalihkan fokus perempuan pemilik manik mata coklat terang yang berdiri di depan meja.

Menggeser sedikit nampan ke tengah meja, ia menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, saat itu juga rungunya mendengar deritan daun pintu yang terbuka, sementara kedua maniknya menangkap bayangan seseorang muncul dari balik sana. “Mas Alvan?” gumam Ameera dengan suara lirih.

Berjalan masuk ke dalam kamar, Alvan berhenti beberapa langkah di depan Ameera. “Masih belum tidur?” Suara berat nan dingin itu terdengar penuh intimidasi.

Sebelah tangan Ameera tergerak untuk membenarkan cadar yang dikenakan. Sebenarnya, dia berencana melepasnya. Namun, Ameera takut kalau-kalau suaminya itu tidak menyukainya. Karena itu, Ameera memilih untuk tetap mengenakan cadar di hadapan Alvan sampai laki-laki itu sendiri yang mengizinkan Ameera membukanya.

“B-belum. Aku nunggu Mas Alvan ....”

Ck, aku ‘kan sudah bilang kamu enggak perlu nungguin aku. Kenapa keras kepala sekali!” potong Alvan dengan ketus.

Ameera menundukkan kepalanya dalam-dalam. “M-maaf, Mas.” Ia tidak tahu harus berbuat apa dan memilih meminta maaf.

Akan tetapi, siapa sangka sikap Ameera tersebut justru membuat Alvan merasa muak. “Minggir! Kamu hanya membuat aku merasa frustrasi,” tandas Alvan telak.

“O iya, aku baru saja membuat teh. Siapa tahu Mas Alvan mau.” Tidak menghiraukan kekesalan Alvan, Ameera mencoba menawarkan teh hangat yang telah ia buat kepada Alvan.

Mendengkus kasar, Alvan memilih berlalu dan tidak menghiraukan Ameera. Namun, saat Alvan sedang melepas jas yang dikenakan, ia mendengar suara pecahan cukup nyaring. Menoleh ke arah sumber suara, benar saja Ameera yang hendak menuangkan teh secara tidak sengaja menjatuhkan cangkir dan membuat benda itu pecah menjadi beberapa kepingan.

Prang!

Menoleh ke arah sumber suara, Alvan terbelalak tatkala mendapati cangkir keramik yang telah hancur. “Kamu ... apa yang kamu lakukan? Astaga, itu cangkir kesayanganku!” sentaknya bersungut-sungut.

Meneguk salivanya sudah payah, Ameera segera memungut pecahan cangkir di lantai. Jujur saja, dia sangat takut saat melihat Alvan yang seperti tersulut api amarah. Namun, karena tidak berhati-hati, Ameera pun tanpa sengaja tergores pecahan runcing hingga membuat pergelangan tangannya terluka.

Sshh ....” Ameera meringis. Benar saja, dalam sekejap, darah segar mengalir dari ruang luka dan menetes melalui celah lengan. 

“Kalau kamu pikir cara seperti itu bisa menggodaku, maka kamu salah. Aku tidak tertarik menolongmu!” ketus Alvan kemudian berjalan meninggalkan Ameera.

Namun, sekeras apapun Alvan mencoba tidak menghiraukan, ia tetap menghentikan langkahnya. “Astaga! Yang benar saja!” Mendengkus kasar, ia pun berbalik dan berjalan menghampiri Ameera.

Sepasang langkah itu berhenti di depan Ameera. Lalu, secara tiba-tiba Alvan mengangkat Ameera dan memindahkan perempuan itu duduk di atas kasur. “Diam di sini, biar aku yang bersihkan.” Tanpa menunggu jawaban, Alvan segera membereskan pecahan cangkir hingga bersih tak bersisa.

“Terima kasih, Mas,” ucap Ameera seraya menunduk dalam.

Tidak menghiraukan, sosok jangkung itu berjalan menghampiri kotak obat lalu membawanya menghampiri Ameera dan duduk di sebelah perempuan itu. “Kemarikan tangan kamu.” Dengan raut wajah tanpa ekspresi, Alvan berujar.

Ragu-ragu, Ameera mengulurkan lengannya. “Lelet sekali!” ketus Alvan lalu menarik cepat tangan Ameera dan membuka lengan baju yang dikenakan Ameera.

Deg!

Saat itu juga, Alvan terkesima melihat lengan Ameera yang putih mulus. Berdeham beberapa kali, ia mencoba mengenyahkan desiran hangat yang sempat mendera hatinya dan kembali fokus mengobati luka Ameera. Diambilnya, kapas serta obat merah, Alvan mulai mengobati luka Ameera dengan telaten.

Diam diam, Ameera memperhatikan Alvan. Tanpa bisa dicegah, perasaan kagum sekaligus terharu mendera hatinya. Ameera tahu, dibalik sikap dingin sebenarnya suaminya itu memiliki sikap peduli. Bahkan, saat ini laki-laki itu memberikan tiupan lembut, seolah-olah tidak ingin membuat dirinya kesakitan.

Menghentikan gerakan tangannya, Alvan mendongakkan kepalanya ke atas. Saat itu juga, tanpa sengaja pandangan mereka saling bertemu. Tersadar dengan apa yang tengah terjadi, Alvan buru-buru mengalihkan atensinya ke arah lain.

“Jangan salah paham, aku melakukan ini hanya karena sebatas kemanusiaan. Dasar ceroboh!”

Mengulum tipis bibir bawahnya, Ameera menatap Alvan ragu-ragu. “Maafin aku, Mas. Aku tahu, aku bersalah karena tidak hati-hati,” sesalnya merasa bersalah.

“Diam-lah. Kamu berisik sekali!”

Ameera segera menutup mulutnya rapat-rapat. Tentu saja, dia tidak ingin membuat suaminya semakin tersulut. Hening menyapa, Alvan baru saja selesai mengobati dan menutup luka Ameera dengan jalinan perban, adapun Ameera hanya diam dan memperhatikan suaminya tanpa berani mengeluarkan suara barang sepatah katapun.

“Sudah selesai. Jangan kena air sampai besok pagi, atau luka itu masih terasa perih.”

“Mas Alvan ke mana saja? Kenapa jam segini baru pulang?” Setelah sedari tadi berdiam diri, Ameera tidak kuasa menahan rasa penasarannya, dan berakhir melayangkan pertanyaan.

“Ke mana aku pergi itu tidak ada hubungannya denganmu!” ketus laki-laki itu tanpa menoleh.

Selagi melilitkan kasa ke lengan kanan Ameera, Alvan mendapati ponsel miliknya bergetar. Diambilnya ponsel dari dalam saku celana, sosok jangkung itu menghela napas panjang begitu melirik siapa nama penelpon. “Kamu lanjutkan sendiri. Aku harus ngangkat telpon,” tukas Alvan lalu beranjak pergi meninggalkan Ameera dan perban yang belum selesai dipasang.

Di tempatnya, Ameera menatap kepergian Alvan dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah kenapa, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak begitu teringat dengan nama si penelpon yang tanpa sengaja ia lihat tadi. “Katrine? Siapa dia?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status