Bab 30 "Jadi ini yang kamu bilang kebahagiaan buat mama? Terakhir waktu mama nanya tentang status Sano, kamu bilang mereka sudah bercerai. Terus drama yang mengatakan Ulfa meninggal itu apa? Kamu mau mencoreng nama baik keluarga?!" bentak Bu Bunga menatap geram pada Dita. Pesta ini benar-benar kacau. Mas Sano menarik tanganku kasar menuju ke luar gedung, entah ke mana. Dengan rasa takut, aku melirik pada Fajar berusaha meminta pertolongan. Ah ya, kami menuju arah toilet. Untung saja aku melihat Fajar mengangguk, itu artinya aman. Mas Sano benar-benar diliputi amarah, sudah banyak berita suami membunuh istrinya setelah dipermalukan padahal itu kesalahannya sendiri. Aku sedikit takut jika sampai Mas Sano benar-benar membunuhku. Pembalasan dendam ini hampir sempurna, aku tidak ikhlas jika pergi lebih cepat. Apalagi Alea masih sangat membutuhkanku sebagai ibunya. Mas Sano membanting pintu kasar. Kami berdiri di depan cermin berukuran besar. "Kamu sengaja datang ke sana buat merusak ha
Bab 31 Sore menjelang magrib, kami berdua baru tiba di rumah orang tua Mas Sano, tentunya setelah mengurus beberapa hal paling penting sekaligus menguatkan mental untuk melawan mereka semua sampai keluar sebagai pemenang. Aku, Fajar dan Alea berdiri menunggu pintu terbuka, sementara Mbak Kancana menunggu di mobil dengan segala benda yang bisa membuat Mas Sano terkejut bahkan tidak akan mampu berkutik beberapa saat. Pintu utama bernuansa cokelat kayu itu terbuka lebar. Aku menghela napas panjang, melirik Fajar yang tengah menggendong Alea. "Kayak suami istri aja pake datang bersamaan, mana Fajar gendong Alea lagi," cibir Ibu Mahika begitu melihat kami. Aku mendengus kesal. "Bu, kami diminta datang, masa nggak boleh bersamaan? Lagian Fajar itu om-nya Alea juga. Ada salah kalau dia digendong sama om-nya?" Ibu Mahika mencebikkan bibirnya, berlalu masuk rumah tanpa mengajak kami. Aku dan Fajar saling pandang, kemudian melangkah mengekori Ibu Mahika. Di ruang keluarga sudah ada Mas San
Bab 32 Mas Sano berdiri, lalu dengan gerakan cepat meraih kera baju Fajar untuk kemudian diberi hadiah pukulan. Aku memejamkan mata sejenak karena merasa kasihan melihat darah di sudut bibirnya. Rupanya Fajar hanya tersenyum, kemudian membalas pukulan itu sampai Mas Sano terhuyung ke belakang. Dalam posisi ini, apakah pantas jika aku memihak pada suamiku? No. Aku tidak ingin melakukannya atau akan membuat Fajar kesal. Kedatangan kami ke sini adalah untuk menyelesaikan perpisahan yang tertunda. Ya, aku ingin berpisah dengan Mas Sano daripada hidup menderita karena diduakan. "Kamu yang harusnya dipukul, Sano. Kamu terlalu bodoh, mudah dipengaruhi oleh Dita. Membuang kebahagiaanmu demi menikahinya? Apa kamu buta sampai tidak bisa membedakan mana yang terbaik di antara mereka? Aku pastikan kamu akan menyesal!" "Kalau kamu suka sama Ulfa, ngaku aja. Nggak usah sok jadi pahlawan di depannya. Tapi pertanyaan aku, Jar, apa Ulfa juga suka sama kamu?" "Dia bukan wanita murahan yang mencint
Bab 33 POV Sano _______________ Aku tercengang mendengar pembelaan Fajar sejak awal. Kenapa dia malah membela Ulfa saat ini bahkan seperti sengaja membawa istriku itu ke acara pernikahan? Padahal setiap aku curhat, membandingkan antara Ulfa dan Dita, dia terlihat netral saja. Apa sebenarnya Fajar memiliki perasaan pada Ulfa sehingga berusaha untuk memisahkan kami? Padahal hubungan antara aku dan Ulfa sudah membaik, tetapi dia malah merusak segalanya. Seandainya saja Fajar tidak membawa Ulfa ke acara tadi, aku yakin semuanya akan berjalan lancar. Aku tetap bisa memiliki keduanya tanpa harus ketahuan dari Ulfa. Wanita itu, aku mencintainya, tetapi perasaan ini juga menginginkan Dita. Seorang gadis yang setiap saat bisa memberiku kepuasan. Berbeda dengan Ulfa. Dulu, istriku adalah segalanya. Namun, semua berubah ketika dia melahirkan anak pertama kami. Rasanya sudah tidak lagi sama. Bercinta pun tidak rutin lagi. Padahal, jika memiliki keduanya. Aku akan merasa damai dan tentram. P
Bab 34 "Mbak Kancana?" Ulfa terkejut bukan main, aku bisa membaca raut wajahnya. Kenapa dengan Ulfa? Apa karena dia menyimpan sebuah rahasia? Mbak Kancana pun memandang tidak suka padanya. "Mbak Kancana. Syukur kamu datang sekarang. Aku mau kamu menjadi saksi, Mbak. Bisa, kan?" Wanita itu mengangguk, lantas tersenyum dan berdiri di sampingku. Mampus kamu, Ulfa. Kamu sudah membuatku terpojok, maka aku pun akan melakukan hal yang sama. Jadi, aku tidak bisa ditendang dari rumah karena ketahuan selingkuh bahkan menikahi Dita karena dia pun melakukan hal serupa. Aku menatap angkuh pada Ulfa dan Fajar bergantian. "Saksi apa?" Ulfa terlihat gugup. "Saksi kalau kamu sudah selingkuh dengan Fajar, Ulfa. Jadi jangan menyalahkan Sano sebab telah menikah sama Dita. Lelaki itu bisa menikah lebih dari sekali, sementara tidak dengan perempuan." Kedua mata Ulfa melotot sempurna. Dia menggelengkan kepalanya sambil terus mundur ke belakang sampai menabrak dinding. Pembalasan dimulai, aku bersorak
Bab 35 "Kamu nggak paham? Aku bawain koper berisi barang kamu ke sini itu kenapa?" Aku menggeleng pelan. Sebenarnya ada sebuah prasangka dalam hati alasan Mbak Kancana membawa barang itu. Akan tetapi, tidak mungkin dia langsung berbalik melawanku hanya dalam hitungan detik, bukan? "Kamu diusir dari rumah itu karena ketahuan selingkuh, menikah diam-diam dengan Dita. Itu artinya kamu sudah melanggar isi dari perjanjian pranikah. Melanggar, berarti kamu emang harus ditendang dari rumah itu. Untung saja Ulfa masih punya rasa kasihan di mana seharusnya kamu keluar tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuhmu. Berterimakasih lah pada Ulfa, Sano." Aku semakin tidak mengerti, refleks kedua alis saling bertaut. Apa maksudnya tadi Mbak Kancana hanya pura-pura berpihak padaku agar rencana mereka sukses? Jika benar, lalu kenapa ekspresi Ulfa terlihat begitu alami? Jika Mbak Kancana tidak bekerjasama denganku, kenapa dia mengirim foto Ulfa dan Fajar hari itu? Mungkinkah mereka
Bab 36 Dita terus mengekor sampai di dalam kamar yang pintunya dibanting kasar tanpa peduli teriakan ibu di luar sana. Aku sendiri memilih duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memijit kening. Semuanya terlalu tiba-tiba. Padahal sejak kemarin aku merekahkan senyum penuh kemenangan bahkan sampai setelah ijab qabul yang aku ucapkan dengan lantang. Sekarang, semua kesialan berduyun-duyun menghampiri. Para rekan kerja akan menganggap aku tukang selingkuh apalagi tahu kalau Ulfa masih hidup dan sehat. Jika apa yang Fajar katakan tentang dipecat tadi benar, aku tidak tahu harus ke mana mengadu nasib. Entahlah. Aku merasa serba salah dan ada sedikit penyesalan menikahi Dita terlalu cepat. Malam yang seharusnya membuat aku berbunga-bunga sebagai pengantin baru untuk kedua kalinya, kini tanpa senyuman. Kamar hotel yang sudah didekorasi sedemikian cantiknya kami tinggal begitu saja. Aku mendengus, lalu memukul kepala sendiri sedikit keras, beberapa kali. "Kenapa, Mas? Sekarang pusing
Bab 37 Bapak langsung menarik tubuhku keluar dari kamar. Meskipun aku sudah dewasa, tetapi selama ini tidak berani juga melawan bapak mengingat bagaimana dulu beliau banting tulang demi menyekolahkan anak-anaknya. Sekarang beliau sudah tua, tetapi kekuatannya melebihi aku. Kedua matanya membulat sempurna, menampilkan semburat merah di sana. Aku bisa merasakan sikap dingin bapak sampai ke ulu hati. Ibu yang berdiri di dekat kami gemetar ketakutan memeluk Tantri yang menangis. Kenapa adikku menangis? Bukankah tadi dia masuk kamar sebelum Ulfa pulang? "Sano, bapak tidak pernah mendidik kamu untuk menyakiti hati perempuan. Sudah berapa kali bapak peringatkan supaya kamu bertaubat, lalu kembali pada Ulfa seutuhnya, tetapi kamu tidak mau mendengarkan bapak. Kamu bahkan menipu bapak, mengatakan kalau Ulfa memberi izin dan segala tipu dayamu yang lain. Sekarang lihat, semuanya kacau balau!" "Pak, ini benar rencana Ulfa. Ulfa bilang agar aku menyampaikan ke orang-orang kalau dia sudah mati