Rintik gerimis membasahi bumi pertiwi. Di bawah langit malam yang memayungi alam semesta, terlihat lautan manusia yang datang berbondong-bondong ke pemakaman guna mengiringi peristirahatan terakhir Alexander Septihan. Siang tadi, kabar duka datang menimpa keluarga besar David Septihan. Pria berusia sekitar 24 tahun yang seharusnya menikah pada hari ini dan akan memulai hidup bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya, kini telah pergi untuk selama-lamanya menuju kepangkuan Yang Maha Kuasa.
Banyak yang merasa sedih atas kepergian Alex. Kematian, tidak ada yang tahu kapan ia datang menjemput. Kehadirannya tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kemunculannya pun menjadi rahasia di antara ribuan nyawa manusia. Bisa jadi, sekarang kita merasa sehat dan baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu satu-dua detik kedepan, raga telah meregang nyawa menyusul mereka yang terlebih dahulu telah pergi.
Serangkaian proses pemakaman telah selesai dilaksanakan. Satu-persatu dari orang-orang yang ikut mengantar ke pemakanan, mulai berpamitan untuk pulang. Termasuk halnya dengan keluarga besar Septihan, Sulistyo dan juga Via.
Duka menyelimuti setiap hati yang ditinggalkan. Bahkan, Bianca, istri Brian dua kali jatuh pingsan sejak kabar duka sampai kepada keluarga mereka. Putra bungsu yang sangat dicintainya telah tiada.
“Aku tidak menyangka, kau akan pergi secepat ini, Alex. Kakek harap, kau tenang di sana,” ucap David dengan sorot mata sendu.
Bianca yang berada di antara David dan Brian mengusap air matanya yang terus menetes. “Oh, Alex. Kenapa kamu pergi lebih dulu, Nak? Bukankah kamu sudah berjanji bakalan selalu menemani Mama?” tuturnya Bianca melahirkan tangisan pilu.
Sedikit bergeser ke samping, Brian segera menenangkan Bianca. “Sudah, Ma. Biarkan Alex tenang di sana. Sekarang sebaiknya kita pulang. Hujan juga semakin deras, eh?” ajak pria paruh baya itu kepada sang istri.
Melirik sekilas ke arah makam baru yang berada di hadapannya, Bianca yang lunglai memilih mengangguk patuh. “Iya, Pa.” Dengan hati yang berat pasangan paruh baya itu pun mulai beranjak pergi keluar arena pemakaman menyusul para pentakziyah yang lain.
Semua orang telah pergi meninggalkan pemakaman. Brian, Bianca, David dan, semua telah berjalan menuju pintu ke luar. Sementara di tempatnya, Ameera masih mematung dengan pandangan yang tidak luput sedetik pun dari gundukkan tanah bertabur bunga yang baru beberapa saat lalu ditimbunkan.
Gemuruh guntur terdengar saling bersahutan. Perlahan, rintik gerimis jatuh membasahi bumi pertiwi. Meski begitu, sosok bercadar yang berdiri tepat di depan makam Alex masih tidak juga beranjak barang sedikit saja sehingga membuat ayah dan ibunya merasa khawatir.
“Ameera, ayo kita pulang, Nak. Semua orang sudah pergi.” Tiga langkah di belakang Ameera, Via mencoba mengajak putrinya itu untuk pulang bersama mereka.
Perempuan dalam balutan baju syar’i itu menggeleng pelan. “Ameera masih mau di sini dulu, Bu. Sebentar lagi. Ameera mau pamitan sama mas Alex.” Sejak mereka memutuskan untuk menikah, Ameera sudah mulai membiasakan diri memanggil Alex dengan sebutan mas seperti saat ini.
“Ya sudah. Kalau begitu, Ayah sama Ibu tunggu di depan sana, ya,” putus Sulistyo menghargai keinginan putri mereka yang meminta waktu sendiri.
“Jangan lama-lama, ya, Nduk. Hujan ini, nanti kamu sakit,” pesan Via memperingati.
Ameera mengangguk kecil hingga nyaris tidak terlihat di gelapnya malam. “Iya Ayah, Ibu. In syaa Allah, Ameera langsung nyusul,” balasnya dengan suara parau.
Setelah suasana di sekitar pemakam sepi, Ameera duduk seorang diri di sebelah makam Alex. Sementara itu tidak jauh dari tempat perempuan itu berada, Sulistyo dan Via yang belum benar-benar pergi turut memperhatikan gerak-gerik putri mereka.
Pasangan paruh baya itu bisa memaklumi dan turut merasakan kehilangan yang Ameera rasakan. Meskipun telah ditinggal oleh calon suami sekaligus laki-laki yang diam-diam dicintainya, Ameera tidak meratap atau menangis tersedu-sedu. Perempuan itu, nampak tegar seolah-olah telah mengikhlaskan semuanya dan menerima apa yang ditakdirnya untuknya hingga membuat Sulistyo dan Via terkagum.
“Aku tahu, tidak pantas rasanya aku menangisi kamu, Mas Alex. Saat ini, kita masih belum menjadi pasangan yang sah. Aku mau ngucapin terima kasih karena kamu sempat memberikan impian indah untuk aku. Semoga segala urusan Mas dipermudah,” ucap Ameera dengan tulus.
Tanpa disadari, seseorang berjalan ke arahnya dan berhenti tepat di belakang Ameera. “Mau sampai kapan kamu duduk di sana?” Suara berat yang mengalun, berhasil menyentak sang empunya nama.
Menoleh ke arah sumber suara dan mendongakkan kepalanya sedikit ke atas, perempuan bercadar itu terbelalak tatkala mendapati siapa sosok jangkung yang berdiri di belakangnya dan tengah menatapnya dengan ekspresi wajah sedingin mungkin. “Mas Alvan?” gumam Ameera dengan suara tercekat.
Sembari memasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana, Alvan berdecak gerah. “Ck, benar-benar menyebalkan!” umpatnya dengan suara rendah.
“Mas Alvan bilang apa?” tanya Ameera, bingung. Pasalnya gumaman Alvan terlalu rendah hingga nyaris tidak terdengar.
Bukananya menjawab, Alvan justru mendengkus kasar. Berjalan satu langkah ke depan sosok jangkung itu menatap Ameera dengan raut wajah tanpa ekspresi. Angin malam yang berhembus menjadi saksi bisu dari rahasia dua hati yang terbungkus rapat.
Dalam sekejap mata Alvan mengangkat tubuh Ameera hingga membuat sang empu memekik terkejut. “Mas Alvan? Apa yang Mas lakukan?” pekiknya seraya berusaha turun dari gendongan Alvan.
Meskipun mereka telah sah sebagai pasangan suami-istri, Ameera masih belum terbiasa berinteraksi langsung dengan Alvan. Laki-laki itu, selalu bersikap dingin sejak pertama kali mereka bertemu. Lalu, baru saja secara tiba-tiba dia mengangkat tubuh Ameera dan membuat Ameera terkejut sekaligus gugup.
“Hujan semakin deras. Aku enggak mau Papa marah cuman karena kelakuan kekanak-kanakan kamu itu,” cetus Alvan menohok.
Ameera menundukkan kepalanya dalam-dalam. “M-maaf.” Ia memberingsut kemudian menyembunyikan wajahnya di dada bidang Alvan.
Menghela napas berat, Alvan mulai melangkah pergi menuju pintu keluar dengan Ameera yang berada di dalam gendongannya. “Pegang erat-erat atau kalau jatuh dan aku enggak bakalan tanggung jawab!” peringat laki-laki itu kemudian mempercepat laju langkahnya.
Tidak berani menentang, Ameera segera mengalungkan lengannya pada leher jenjang Alvan. Rintikan hujan yang masih setia turun kini berubah menjadi deraian yang cukup deras. Di sela-sela langkahnya, Alvan merundukkan sedikit tengkuknya guna melindungi wajah Ameera agar tidak terkena air hujan. Namun, beberapa detik kemudian Alvan tersadar dengan perbuatan bodohnya kemudian kembali menegakkan lehernya dan membiarkan hujan membasahi wajah Ameera yang tertutup kain cadar.
.
.
“Hey, Alvan. Ada apa dengan Ameera? Kenapa kamu menggendongnya seperti itu?” Brian yang sudah berada di dalam mobil dan bersiap pergi bertanya kepada putra sulungnya yang baru saja keluar dari arena pemakaman sembari menggendong Ameera.
Sontak, pertanyaan Brian tersebut berhasil menarik perhatian banyak pasang mata. Termasuk dengan, Sulistyo dan Via yang juga masih berada di sana turut menoleh dan memperhatikan pasangan muda yang tengah berjalan ke arah mereka. ‘Ada apa dengan Ameera? Kenapa Alvan menggendongnya?’
Tidak langsung menjawab, Alvan memilih mengitari mobil miliknya yang terparkir tepat di depan mobil sang papa kemudian mendudukkan Ameera di kursi samping kemudi. “Mulai malam ini, dia akan tinggal bersaamaku,” putusnya laki-laki itu seketika membuat Ameera dan semua yang mendengarnya terkesiap.
Brian mengangkat satu alisnya ke atas. Sementara Via dan Sulistiyo yang juga masih berada di sana saling berpandangan bingung. Saat ini, mereka bertiga saja yang masih berada di sana, sedangkan David, Bianca serta keluarga lain telah pulang terlebih dahulu.
“Kau yakin dengan keputusanmu itu, Son?” tanya Brian memastikan.
“Hm.”
“Lalu, bagaimana dengan Ameera. Apa kau sudah membicarakan hal ini dengan istrimu?”
Untuk sesaat, Alvan bergeming. Diliriknya perempuan bercadar yang sudah duduk di dalam mobil dengan pandangan tak yakin. Namun, beberapa detik kemudian Alvan yang ragu mengangguk singkat. “Hm.” Lagi-lagi, sosok jangkung itu hanya berdeham.
“Itu ....” Ameera hendak menyela. Namun, perempuan itu segera mengatupkan bibirnya tatkala mendapati, Alvan yang tengah menatapnya penuh intimidasi.
“Pernikahan sudah terjadi. Aku mau, dia ikut denganku. Bukankah begitu seharusnya? Pasangan yang sudah menikah tinggal bersama,” tandas Alvan penuh arti. Sementara pandangannya tidak lepas menatap Ameera. Seolah-olah, sorot mata itu hendak menguliti perempuan itu hidup-hidup.
Sulistyo berpandangan dengan sang istri sebelum kemudian manggut-manggut kecil. “Baiklah. Kami menghargai keputusanmu, nak Alvan. Hanya saja ....” Pria paruh baya itu nampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
Seakan paham dengan apa yang dikhawatirkan oleh Sulistyo, Alvan tersenyum tipis. “Ayah tenang saja, Ameera sudah setuju dengan keputusan ini. Kami memang berniat untuk tinggal bersama,” tukas Alvan sembari memberi isyarat kepada Ameera agar tidak bertindak gegabah dan membuat dirinya marah.
Meneguk salivanya susah payah, Ameera yang tidak memiliki pilihan pun mengangguk kecil. “I-iya, Ayah. Mas Alvan benar. Kami memang berniat tinggal bersama.”
Via menghela napas lega mendengar keputusan putri mereka. “Kalau memang seperti itu, Ayah dan Ibu hanya bisa mendukung keputusan kalian.”
“Terima kasih atas kelapangannya, Paman, Bibi. Kalau begitu, saya dan Ameera permisi dulu.” Setelah membungkuk sekilas, Alvan pun segera masuk ke dalam mobil dan mulai membawa kendaraan beroda empat itu melaju meninggalkan pemakaman dengan kecepatan rata-rata.
“Kenapa Ibu merasa khawatir ya, Pak?”
“Tenang, Bu. Semua ini sudah keputusan mereka. Kita do’akan saja yang terbaik untuk Ameera.”
Menghela napas panjang, Brian keluar dari dalam mobil dan menghampiri pasangan paruh baya yang telah menjadi keluarganya itu. “Kalian berdua tenang saja. Ameera pasti akan baik-baik saja. Alvan, dia memang kelihatan dingin dan keras. Tetapi, dia cukup sensitif. Ameera pasti bisa mengetuk dinding itu,” ujar Brian mencoba meyakinkan.
***
Sebuah mobil berjalan cepat membelah jalanan malam. Rintik hujan mulai mereda, menyisakan genangan air di celah aspal basah berwarna hitam. Di sepanjang perjalanan, Ameera memperhatikan suasana di luar jendela.
Sembari menggenggam seat belt yang melingkar di tubuhnya yang ramping, Ameera melirik ke samping tempat di mana Alvan berada. ‘Jadi, seperti ini suamiku kalau dilihat dari dekat,’ gumam Ameera dalam hati. Sosok jangkung yang tengah mengemudi itu terlihat begitu tenang dalam diam. Pandangannya fokus menatap jalanan di depan sana, seolah-olah bidikan di penghujung sana akan melesat jika ia menggeser mutiara pekat miliknya barang sekejap saja.
“Bicara saja. Aku pikir, sejak tadi kamu hendak mengatakan sesuatu sampai terus melirik seperti itu,” pungkas Alvan tiba-tiba, menyentak Ameera.
Berdeham pelan, perempuan bercadar itu cukup terkejut dengan kepekaan Alvan. Juga tentang laki-laki itu yang bisa membaca apa yang berada di dalam pikirannya. ‘Dari mana Mas Alvan tahu kalau ada sesuatu yang mau aku katakan?’ batinnya bertanya-tanya.
“Sebelum aku ikut Mas, apa aku boleh pulang dulu ke rumah Ayah dan Ibu? Aku harus ambil barang-barangku dulu.” Takut-takut, Ameera membeberkan apa yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Melirik sekilas ke arah Ameera kemudian kembali memperhatikan jalan, Alvan menggeleng singkat. “Enggak perlu. Aku sudah menyuruh seseorang untuk mengambil semua barang-barang kamu dan membawanya ke mansion,” jawabnya tidak bersahabat.
“Tapi ....” Kata-kata Ameera menggantung beberapa saat. “Ada sesuatu yang harus aku ambil. Aku khawatir, Ayah dan Ibu enggak akan tahu tempatnya.”
“Ck, benar-benar menyebalkan!” decak Alvan tanpa mempedulikan keinginan Ameera.
“Mas?” panggil Ameera dengan suara lembut,
“Kamu enggak dengar? Kita ke mansion. Kalau ada yang mau kamu ambil, bicara saja sama Palve, dia yang akan membawakannya untukmu!” cetus Alvan paten.
Tidak berani membantah, Ameera pun memilih mengalah dan menutup mulutnya rapat-rapat. Kembali, dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan menahan diri atas apa yang ia inginkan. Sementara itu, di tempatnya Alvan hanya menghela napas melihat Ameera yang menunduk lesu. Sebenarnya, apa yang perempuan itu sembunyikan darinya? Mengapa dia tidak mau memberitahu apa yang hendak diambilnya? Entahlah, Alvan memilih tidak menghiraukan dan kembali fokus mengemudi.
***
“Mas Alvan mau ke mana lagi?” tanya Ameera pada Alvan. Sosok jangkung yang berdiri beberapa langkah di hadapannya itu nampak terburu-buru seperti hendak pergi padahal mereka baru saja sampai di mansion.
Melirik sekilas ke arah Ameera, Alvan mengambil jas baru dari dalam mobil kemudian segera memakainya. “Ke mana aku pergi itu enggak ada urusannya sama kamu!” Sembari mengancing jas hitam yang dikenakan, laki-laki itu membalas dengan ketus.
“Tapi, Mas ... ini sudah malam.” Ameera mengingatkan.
Gerakan mengancing Alvan berhenti. Membalikkan tubuhnya, ia menatap Ameera dengan sinis. “Aku paling enggak suka sama perempuan cerewet dan suka ikut campur!”
Meneguk salivanya, Ameera mencoba mengenyahkan rasa takutnya dan mencoba bersikap sewajarnya. Berdeham pelan, Ameera berjalan menghampiri sang suami. “M-mas pulang jam berapa? Biar aku bisa nyambut Mas ....”
“Susah banget dibilangin. Aku enggak suka kamu ikut campur urusanku. Mengerti?” tandas Alvan dengan berang.
“M-maaf, Mas,” cicit Ameera menyesal.
“Huuh, dasar perempuan menyebalkan!” kesal Alvan gerah, “ngapain kamu berdiri terus di situ? Minggir!”
“Iya, Mas.”
Tidak sabar menunggu Ameera beranjak, Alvan segera menerobos dan mendorong hingga membuat perempuan itu mundur beberapa langkah ke belakang. Menghentikan langkah jenjangnya, Alvan menoleh sedikit ke belakang. “Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa,” tukasnya lalu masuk ke dalam mobil.
Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera merasa bingung dengan maksud dari ucapan Alvan. Bersaamaan dengan itu, kendaraan beroda empat yang dinaiki suaminya melaju pergi meninggalkan Ameera yang masih termangu seorang diri di teras mansion yang luas.
“Apa maksud Mas Alvan? Kenapa dia bicara seperti itu?”
“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai dengan ritual shalat malam bergumam.Sejak tadi, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak kunjung bisaa tidur, Ameera pun memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat malam dengan tujuan mencari ketenangan diri.“Apa jangan-jangan, Mas Alvan beneran enggak pulang?” monolog perempuan itu begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi.“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”Diletakkannya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera teralih pada botol air kosong yang juga di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide terlintas di kepala Ameera. “Siapa tahu sebentar lagi Mas Alvan pulang. Sebaiknya aku buatkan teh hangat untuknya.” Diraihnya botol tabung berbahan kaca itu lalu membawanya ke dapu
Pagi itu, Ameera sedang berkutat di dapur. Ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri, sebuah peran yang harusnya diisi dengan kebahagiaan dan harapan. Namun, bagi Ameera, ini adalah peran yang dia ambil dengan hati yang berat dan mata yang masih berkabung atas kepergian Alex, cinta pertamanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis.“Sebaiknya aku membuat sesuatu untuk sarapan pagi.” Sebenarnya, pelayan telah melarang Ameera untuk masuk ke dalam dapur dan membiarkan mereka yang melakukan semua pekerjaan ini. Namun, Ameera bersikeras melakukannya.Di ambilnya beberapa bahan dan sayuran dari dalam lemarai es lalu mencucinya hingga bersih. Dengan lihai perempuan itu memotong sayuran untuk omelet. Ameera tersenyum penuh arti di sela-sela kegiatannya. Meskipun ini bukanlah pernikahan yang diinginkan, dia telah memutuskan untuk tidak menangis lagi dan mengikhlaskan semua yang terjadi. Sekalipun suaminya saat ini masih belum bisa menerima kehadirannya sebagai seorang istri.Ameer
Ameera menghela napas lega, menatap langit biru yang cerah sambil menggantungkan pakaian terakhir di jemuran yang sebelumnya telah dicucinya. Di atas sana, matahari bersinar dengan hangat, tetapi tidak sehangat harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Dia mengusap keringat di dahinya, kemudian membawa atensinya memandangi sekeliling mansion megah, yang kini lantainya berkilau dan halamannya bersih tanpa daun yang berserakan.Di mansion yang luas ini, setiap sudut biasanya dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitasnya masing-masing. Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan mereka, melainkan karena ini merupakan perintah khusus dari Bianca, mertuanya yang cukup sulit untuk dihadapi.Bianca, wanita yang tegas dan berwibawa itu, memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan rumah dengannya. Ame
Dinginnya malam, terasa menusuk hingga tulang-belulang. Di atas kasur, Ameera terjaga dari tidurnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata tatkala rungunya menangkap deru napas lembut seseorang.“Sshhh.” Perempuan itu meringis tatkala merasakan pening yang teramat sangat di kepalanya. Masih dengan mata berat yang terbuka, Ameera terkejut saat netranya menangkap sosok Alvan yang tengah tertidur dengan posisi terduduk di samping pembaringan. “Mas Alvan? Kenapa Mas Alvan tidur di sini?” gumamnya lirih.Sembari sedikit membenarkan kain cadar yang dikenakan, ruang di antara kedua alis Ameera berkerut tatkala merasakan sesuatu di atas keningnya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil sesuatu yang mengganjal tersebut. “Handuk kecil?” Ia memandangi handuk di tangannya dengan perasaan bingung.Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera kembali menatap sosok jangkung yang kini masih terlelap itu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi? Semalam ….” Ameera mencoba mengingat-ingat kembali
Sinar matahari pagi menyelinap masuk, menerangi ruang makan keluarga Septihan, menciptakan aura yang hangat. Namun, tidak cukup untuk mencairkan suasana yang dingin. Bianca, yang sedang duduk di ujung meja memasang wajah tegang, sementara kedua matanya menyapu seisi ruangan seolah tengah mencari sasaran untuk melampiaskan kekesalannya.“Melihatmu berjalan seperti itu, aku pikir kamu hanya berpura-pura sakit, Ameera. Ck, Sengaja bersikap lemah, agar bisa menghindari membuat sarapan dan pekerjaan rumah tangga,” cibir Bianca saat mendapati Ameera berjalan memasuki ruangan dengan langkah yang masih goyah.Sorot mata Bianca begitu menghunus, seolah siap menguliti menantunya hidup-hidup. Tidak peduli dengan suami, ayah mertua dan putranya yang juga berada di sana, wanita paruh baya itu tidak sungkan untuk langsung menyerang Ameera dengan kata-kata tajam.Brian, yang duduk di samping Bianca, menghela napas berat. “Cukup, Ma,” katanya dengan suara rendah. Namun sarat akan ketegasan. “Mama lup
Ameera mengusap keringat di dahinya setelah sebelumnya menyelesaikan pekerjaan di mansion keluarga Septihan yang luas. Kali ini, tubuhnya terasa lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin, hal itu dikarenakan ia yang telah beristirahat semalaman dan meminum obat.Selagi tertegun di dalam kamar, pikiran Ameera tiba-tiba melayang pada sosok Alvan. Saat ini, suaminya itu pasti sedang sibuk bekerja. Entah apa yang terjadi ia mulai memikirkan sebuah rencana, yakni, ingin membuatkan bekal makan siang spesial untuk Alvan.“Aku dengar dari Papa, katanya Mas Alvan sangat sibuk mengurus pekerjaan di kantor dan sering melewatkan jam makan. Sepertinya, membuatkan bekal makan siang untuknya bukanlah ide yang buruk,” monolognya pada dirinya sendiri.Setelah mencoba memantapkan diri, akhirnya Ameera berjalan keluar kamar menuju dapur. Bukan dapur utama yang selalu digunakan oleh para pelayan untuk menyiapkan makanan bagi keluarga mereka, melainkan sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk kegiatan memasa
Ameera berlari sekuat tenaga meninggalkan ruang pribadi Alvan, membuat Jay yang berdiri di depan pintu menahan napas atas apa yang baru saja terjadi. Tanpa bisa dicegah, air mata perempuan itu mengalir dengan begitu deras membasahi pipi pucatnya yang tertutup kain cadar. Kekecewaan dan rasa sakit seketika memenuhi relung hatinya begitu bayangan kurang mengenakan yang ia lihat beberapa detik lalu kembali melintas di kepalanya.Napasnya terasa sesak, dadanya panas dan sakit. Ameera tidak pernah menyangka bahwa takdir hidupnya akan membawanya ke titik ini. Titik di mana hatinya hancur berkeping-keping menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya sendiri.“Seharusnya aku menyadarinya. Mas Alvan memang suamiku, tetapi hatinya bukan untukku. Dia sudah memiliki kekasih jauh sebelum kami menikah.” Sembari mengusap air matanya kasar, Ameera terus berlari kencang.Namun, karena dalam keadaan bingung dan sedih, Ameera tidak menyadari ke mana dia pergi. Orang-orang ya
“Mas Alvan, lepasin. Mas mau bawa aku ke mana?” Ameera meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan Alvan yang kuat.Alih-alih mendengarkan ucapan Ameera dan melepaskannya, sosok jangkung itu justru menulikan pendengarkannya dan terus menarik perempuan itu pergi. Tak pelak, langkah Alvan yang lebar, membuat Ameera kesulitan dalam mengimbangi. Bahkan, tak jarang ia sampai terseok-seok, lantaran cepatnya laki-laki itu berjalan.Beberapa orang yang mereka lewati, nampak terkejut melihat kejadian tersebut. Tidak sedikit pula yang bertanya-tanya mengenai siapakah wanita bercadar yang bersama Alvan itu. Berbagai macam spekulasi mulai bermunculan, menantikan kabar panas yang mungkin akan beredar dikeesokan hari.Meski begitu, Alvan tidak peduli. Saat ini, pikirannya tengah kacau dan perasannya tidak karuan. Dia terus menarik Ameera dan membawanya ke ruangan pribadinya.Jay dan Gled yang berada di sana nampak mengernyitkan kening melihat Alvan kembali bersama Ameera. “Kalian berdua keluar dari