Beberapa hari sebelum hari pernikahan nya tiba, Larasati mendapatkan ide untuk memilih penyanyi dalam acara resepsi nya. "Mas, apa kamu ingat penyanyi yang menyanyikan lagu di restoran saat acara lamaran dulu?" tanya Larasati saat dia dan Herman sedang makan malam berdua di pantai. Larasati menikmati makanannya dengan menatap ke arah penyanyi yang sedang manggung di kafe itu. Herman tampak mengerutkan keningnya. "Ingat. Imut ya wajahnya. Kayaknya masih muda. Kenapa sih?"Larasati tampak mengerucut kan mulutnya saat mendengar jawaban Herman. "Berarti menurut Mas, lebih cantik dia daripada aku?" tanya Larasati cemberut. "Ya tentu saja lebih cantik dan lebih seksi kamu dong daripada dia! Kenapa sih? Bukti nya aku kan lebih milih kamu, Ras!""Hm, aku ingin dia yang menjadi penyanyi latar saat kita nikah nanti.""Lha memangnya kenapa harus dia? Bukannya penyanyi saat menikah sudah menjadi urusan WO? Apa kamu kenal sama dia sih?""Eng-gak sih. Eh, lumayan kenal. Dia itu pernah merebut
Hari pernikahan Larasati dan Herman tiba. Aksara sudah bersiap untuk jas hitamnya dan topi serta masker warna senada. Dia sudah mencari tahu tentang dresscode panitia WO dan sekarang menyesuaikannya. Dengan teliti, Aksara memperhatikan petugas yang mempunyai tugas untuk memutar video dan foto di layar proyektor besar. Aksara mengikuti petugas itu masuk ke dalam toilet hotel. Setelah memastikan tidak ada cctv, dia dengan sigapnya menyergap petugas itu dengan menutupkan sapu tangan yang telah diolesi obat bius di hidung dan mulut lelaki itu. Petugas itu pingsan, Aksara segera menyeretnya perlahan di salah satu kamar mandi dan mengunci pintunya dari luar. Selanjutnya Aksara mengalungkan id card petugas WO yang telah diambilnya dari petugas itu. Dia pun dengan tenang kembali ke aula hotel dan duduk di belakang laptop untuk menyiapkan foto dan video yang akan menjadi kejutan tak terlupakan bagi Larasati seumur hidupnya. ***Herman berteriak kaget saat melihat tayangan di layar proyekt
Damar merasakan tubuhnya lunglai. "Ya Tuhan, kenapa bisa terjadi hal seperti ini? Aku sudah dipecat dari perusahaan dan sekarang rumah ku kebakaran? Aku salah apa Tuhan, sehingga dihukum seberat ini?" ratap Damar lirih. Damar mendekat ke arah ibunya. Lelaki itu menyentuh pundak ibunya pelan. Ibu nya menoleh dan bangun memeluk Damar. "Kamu kemana saja? Adik kamu terbakar parah dan sekarang ada di rumah sakit, Damar. Bapakmu yang hendak menolong adikmu, tapi justru terkena robohan atap rumah dan sekarang dibawa ke rumah sakit juga," sahut ibunya pilu. "Astaga, Dini! Bapak!" seru Damar seraya mengepalkan kedua tangannya dengan erat saat mendengar kabar tentang adik dan ayahnya. "Kok bisa kebakaran sih, Bu?" "Ibu nggak tahu, Nak. Yang jelas tadi saat ibu mau bangun tidur karena ingin kencing, api sudah di mencapai kamar ibu. Tapi kamar adikmu sudah dipenuhi oleh api! Ibu tidak bisa menyelamatkan nya. Ibu segera membangun kan bapakmu. Bapakmu yang mencoba menyelamatkan Dini, malah ter
Herman menatap Andi dengan wajah penuh seringaian. Lelaki itu lalu berdiri menatap Andi. Dengan kedua tangan di saku celana, Herman menatap Andi tajam. Seolah menguliti nya pelan-pelan. "Sejauh apa kamu mendengar nya?" tanya Herman pada Andi. "Saya ...""Awas saja kalau kamu buka mulut, aku akan membuatmu sengsara dan menderita. Kalau perlu aku akan menyingkirkanmu!Asal kamu tahu, aku sampai di posisiku sekarang karena aku bertangan besi. Aku tidak segan menyingkirkan orang-orang yang kuanggap menghalangi jalan ku untuk kaya raya, termasuk kamu!" bisik Herman memotong pembicaraan Andi, seraya menatap ke arah matanya. Andi terdiam. Sebenarnya dia ingin menyusun rencana untuk membalas Herman. Tapi dia masih butuh bukti. Sebenarnya Andi tadi sudah merekam percakapan Herman di telepon. Tapi dia tidak apakah hal itu bisa menjadi bupkti untuk menjebloskan Herman ke penjara. Andi juga menyimpan dendam pada Herman karena Herman juga telah menurunkan jabatan nya sekaligus membuatnya kehil
Mutia baru saja turun dari motornya saat matanya bertatapan dengan Aksara yang duduk di kursi teras rumah. "Hai mas Aksa! Sudah lama di sini? Apa Tante Rosa nggak ada di kos?" tanya Mutia, dia lalu duduk di kursi di hadapan Aksara. "Aku nggak pengen ketemu Tante Rosa, Mut.""Lha terus, mas Aksa kesini mau ngapain?" "Mau ketemu kamu. Gimana kuliah nya? Lancar? Apa tugasnya susah?" tanya Aksara beruntun. "Hm, Alhamdulillah. Masih bisa dihandel tugasnya. Sebenernya tadi aku ketemu mas Damar, Mas.""Damar? Mantan suami kamu?" Mutia mengangguk pelan."Kamu ... masih mencintainya?" tanya Aksara penuh selidik. Mutia menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak. Hanya saja tadi mas Damar dan ibunya jadi pengemis.""Apa? Kenapa bisa jadi begitu?" Mutia mengedikkan bahunya. Dia lalu menceritakan apa yang terjadi pada Damar dan ibunya di perempatan lampu lalu lintas. "Ya Allah! Innalilahi wa innailaihi roji'un! Kasihan juga ya si Damar."Mutia mengangguk. "Saya sebenarnya juga baru sa
Pipi Mutia memerah. Mereka saling menatap. Tanpa mengatakan apapun, mereka tahu bahwa mereka telah memiliki rasa yang sama. "Sejak kapan mas Aksa mulai perhatian pada saya?" tanya Mutia akhirnya. "Hm, kapan ya? Entah lah. Yang pasti sejak saya tahu kalau kamu pekerja keras, smart, dan punya banyak kelebihan.""Tapi saya janda, Mas. Saya juga baru kuliah. Mas Aksa kan dokter, ganteng lagi! Pasti tidak sulit untuk mendapatkan pasangan.""Tapi saya hanya mau kamu, Mut. Saya akan menunggu kamu lulus kuliah. Bahkan kalau kamu mau bekerjapun, saya akan mendukung nya. Yang penting kamu sudah tahu tentang perasaan saya."Mutia tersenyum malu. "Terimakasih, Mas Aksa. Apa Bu Mawar tidak keberatan dengan pilihan mas Aksa pada saya?""Mamaku demokratis. Mama akan selalu mendukungku selama apa yang menjadi tujuan ku itu baik. Tapi bagaimana dengan perasaan mu padaku, Mut?"Mutia terdiam sejenak. "Sayang nya saya tidak bisa, Mas."Wajah Aksara tampak terkejut. "Tapi kenapa kamu tidak bisa, Mut? S
Novela mengetuk pintu kamar Aksara dengan hati-hati. Lalu sejenak diam dan menunggu respon dari kembaran nya dari dalam kamar."Masuk saja, Nov. Nggak dikunci."Mendengar sang empunya kamar sudah memberi persetujuannya, Novela pun membuka pintu kamar Aksara dan langsung duduk di tepi ranjang saudara kembar nya itu. Aksara yang sedang mengangkat barbel empat kilonya di depan kaca full body yang terpasang di lemari bajunya. "Kenapa nih? Manyun amat tuh wajah? Apa kamu nggak bisa merencanakan langkah selanjutnya untuk membalas Larasati jadi manyun? Tumben, biasanya kamu banyak ide kalau ngasih pelajaran buat tokoh antagonis kayak di novel-novel kamu," ucap Aksara sambil tetap mengayunkan barbelnya. Dokter yang berusia 27 tahun itu mengenakan kaus oblong tanpa lengan sehingga otot bisep dan trisepnya terbentuk dengan jelas saat dia mengayunkan barbelnya. Keringat Aksara yang membasahi kausnya juga mencetak otot perut kotak-kotak.Novela menghela nafas kasar. "Aku punya berita yang sang
"Aaminn. Mama selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua. Ngomong-ngomong ayo makan dulu. Mama sudah masakin bebek goreng dan lalapan untuk makan malam," ujar Mawar."Iya Ma."Mawar lalu keluar lebih dulu dari kamar Aksara. Aksara menatap ke arah kembarannya. "Nov, jangan bilang-bilang mama tentang masalah Herman, Larasati, dan anak-anaknya. Mama pasti nggak suka kalau dengan acara balas dendam yang kita lakukan pada Larasati. Lagipula aku nggak mau mama kepikiran tentang hubungan ku dan Ridho," bisik Aksara pada Novela saat Mawar sudah menjauh. Novela mengacungkan ibu jarinya. "Oke. Jangan khawatir. Aku tidak akan bilang apapun pada Mama kok."***Riska menatap ponselnya. Di layar hpnya tampak foto Aksara, Novela, Ridho dan dirinya sedang berfoto bersama di sebuah kafe. Gadis itu tersenyum dan mengusap layar ponsel tepat di wajah Aksara. Ingatan nya kembali saat dia bertemu beberapa kali dengan dokter muda itu. Dokter muda yang simpatik, cool, dan tampan tapi terlihat perha