Bab 36 Dita terus mengekor sampai di dalam kamar yang pintunya dibanting kasar tanpa peduli teriakan ibu di luar sana. Aku sendiri memilih duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memijit kening. Semuanya terlalu tiba-tiba. Padahal sejak kemarin aku merekahkan senyum penuh kemenangan bahkan sampai setelah ijab qabul yang aku ucapkan dengan lantang. Sekarang, semua kesialan berduyun-duyun menghampiri. Para rekan kerja akan menganggap aku tukang selingkuh apalagi tahu kalau Ulfa masih hidup dan sehat. Jika apa yang Fajar katakan tentang dipecat tadi benar, aku tidak tahu harus ke mana mengadu nasib. Entahlah. Aku merasa serba salah dan ada sedikit penyesalan menikahi Dita terlalu cepat. Malam yang seharusnya membuat aku berbunga-bunga sebagai pengantin baru untuk kedua kalinya, kini tanpa senyuman. Kamar hotel yang sudah didekorasi sedemikian cantiknya kami tinggal begitu saja. Aku mendengus, lalu memukul kepala sendiri sedikit keras, beberapa kali. "Kenapa, Mas? Sekarang pusing
Bab 37 Bapak langsung menarik tubuhku keluar dari kamar. Meskipun aku sudah dewasa, tetapi selama ini tidak berani juga melawan bapak mengingat bagaimana dulu beliau banting tulang demi menyekolahkan anak-anaknya. Sekarang beliau sudah tua, tetapi kekuatannya melebihi aku. Kedua matanya membulat sempurna, menampilkan semburat merah di sana. Aku bisa merasakan sikap dingin bapak sampai ke ulu hati. Ibu yang berdiri di dekat kami gemetar ketakutan memeluk Tantri yang menangis. Kenapa adikku menangis? Bukankah tadi dia masuk kamar sebelum Ulfa pulang? "Sano, bapak tidak pernah mendidik kamu untuk menyakiti hati perempuan. Sudah berapa kali bapak peringatkan supaya kamu bertaubat, lalu kembali pada Ulfa seutuhnya, tetapi kamu tidak mau mendengarkan bapak. Kamu bahkan menipu bapak, mengatakan kalau Ulfa memberi izin dan segala tipu dayamu yang lain. Sekarang lihat, semuanya kacau balau!" "Pak, ini benar rencana Ulfa. Ulfa bilang agar aku menyampaikan ke orang-orang kalau dia sudah mati
Bab 38 POV AUTHOR ____ "Terima kasih atas bantuannya, Jar. Kalau kamu nggak bantu kamu juga, mungkin pernikahan mereka lancar-lancar aja. Tadi aku senang melihat raut wajah putus asa Mas Sano," ucap Ulfa tulus ketika Fajar hendak melajukan kembali mobilnya setelah mengantar dan mengobrol ringan bersama mereka. Lelaki beralis tebal itu mengangguk mantap, lalu pamit karena malam semakin larut. Dia takut ada tetangga yang melihat sehingga menimbulkan gosip aneh. Setelah kendaraan roda empat itu menghilang dari pandangan, Ulfa menoleh ke tempat yang dulu dia sebut istana. Ya, rumah mereka yang menjadi saksi bisu canda dan tawanya bersama Sano dan Alea sebelum prahara itu datang. Mengingat kejadian masa lalu, hati Ulfa menangis pilu. Sosok lelaki yang dahulu dianggap pelindung, ternyata membawa wanita lain dalam istananya. Harapan untuk menua bersama pudar seketika meskipun dia masih menjadi istri Sano. Ulfa menghela napas berat, lalu menyeka air matanya sebelum Kancana menyadari. Di
Bab 39 Lebih sepuluh menit Ulfa berusaha menenangkan Alea yang menangis tantrum memanggil ayahnya. Gadis kecil itu merindukan Sano karena bagaimana pun dulu mereka pernah akrab. Setiap hari, Alea akan menunggu kepulangan Sano di dekat pintu utama. Begitu pintu terbuka, dia akan berjingkrak senang tanpa peduli dengan ibunya sendiri. Alea begitu menyayangi Sano. Namun, sayang sekali karena lelaki itu telah mendua. Sano ibarat kata meninggalkan anak beserta istrinya demi wanita lain. Meskipun sekarang Ulfa belum tahu kabar Dita, tetap saja dia kesal. Entahlah, wanita itu bingung dengan perasaannya sendiri. "Ulfa!" panggil Kancana dari luar. "Masuk aja, Mbak. Nggak kekunci, kok." Pintu rumah kembali terbuka. Ulfa terperanjat begitu melihat Kancana berdiri bersama Sano. Apakah sejak tadi lelaki itu tidak beranjak dari tempatnya? Alea yang melihat, langsung berlari memeluk Sano. Ulfa memejamkan mata, hatinya perih melihat pemandangan itu. Melarang Alea untuk dekat dengan Sano juga tid
Bab 40 Ulfa tidak jadi berangkat jalan-jalan karena Alea menolak sebelum Sano kembali. Itu menambah beban. Bagaimana mungkin Ulfa mengajak suaminya pulang ke rumah itu sementara hubungan mereka tidak baik-baik saja. Minggu depan, suami Kancana juga akan pulang. Tentu saja wanita itu menghabiskan waktu bersama suaminya dan tidak memiliki kesempatan berbagi pikiran dengan Ulfa. Semua seketika menjadi rumit. Sampai setengah jam berlalu, Ulfa belum mendapat jawaban pasti dari Fajar. Dia hanya meminta Ulfa melakukan sesuatu yang membuatnya yakin telah nyaman walau nanti harus hidup bersama lagi. Setelah itu, ponselnya tidak aktif sampai saat ini. Dia seolah menghilang atau tepatnya menghindari Ulfa. Ada apa, padahal enam hari yang lalu mereka masih bertemu bahkan jalan-jalan bersama. "Belum ada balasan lagi, Mbak," gumam Ulfa dengan tampang putus asa ketika mengecek aplikasi hijau miliknya untuk ke sekian kali. "Aku juga sebenarnya bingung, Fa. Gini, kalau dari pandangan aku sebaiknya
Bab 41 "Mas, kamu nggak mandi? Alea aja udah selesai mandi itu. Ini mau aku cariin bajunya dalam lemari. Gak apa-apa ya aku buka, Mas?" Ulfa yang berdiri di beranda pintu langsung menuju ke arah lemari nuansa cokelat ketika melihat Sano mengangguk. Lelaki itu baru saja mengirim pesan pada rekan kerjanya kalau hari ini dia mau meminjam uang sebanyak dua ratus ribu dulu. Merasa kikuk, Sano segera menyambar handuk putih tebal, keluar dari kamar menuju ke belakang untuk membersihkan diri. Sekarang jam sudah menunjuk angka enam pagi. Sebenarnya Sano diminta menginap di kantor bersama karyawan lain, tetapi lelaki itu memohon agar bisa bolak-balik saja dengan alasan istrinya sakit, tidak ada yang mengurus. Ketika Ulfa memastikan Sano masuk kamar mandi, dia segera menyambar ponsel Sano yang sejak tadi menyala— tergeletak manja di tempat tidur. Ternyata ada pesan dari Dita dengan nama kontak 'Nenek Sihir'. Ulfa tahu kalau itu adalah madunya karena foto profil si pemilik akun. Tanpa sengaja
"Teman kamu?" Ulfa mengangguk. "Kamu juga ikut ke dalam, Mas, buat bantu aku memilihkan. Barangkali Alea juga pengen beli sesuatu. Tenang aja, pakai uang aku sendiri kok kalau misal kamu gak ada uang buat beliin Alea. Soalnya di dalam tersedia mainan anak-anak juga." Terlihat Sano menghela napas panjang. Lelaki itu merasa harga dirinya sudah jatuh di hadapan Ulfa. Dia benar-benar miskin sekarang dan tidak lagi dianggap penting mengingat Ulfa sudah bisa menghidupi dirinya sendiri. Lelaki itu masih masuk dalam kategori beruntung karena Ulfa belum menyampaikan masalah rumah tangganya pada keluarga di Makassar. Dia ingin menyelesaikannya tanpa melibatkan keluarga. "Ayo, Mas. Kita ke dalam!" ajak Ulfa lagi. Ah, sial. Wanita itu menepuk jidatnya karena lupa menanyakan jam berapa Dita akan ke Baby Shop. Dia menghela napas, tetapi ini adalah kesempatan besar karena nanti tidak tahu harus beralasan apa lagi. Ulfa merapalkan doa dalam hati berharap rencananya kali ini terwujud. Sekarang pi
"Wa-wanita gatal?!" Ulfa tersenyum mengiyakan. Dia semakin tidak takut karena Alea ada bersama Sano. Dadanya bergemuruh hebat menahan amarah. Tangan Ulfa gatal, ingin menjambak rambut Dita. Namun, sayang sekali karena pemilik toko malah mengusir mereka. Ulfa tidak mau keluar, dia mengambil banyak mainan mana saja untuk diberikan pada Alea. "Sengaja beli banyak mainan biar disangka kaya, padahal biasa aja. Paling juga nangis karena kehabisan beras," cibir Mahika berlalu melewati menantu pertamanya. "Sayang sekali karena aku nggak pernah kehabisan beras kayak kalian." Ulfa membalas sambil menyerahkan sejumlah uang pada kasir. Tas besar itu Ulfa bawa, langsung menuju parkiran dan memasukkannya ke dalam bagasi. Sano rupanya membeli es krim untuk Alea agar anak itu tenang. Yang merusak mood Ulfa detik ini adalah ketika melihat Mahika menyeret tangan Dita, mendekat padanya. "Sano, antar kami pulang dulu. Masa ibu sama istri kamu harus nunggu taksi? Lagi hamil tua loh dia." Permintaan