Share

Bab 07 || Gengsi

Dinginnya malam, terasa menusuk hingga tulang-belulang. Di atas kasur, Ameera terjaga dari tidurnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata tatkala rungunya menangkap deru napas lembut seseorang.

Sshhh.” Perempuan itu meringis tatkala merasakan pening yang teramat sangat di kepalanya. Masih dengan mata berat yang terbuka, Ameera terkejut saat netranya menangkap sosok Alvan yang tengah tertidur dengan posisi terduduk di samping pembaringan. “Mas Alvan? Kenapa Mas Alvan tidur di sini?” gumamnya lirih.

Sembari sedikit membenarkan kain cadar yang dikenakan, ruang di antara kedua alis Ameera berkerut tatkala merasakan sesuatu di atas keningnya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil sesuatu yang mengganjal tersebut. “Handuk kecil?” Ia memandangi handuk di tangannya dengan perasaan bingung.

Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera kembali menatap sosok jangkung yang kini masih terlelap itu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi? Semalam ….” Ameera mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi tadi malam.

Beberapa detik kemudian, perempuan itu terbelalak tatkala potongan-potongan dari kejadian semalam terlintas di kepalanya. Saat di mana, dirinya yang baru saja kembali ke dalam kamar dalam kondisi tubuh berat karena kelelahan, tiba-tiba tumbang dan pingsan. “Tunggu, kalau enggak salah, tadi malam aku mendengar suara mobil mas Alvan. Setelah merapikan ruang keluarga, aku ke kamar dan ….” Ameera menangkupkan sebelah telapak tangannya, menutupi mulutnya yang ternganga. Baru saja, dia menyadari sesuatu yang salah di sini.

“Jangan-jangan, Mas Alvan menjagaku semalaman di sini?” pekiknya dengan suara tertahan. Takut kalau-kalau suaminya itu akan terbangun.

Tentu saja, Ameera tidak ingin terlalu percaya diri dan salah paham. Namun, melihat kondisinya saat ini, membuat Ameera dilanda bingung dan ragu—apakah benar Alvan telah menjaganya semalaman? Atau hanya tidak sengaja ketiduran di kursi.

Pada saat yang sama, Alvan yang sedikit terusik terbangun. Menegakkan tubuhnya, ia menatap Ameera dengan pandangan kabur karena kantuk yang masih mendera.

“M-mas, Mas Alvan?” panggil Ameera seraya menatap cemas ke arah suaminya.

Seketika itu juga, Alvan terbelalak tatkala menyadari di mana dirinya berada sekarang, rasa kantuknya pun lenyap seketika. Dengan cepat, Alvan mengubah ekspresi wajahnya dan memasangnya sedatar mungkin. Tentu saja, dia tidak ingin membuat Ameera salah paham dan mengira bahwa dirinya mempedulikan wanita itu.

“Kamu mengganggu tidurku!” ucap Alvan dengan nada dingin.

“Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Apa Mas Alvan yang menjagaku semalaman?” terka Ameera ragu-ragu.

Sosok jangkung itu langsung melayangkan tatapan menghunus. Seolah, tidak terima dengan tudingan yang diberikan oleh Ameera. “Siapa yang menjagamu? Aku hanya tidak sengaja ketiduran di sini!” elak Alvan dengan ketus.

“Tapi, aku melihat ada baskom dan handuk kompres. Aku rasa, Mas Alvan telah menolongku semalam.” Ameera menyebutkan baskom di atas nakas serta handuk kecil yang sebelumnya terlampir di keningnya.

Garis rahang Alvan mengetat. Dia paling membenci seseorang yang berlagak sok tahu tentang dirinya. “Sudah aku bilang, kalau aku tidak menolongmu atau menjagamu. Kenapa kamu berisik sekali!” kelakar laki-laki itu, berang. Bahkan, orang bodoh sekalipun akan tahu jika yang terjadi di sana justru sebaliknya, dan Alvan terlalu gengsi untuk mengakui.

Di tempatnya, Ameera hanya bisa menatap kemarahan Alvan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena telah menjadi beban bagi laki-laki itu. Namun, di sisi lain, ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya, saat mengetahui fakta bahwa semalam Alvan telah menolong dan menjaganya.

“Terima kasih, Mas Alvan. Meski kamu enggak bermaksud begitu, tapi kamu sudah menolong dan menjagaku semalaman,” ucap Ameera dengan suara lembut dan tulus.

Kata-kata itu seolah mengetuk sesuatu di dalam dada Alvan, membuat laki-laki itu kehilangan kata-katanya. Belum lagi, Alvan masih teringat dengan bayang-bayang wajah Ameera. Beruntung, sebelum ketiduran dia telah memasangkan kembali kain cadar itu menutupi wajahnya, sehingga Ameera tidak curiga padanya. Di mana, tanpa sadar, sesuatu di dalam hatinya bergetar, seperti ada sebuah emosi yang tidak bisa dia jelaskan.

Berdeham beberapa kali, Alvan mencoba menetralkan perasaannya. “Kau terlalu banyak bicara, hingga membuat kepalaku menjadi pening!” cetusnya kemudian berdiri dari duduk. Tanpa kata lagi, sosok jangkung itu segera pergi meninggalkan kamar dengan perasaan yang rumit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status