Share

Bab 06 || Situasi Rumit

Ameera menghela napas lega, menatap langit biru yang cerah sambil menggantungkan pakaian terakhir di jemuran yang sebelumnya telah dicucinya. Di atas sana, matahari bersinar dengan hangat, tetapi tidak sehangat harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Dia mengusap keringat di dahinya, kemudian membawa atensinya memandangi sekeliling mansion megah, yang kini lantainya berkilau dan halamannya bersih tanpa daun yang berserakan.

Di mansion yang luas ini, setiap sudut biasanya dipelihara oleh tangan-tangan terampil para pekerja yang sudah terbiasa dengan rutinitasnya masing-masing. Namun hari ini, Ameera harus mengambil alih tugas-tugas tersebut. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan bukan karena dia tidak percaya pada kemampuan mereka, melainkan karena ini merupakan perintah khusus dari Bianca, mertuanya yang cukup sulit untuk dihadapi.

Bianca, wanita yang tegas dan berwibawa itu, memiliki standar tinggi dalam segala hal, termasuk dengan menantu yang akan berbagi nama dan rumah dengannya. Ameera tahu betul, untuk mendapatkan sedikit pengakuan dan mungkin, cinta dari wanita itu, dia harus melakukan lebih dari sekadar menjadi istri yang baik bagi anaknya. Ameera harus membuktikan, bahwa dirinya layak berada di mansion ini dan layak menjadi bagian dari keluarga Septihan yang terkenal dan sangat dihormati itu.

Dengan setiap sapuan kuat dari sapu lidi, setiap usapan pel yang teliti, dan setiap sentuhan lembut saat merapikan benda-benda di mansion, Ameera menanamkan doa dan harapan. Dia berharap bahwa suatu hari, Bianca akan melihat lebih dari sekadar usaha yang dilakukan, melainkan ketulusan hatinya.

Alhamdulillah, akhirnya satu-persatu kerjaan selesai juga,” gumam Ameera seraya meletakkan keranjang baju kotor di tempatnya.

Membalikkan tubuhnya, Ameera tiba-tiba merasa kepalanya geliengan. Dengan cepat ia berpegangan pada dinding yang berada di dekatnya agar tidak terjatuh. “Kenapa rasanya kayak gempa, ya?” Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali guna mengendalikan kesadarannya.

Selain itu, Ameera juga merasakan tubuhnya berat dan lelah. Mungkin semua ini dia dapatkan karena terlalu banyak bekerja keras. Menarik napas dalam-dalam kemudian, mengeluarkannya secara perlahan, Ameera mencoba menenangkan diri. Setelah merasa baikan, ia kemudian berjalan keluar dari tempat laundry dan hendak menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Namun, dua langkah dari anak tangga berada, seseorang kembali menyeruinya.

“Mau ke mana kamu?”

Menoleh ke arah sumber suara, Ameera menghela napas tatkala mendapati Bianca yang sedang duduk bersantai di atas sofa sambil menonton televisi. “Ameera mau istirahat, Ma,” cicit Ameera dengan suara pelan. Namun, masih dapat di dengar oleh Bianca.  

Sontak, jawaban Ameera tersebut membuat Bianca yang sedang mengupas kuaci sebagai camilan menghentikan kegiatannya, kemudian melayangkan tatapan menghunus ke arah Ameera. “Apa? Mau istirahat!”

“Ameera sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Jadi, Ameera mau istirahat sebentar. Boleh, ‘kan, Ma?”

Wanita paruh baya itu menopang sebelah kakinya pada satu kaki yang lain. Aura menegangkan dan panas seketika menyelimuti atmosfer ruangan di sana. “Baru kerja begitu saja sudah kecapekan? Dasar pemalas! Buatkan aku teh chamomile. Sekarang!” perintah Bianca dengan nada yang tidak bisa ditolak.

Meski tubuhnya terasa remuk dan kepalanya berdenyut, Ameera tetap tersenyum tipis kemudian mengangguk patuh. “Baik, Ma. Kalau begitu biar Ameera buatkan dulu,” balasnya yang tidak dihiraukan oleh Bianca.

Perempuan bercadar itu kemudian berjalan menuju dapur. Dengan tangan yang gemetar, dia mulai menyeduh teh dengan hati-hati. Tidak lupa juga, Ameera memastikan suhu dan rasa agar kelak disukai oleh ibu mertuanya. Namun, ketika dia menyajikan cangkir teh itu, Bianca hanya menatapnya dengan ekspresi tidak puas.

“Tehnya sudah jadi, Ma. Silakan diminum,” kata Ameera mempersilakan.

Dengan angkuh, Bianca meraih cangkir teh lalu meneguknya sedikit. “Cuih! Teh ini terlalu manis,” keluh Bianca setelah mencicipi dengan ekspresi wajah muak.

Ameera terkejut. Menurutnya dia telah menakar gula secukupnya tadi. Namun, mengapa mertuanya itu baru saja mengatakan kalau teh buatannya kemanisan?

“Benarkah? Kalau begitu, biar Ameera buatkan yang baru, Ma.”

Tidak menghiraukan, Bianca hanya mengibaskan telapak tangannya ke udara, bermaksud menyuruh agar Ameera pergi dari hadapannya. Mengerti dengan kode yang diberikan, Ameera segera kembali ke dapur untuk membuatkan teh yang baru. Kali ini, dia mengurangi takaran gula dari sebelumnya.

“Ini, Ma. Ameera sudah buatkan teh baru. Silakan diminum,” ucap Ameera seraya meletakkan secangkir teh di atas meja.

Namun, lagi-lagi Bianca menemukan alasan untuk tidak menyukai teh buatan Ameera. “Kurang manis,” katanya enggan.

Menghela napas panjang, Ameera berusaha memperkuat kesabarannya. Lalu, tanpa berkata-kata, dia mengambil cangkir teh di meja kemudian kembali lagi ke dapur untuk membuatkan teh yang baru.

“Kurang kental.”

“Terlalu kebanyakan air.”  

“Kurang panas.” Ameera terus bolak-balik ke dapur dan membuatkan teh sesuai dengan yang Bianca inginkan.

Dari arah dapur, Ameera berjalan sedikit tergopoh menghampiri Bianca yang masih stay di ruang tengah. “Ini, teh-nya, Ma. Kali ini, enggak terlalu manis dan enggak terlalu pahit. Takaran airnya pun pas, in syaa Allah enggak kekentalan atau terlalu banyak,” kata perempuan itu dengan napas sedikit tersengal karena kelelahan bolak-balik.

Tidak menghiraukan ucapan Ameera, Bianca kembali meraih cangkir teh dan mulai meneguknya. Dan, yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Bianca melempar cangkir teh ke lantai hingga membuat benda berbadan keramik itu pecah menjadi beberapa keping.

Prang!

“Apa kau ingin membunuhku, Ameera? Ini sangat panas!” maki Bianca saat merasakan bibirnya terbakar karena suhu teh yang cukup tinggi. Entah apa yang terjadi, setiap cangkir teh yang dibuat Ameera seolah tidak pernah memuaskan hatinya.

Meneguk salivanya susah payah, Ameera menundukkan kepalanya dalam-dalam. “M-maaf, Ma. Ameera menaikkan sedikit suhu panasnya tadi,” ungkapanya menyesal.

“Maaf-maaf. Kamu pikir, semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf, hah?!” sentak Bianca bersungut-sungut.  

Perempuan bercadar itu menggeleng. Sementara di bawah sana, diam-diam dia meremas ujung gamisnya, menahan nyeri di hatinya. Siapa sangka, selama perjalanan bolak-balik ke dapur, hati Ameera terasa semakin terkoyak. Meski begitu, ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa sakitnya kepada siapapun.

Bahkan, ketika Bi Juminah—kepala pelayan di mansion mendatanginya dan menawarkan bantuan saat sedang membuat teh, Ameera menolak dengan sopan. Tentu saja, semua itu Ameera lakukan semata-mata agar dia bisa mendapatkan sedikit pengakuan dari Bianca. Namun, nampaknya usahanya tersebut sia-sia, karena nyatanya wanita paruh baya itu tidak cukup puas dengan teh hasil buatannya dan berakhir murka.

“Inilah alasan kenapa aku begitu membencimu. Kamu penuh dengan kesialan! Bahkan, putraku pun menjadi korbannya. Kamu tahu, Ameera, kalau saja Alex tidak bersikeras menikahi kamu, mungkin saat ini mungkin masih hidup!” kelakar Bianca dengan sangat dingin dan menusuk.

Kata-kata yang diucapkan Bianca seperti pisau yang mengiris hati Ameera. Dia merasa seolah-olah semua usahanya sia-sia, dan bahwa dia tidak akan pernah bisa mendapatkan cinta atau penerimaan dari wanita yang sekarang menjadi keluarganya. Kebencian Bianca telah mengakar di hatinya, sehingga apapun yang Ameera lakukan mustahil bisa menghancurkan dinding kebencian tersebut.

“M-maaf, Ma ….” Suara Ameera terdengar bergetar. Cairan bening, mulai menggenang di pelupuk matanya yang lentik. Ameera mencoba menahan diri agar tidak menangis. “Ameera benar-benar minta maaf, Ma.” Sekalipun sebenarnya musibah yang terjadi bukanlah kesalahannya. Namun, Ameera tetap merasa bersalah.

Mendengkus kasar, Bianca membuang wajahnya ke samping. “Jangan berharap aku bisa memaafkan kamu, Ameera. Selamanya, aku akan membencimu!” ketusnya kemudian bangkit dari atas sofa lalu berlalu pergi meninggalkan Ameera dengan segudang luka dan penyesalan.

“Ya Allah, kenapa rasanya sesakit ini.” Ameera memegangi dadanya yang terasa sesak dan nyeri. Kali ini, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipi. Ameera menangis pilu bersama dengan asa yang mulai pupus. Dia tidak menyangka, jika takdir hidupnya akan serumit dan seberat ini.

***

Malam telah tiba, membawa suasana yang tenang dan damai. Langit yang semula cerah berubah menjadi gelap, dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelipan dan bulan purnama yang terang. Suara jangkrik yang sesekali terdengar, menambah keindahan malam yang syahdu.

Di antara kesunyian yang ada, sebuah mobil melaju memasuki pelataran luas dan berhenti tepat di depan mansion. Setelah mematikan mesin mobil, Jay yang sebelumnya mengemudi turun dari mobil sebelum kemudian segera membukakan pintu samping. “Silakan, Tuan,” ucap pria muda itu mempersilakan tuannya.

Sembari memasang kancing jas yang dikenakan, Alvan turun dari mobil. Seketika itu juga, angin sepoi-sepoi membawa kesejukan menyambutnya, seolah menggantikan hiruk pikuk siang hari dengan ketenangan yang mendalam. Tanpa kata, Alvan mulai berjalan memasuki mansion.

Langkah lebar laki-laki itu terasa berat. Sebenarnya, dia tidak berniat untuk kembali. Sebagai pemimpin perusahaan yang baru, Alvan memiliki beban serta tanggung jawab yang semakin berat. Di mana, pikirannya telah dipenuhi dengan berbagai macam strategi dan rencana, sehingga dia tidak memiliki ruang untuk hal-hal lainnya.

Sesampainya di kamar, Alvan mengernyitkan kening tatkala mendapati ruangan yang gelap gulita. “Di mana perempuan aneh itu?” gumamnya tanpa minat.

Mengedarkan atensinya ke sekeliling, Alvan tidak mendapati siapapun di sana, termasuk perempuan yang kini telah sah menjadi istrinya. “Sh*t! Ngapain aku nyariin perempuan itu? Enggak ada kerjaan saja!” Menggedikkan kedua bahunya ringan, Alvan mencoba mengabaikan ketiadaan Ameera dan memilih untuk mandi serta membersihkan diri dari lelahnya hari.

.

.

Ameera baru saja kembali ke dalam kamarnya. Menghela napas berat, ia menutup pintu kemudian berjalan menghampiri kasur besar yang berada di sudut kamar. “Oh, hari ini, rasanya lelah sekali,” gumamnya dengan sorot mata letih. Ingin sekali, ia segera membaringkan tubuhnya di sana. Namun, Ameera cukup tahu diri untuk tidak teledor dan kelak keringatnya akan mengotori seprai baru yang masih wangi itu.

“Apa sebaiknya aku mandi terlebih dulu, ya?” monolog Ameera.

Di sisi lain, Alvan keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang. Baru saja, dia menyelesaikan ritual mandinya, membuat tubuhnya terasa jauh lebih segar dan ringan dari sebelumnya. Saat hendak menuju ruang ganti, Alvan dikejutkan oleh pemandangan yang tidak pernah dia duga.

Tidak jauh dari tempat dirinya berada, Alvan mendapati Ameera tengah berdiri lunglai di dekat tempat tidur. Bukan hanya itu, Alvan juga dibuat salah fokus dengan penampilan perempuan itu yang terlihat buruk, sorot matanya sendu, dan napasnya tersengal-sengal. Entah apa yang telah perempuan itu lakukan? Dia benar-benar berantakan layaknya seseorang yang baru saja kembali dari bekerja keras.

Di tengah kebingungan yang melanda, Alvan berjalan menghampiri Ameera. Namun, belum sempat laki-laki itu bertanya atau memarahi, Ameera yang kelelahan, tiba-tiba tumbang.

“Astaga, ada ap aini?!” pekik Alvan dengan kedua mata terbelalak, terkejut.

Insting Alvan sebagai suami langsung terpicu, melupakan segala rasa benci yang tersemat di relung hatinya. Sosok jangkung itu bergegas menghampiri Ameera. “Hey, kamu … bangunlah. Kenapa diam saja?” Alvan menggoyang-goyangkan tubuh Ameera.

Tidak kunjung ada pergerakan dan sahutan dari Ameera, membuat Alvan yang sebelumnya tidak peduli mendadak diserang panik. “Sial!” umpat laki-laki itu kemudian segera mengangkat tubuh kurus Ameera dengan hati-hati lalu meletakkannya di atas tempat tidur.

“Oh, Tuhan. Menyusahkan saja!” Alvan mendesaah berat kemudian beranjak pergi untuk berganti pakaian.

Setelah berganti pakaian, Alvan menuju sofa panjang. Stelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai. Niat hati, Alvan hendak berbaring di atas sofa guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.

Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mencoba untuk tidak mempedulikan perempuan itu. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun dia mencoba untuk tidak menghiraukan, Alvan tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.

“Masih belum bangun juga.” Alvan mengernyitkan kening tatakala menyadari siklus napas Ameera yang berat.

“Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan untuk bernapas.” Kedua alis tebal Alvan berkerut. Tetiba, dia kepikiran untuk melepas kain cadar yang dikenakan Ameera.

“Sudahlah. Anggap saja demi kemanusiaan.” Setelah cukup lama bergelut dengan perasaannya, Alvan akhirnya memberanikan diri untuk melepaskan kain cadar yang di kenakan Ameera.

Dan, betapa terkejutnya Alvan saat melihat pemandangan wajah Ameera yang di luar dugaannya. “Astaga, apa yang kau pikirkan, Alvan! Berhentilah menatap perempuan itu!” tegurnya begitu tersadar dengan kesalahan dirinya.

Alih-alih hanyut dalam pesona Ameera, sosok jangkung itu dibuat tercenung tatkala menyadari ekspresi wajah Ameera yang pucat pasi. Perlahan, sebelah tangan Alvan yang gemetar terulur untuk menyentuh permukaan kening Ameera. “Ternyata dia demam,” monolog laki-laki itu tatkal merasakan panas yang tidak wajar dari kulit kening Ameera.

Alvan beranjak pergi dan tidak lama kembali dengan baskom dan handuk kecil di tangannya. Ia membilas handuk kecil tersebut kemudian meletakkannya di kening Ameera sebagai kompres. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia tiba-tiba pingsan seperti ini?” gumamnya dengan suara rendah. Entah kenapa, melihat kondisi Ameera seperti ini membuat Alvan yang hatinya dingin dan cuek tiba-tiba di dera rasa cemas sekaligus khawatir.

Malam itu, Alvan tidak tidur. Dia duduk di sisi tempat tidur, menjaga Ameera yang terbaring lemah tanpa kata. Sesekali, dia akan membilas handuk kecil kemudian kembali mengompres Ameera, dan memastikan jika suhu tubuh perempuan itu kembali normal seperti sediakala.

Menghela napas panjang, Alvan terus memperhatikan perempuan di hadapannya. Wajah perempuan itu terlihat begitu teduh dan menyenangkan untuk dipandang. Tak pelak, Alvan nyaris terpesona olehnya. Namun, sepersekian detik kemudian, laki-laki itu tiba-tiba teringat dengan status pernikahan mereka. Bahwa dia menikahi Ameera hanya untuk menggantikan mediang adiknya dan demi perusahaan yang dijanjikan untuknya. Di mana, perasaan tidak boleh tumbuh di tengah-tengah mereka.

Selagi larut dalam pikirannya sendiri, Alvan dikejutkan oleh getaran di saku celananya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil ponsel dari dalam sana. “Paman?” gumamnya begitu membaca nama si penelpon. Tidak berlama-lama, Alvan segera mengangkat panggilan masuk tersebut.

“Halo, Paman.”

“….”

Kedua mata Alvan terbuka lebar. Kedua rahangnya mengetat. Bahkan, otot-otot lehernya sampai menyembul begitu mendengar ucapan dari Seberang telpon.

Sedikit memiringkan tubuhnya, Alvan menatap sosok Ameera yang tengah terlelap dengan pandangan yang sulit diartikan. “Baiklah. Aku mengerti. Aku akan mengurus sisanya,” kata laki-laki itu sebelum kemudian mematikan sambungan panggilan.

“Jangan salahkan aku, jika bertindak terlalu jauh. Salahkan dirimu sendiri, karena telah menjebakku ke dalam situasi rumit ini, Ameera,” gumam Alvan dengan telapak tangan yang digunakan untuk mencengkram kuat ponsel miliknya. Adapun kedua matanya yang tajam, terus terpaku pada sosok Ameera yang masih bergeming dalam diam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status