Dua bulan kemudian.Kini kehidupan Nuri sudah terlihat berangsur normal kembali, meski tak ada yang benar-benar normal setelah perceraiannya. Ketok palu yang mengesahkan perceraiannya dengan Andri sudah sah sebulan yang lalu. Prosesnya lancar karena alasan dan buktu yang diajukan Nuri menggugat cerai Andri sangat kuat, yaitu pernikahan suaminya dengan Rini. Andri pun mengakui semuanya pada saat sidang sehingga tidak ada yang menghambat pengesahan perceraian mereka.Sesekali dalam sholat-sholat malamnya Nuri masih terpekur menangis dan mengadu pada Sang Pencipta. Dia hanya manusia biasa, mahkluk yang lemah. Bagaimanapun Andri adalah lelaki yang sudah 13 tahun hidup bersamanya, sesekali rasa nyeri pengkhianatan itu masih terasa di dadanya. Namun, semua masih dalam batas yang wajar, dia hanya berusaha mencari kekuatan dalam doa-doa panjangnya.Hubungannya dengan Rini pun terbilang sangat baik. Sesekali mereka saling menelpon atau mengirim pesan untuk menanyakan kabar. Anak-anaknya pun be
"Kalian saling kenal?" tanya Andin."Kami ... teman lama," sahut mereka kompak berbarengan lagi. Andin semakin bingung."Kompak amat kalian, sudah kayak lagi paduan suara aja. Lagian kok Danis jadi Adit sih?" tanya Andin."Namaku Danis Raditya, Mbak. Tapi hanya orang-orang terdekatku yang memanggilku Adit." "Jadi Nuri termasuk orang dekat dong. Dekat di mata jauh di hati," gurau Andin.Danis hanya tersenyum menanggapi gurauan Andin, sedangkan Nuri memberi tatapan protes pada Andin."Apa kabar, Han? Kamu jadi aparat sipil sekarang?" tanya Danis memperhatikan seragam dinas yang dikenakan Nuri dan Andin."Kabarku baik, Dit. Iya aku sekantor sama Andin," jawab Nuri."Eh, Pak Danis panggilnya apa tadi? Han? Nama lainmu Burhan, Ri?" celoteh Andin.Danis terkekeh, sedangkan Nuri terlihat salah tingkah."Oke, saatnya kita serius sekarang. Apa Pak Danis sudah membaca file yang saya kirim?" Andin mulai memasang wajah serius."Sudah Mbak Andin. Saya sudah mempelajari kasusnya," jawab Danis.And
"Jadi menurut Pak Danis, berapa besar peluang memenangkan kasus ini?" tanya Andin."Saya optimis dengan kasus ini Mbak Andin, saya rasa saya bisa memenangkan klien saya sebab bukti rekaman cctv sudah kita dapatkan.""Alhamdulillah, saya pegang ucapan anda, Pak Danis.""Panggil Danis aja, Mbak, apalagi saya juga temannya Nuri," pinta Danis."Oke, kalo gitu saya juga dipanggil Andin saja. Asal jangan dipanggil "Han" kayak dia," sahut Andin sambil memonyongkan bibirnya kearah Nuri. "Tadi nelpon siapa, Ndin? Kelihatannya serius banget tadi," tanya Nuri pada Andin."Nelpon kakak kesayanganmu.""Kamu nelpon Kak Rizal? Kok bisa? Emang boleh bawa ponsel di sel?""Nggak lah. Aku minta tolong Kalapasnya langsung tadi.""Kok bisa???" "Kamu meragukan kemampuanku, Ri?" Jawab Andin membuat Nuri terdiam. "Jangan ragukan kemampuan negoisasi seorang Andini Prambudi." Andin membanggakan dirinya."Jadi Rizal Arifin yang sedang kita bahas kasusnya ini kakak kamu, Ri?" tanya Danis menyimak pembicaraan d
[Assalamualaikum, ada apa Rin?]Mendengar Nuri menyebut nama Rini, Andin spontan menoleh ke belakang menatap Nuri.[Walaikumsalam. Maaf Mbak, Rini ganggu kah?][Nggak Rin, ada apa?] Nuri mengulang pertanyaannya.[Mbak Nuri ada waktu? Aku mau ketemu Mbak, ada yang mau kubicarakan.][Wah Mbak lagi nggak di rumah, Rin. Ini lagi di jalan mau kunjungan ke lapas.][Aku boleh nyusul kesana nggak, Mbak? Sekalian mau kenal sama kakaknya mbak Nuri.][Boleh aja sih, Rin, asal diijin suamimu.][Pak Andri lagi di Bandung mbak, ada urusan kerjaan.][Ooo gitu, naik apa nyusul kesini Rin?][Nanti minta diantar Eko, Mbak.][Ya sudah, Mbak tunggu di sana ya. Nanti kalo udah nyampai telpon aja.] Nuri mengakhiri panggilan di ponselnya.Andin masih menoleh dari kursi depan menatapnya. Sedangkan Danis menatapnya dari spion."Kalian ini kenapa?" tanya Nuri."Kamu nyuruh Rini nyusul? Ngapain sih Ri? Kamu yakin hatimu akan baik-baik aja melihatnya?""Jangan dibahas, Ndin. Nggak enak ada Adit," jawab Nuri."A
Danis melajukan mobilnya perlahan meninggalkan Lapas. Sesekali dia melirik Nuri yang duduk di kursi depan di sebelahnya. Ada perasaan iba di dadanya melihat wanita yang dulu pernah mengisi hari-harinya itu. Mereka dulunya adalah sepasang kekasih yang terpisah karena keadaan. Danis menerima tawaran bekerja di Jerman dan meninggalkan Nuri. Sejak memulai karirnya di sana, Danis sangat disibukkan dengan pekerjaannya sehingga mereka jarang berkomunikasi, hal inilah yang akhirnya membuat beberapa kesalahpahaman terjadi di antara keduanya. Kesalahpahaman berkomunikasi dan jarak membuat mereka berdua akhirnya menyerah pada keadaan dan memilih untuk menjalani hidup masing-masing.Danis tidak pernah menyangka jika Allah kembali mempertemukan mereka berdua justru setelah ia tidak berharap untuk bertemu Nuri kembali. Dulu Danis sempat merasa terpuruk ketika kembali ke tanah air untuk menemui kekasih hatinya itu namun menemukan kenyataan bahwa Nuri telah menikah dan membangun rumah tangga. Hingga
“Nuri, kita mampir sebentar ya, aku agak ngantuk nih mau ngopi dulu,” kata Danis sambil menepikan mobilnya di sebuah kafe di pinggir jalan. Nuri hanya memberi tanda setuju dengan anggukan.“Kamu lagi di mana, Dik?" tanya Andri di telpon.“Aku lagi di jalan, Mas, pulang dari lapas. Kalau nggak ada yang mau dibicarakan lagi Nuri tutup telponnya ya, Mas.”“Kamu lagi bersama siapa, Dik? Kok nggak bawa mobil sendiri?”Sepertinya Andri mendengar suara Danis tadi.“Aku sedang bersama teman sekaligus pengacara Kak Rizal, Mas. Sudah dulu ya Nuri tutup telponnya. Assalamualaikum.”Nuri mengakhiri panggilan telponnya kemudian menyusul Danis yang sudah lebih dulu masuk ke kafe. Sementara di seberang sana, Andri terlihat frustasi mengusap wajahnya saat mendengar suara seorang pria yang sedang bersama Nuri di telpon tadi. Andri pun kembali melakukan panggilan lewat ponselnya.“Eko, pesankan aku tiket sekarang juga.” Andri memberi perintah lewat telpon. ***“Mau ngopi?” tanya Danis ketika melihat N
Nuri kemudian menyuruh Aldy dan Nanda menemui Andri, sedangkan ia sendiri memilih masuk ke dalam kamarnya. Suara Andri dan anak-anaknya bercengkrama di ruang tamu masih terdengar samar di kamar Nuri. Beberapa saat kemudian pintu kamarnya diketuk.“Ada apa, Nak?” tanya Nuri melihat Aldy yang mengetuk pintu kamarnya.“Papa mau pulang, Ma. Katanya mau pamitan sama Mama," jawab Aldy.“Ohh iya tunggu sebentar ya, Nak." Nuri kemudian masuk kembali ke kamarnya mengambil jilbab instannya dan memakaianya sebelum keluar menemui Andri.“Aku pamit ya, Dik." Andri menatap mata Nuri. Aldy dan Nanda sendiri sudah beranjak dari sana setelah mencium punngung tangan papanya.“Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Sampaikan salamku pada Rini, dan maaf jika pertemuannya dengan Kak Rizal tadi harus membuka kembali luka lamanya,” kata Nuri tulus.Andri kemudian melangkah ke arah pintu dan keluar setelah mengucapkan salam. Namun ketika Nuri hendak kembali menutup pintu ia merasa pintu itu masih tertahan. Nuri meng
Nuri mengulurkan tangannya dan mengusap-usap punggung tangan Rini.“Apa kamu sadar ucapan sumpahmu itu sudah terkabulkan sekarang?” kata Nuri.“Apa maksudmu, Mbak?”“Allah sudah memberimu kesempatan dan mengabulkan sumpahmu padanya. Kak Rizal kakak kandungku, Rin, dan hubungan yang terjadi di antara kita mungkin adalah jawaban yang diberikan Allah atas sumpahmu pada kakakku.”Rini terdiam memikirkan ucapan Nuri, sesaat kemudian dia menunduk dan meneteskan air mata. “Maafkan aku jika sumpahku padanya akhirnya berimbas padamu, Mbak. Aku tidak tau dan tidak pernah menduga jika dia adalah kakakmu.”“Yang sudah terjadi biarlah berlalu, Rin, itu semua sudah bagian dari takdir Allah. Aku hanya berharap kamu jangan dikuasai rasa benci yang terlalu besar. Bencilah sewajarnya. Apa kamu tau Kak Rizal sedang berusaha mengajukan peninjauan kembali atas kasus pembunuhan ayahmu? Itulah yang membuatku berada di sana kemarin bersama pengacaranya. Dia mengaku bahwa dia tidak membunuh ayahmu. Dia memang