167Mentari memejamkan matanya. Punggungnya bersandar lemas pada daun pintu yang baru saja ditutupnya. Pengakuan Bima barusan membuatnya tahu ke mana tujuan laki-laki itu. Rasa bersalah kembali berkelindan. Ia tahu telah membuat laki-laki itu berharap lebih padanya. Ia akui nyaman dengan Bima. Namun, terus menerima kebaikan lelaki itu tanpa memberinya kejelasan, bukankah itu artinya dzolim?Bima memang tidak mengatakan secara langsung mencintainya. Laki-laki itu bahkan tidak pernah membahas statusnya yang tidak jelas, tetapi ia yang merasa bersalah telah membuat Bima dalam harapan kosong.Apa perlu ia menjauh dari Bima sedangkan ia sudah sangat nyaman? Atau apa perlu ia mengakhiri ketidakjelasan status dengan menemui Samudra agar bisa segera bercerai secara resmi?Mentari tidak mau kehilangan Bima, tapi ia juga tidak mau harus bertemu lagi dengan mantan suaminya untuk mengurus perceraian. Bertemu dengan pria itu artinya membuka luka lama yang sudah mati-matian dikuburnya selama satu s
168Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Mentari saat ini selain karyanya bisa dikenal luas oleh masyarakat. Jika sebelumnya karya-karyanya hanya dinikmati sebatas para penikmat fiksi yang hobi memabaca, kini beberapa langkah lebih maju. Mereka para penikmat film pun mengenal karyanya karena akan segera diangkat ke layar lebar.Tak henti-hentinya wanita itu bersyukur atas nikmat dan karunia Tuhan yang terlimpah curah padanya. Setelah segala kesakitan di masa lalu, ternyata Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang lebih indah di depan mata.Sebagai invididu, mungkin ia gagal dalam berumah tangga. Sebagai wanita, ia gagal menjadi seorang istri. Namun, Tuhan memberinya kesuksesan di sisi lainnya.Sebagai seorang single parent, ia bisa memenuhi kebutuhan kedua anaknya. Dan sebagai seseorang yang memutuskan berkecimpung di dunia tulis-menulis, kini bahkan karyanya selangkah lagi diaplikasikan menjadi karya yang lebih luas pangsa pasarnya.Akhirnya, cita-cita tertinggi seorang penulis amatir se
169“Sudah mau pulang, Bos?” Hamish menerobos masuk ke ruangan Samudra setelah mengetuk pintunya. Tidak menunggu dipersilakan, pria seusia Samudra itu langsug masuk dengan benda pintar di tangannya.Samudra yang tengah membereskan mejanya, hanya melirik sebentar tanpa kata. Lalu berjalan keluar dari belakang mejanya.“Berita apa yang kamu bawa?” tanya Samudra sambil melirik benda di tangan Hamish. Ia tahu pasti jika asistennya itu datang membawa i-pad artinya ada berita yang ingin disampaikannya.“Banyak, Bos. Makanya jangan pulang dulu.” Hamish menyandarkan pinggulnya di meja kerja Samudra.“Aku mau pulang. Besok saja kamu sampaikan beritanya.” Samudra menjawab jengah seraya meraih tas kerja yang sudah diletakkan di atas meja.“Kenapa harus buru-buru pulang sih, Bos? Toh di rumah juga sendiri. Tidak ada anak istri yang menunggu. Tidak ada yang menyambut selain pelayan.”Samudra memejam. Asistennya itu memang sudah sangat sering menyinggung tentang statusnya yang sendiri di usia yang s
170“Bos,” panggil Hamish saat dalam waktu cukup lama atasannya itu hanya mematung dengan tatapan kosong. Ia khawatir terjadi sesuatu dengan Samudra.Samudra sendiri mengerjap dan menunduk. Kemudian mendudukkan diri di sofa. Tangannya memegang erat i-pad di tangannya. Berulang kali ia memutar video yang memperlihatkan ada Mentari di sana.Ya, ia yakin jika wanita bergaun muslimah dan berhijab hitam itu Mentari. Meski penampilannya kini sudah jauh berbeda, tetapi ia tidak mungkin salah. Itu benar-benar Mentari. Terlebih bayi laki-laki yang digendong wanita itu ….Berulang kali jari sang pria mem-pause dan meng-zoom video itu, hingga ia benar-benar yakin jika itu memang Mentari. Senyum wanita itu, gestur tubuhnya, juga tatapannya, semua masih melekat dalam ingatannya meski sudah satu setengah tahun mereka tidak bertemu.Ternyata, menghilang selama itu, membuat Mentari kini muncul lagi dengan segala kemajuan. Dari keterangan dalam video yang mungkin diambil Hamish dari sebuah situs berit
Bab 1“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.“Bas–oh ....”Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.Brak!Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.
Bab 2Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”“Sial!” Bastian mengumpat.Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan
Bab 3“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras.
Bab 4“Tari, ini Samudra, calon suamimu.”Ingin rasanya aku pingsan lagi dan lagi mendengar penjelasan Nenek Widya.Bagaimana tidak? Aku yang kini duduk di sebuah sofa empuk, diperkenalkan dengan lelaki menyeramkan yang tadi menangkap tubuh ini sebagai calon suamiku.Semua bayangan buruk yang tadi sempat terlintas tentang kepribadian Samudra langsung menempel begitu saja karena sosoknya yang sangat ajaib ini. Tinggi besar—walaupun mungkin tingginya hanya seratus delapan puluh centimeter, tetapi bagiku yang berperawakan mungil, ia sangat tinggi. Menjadi sangat menyeramkan karena rambut gondrongnya yang hanya diikat asal.Jangan lupakan juga bulu-bulu di wajahnya yang dibiarkan tumbuh liar. Bahkan aku yakin jika kulitnya tak pernah bersentuhan dengan pisau cukur selama berbulan-bulan.Jangankan untuk berjabat tangan dengannya, aku bahkan takut untuk sekadar mengangkat wajah dan meliriknya.Alhasil aku hanya menunduk sambil memilin jemari satu sama lain. Tubuhku terasa menggigil berada d