Cklek!Siang hari, Nyonya Firda datang berkunjung ke ruangan calon menantunya yang masih mendapatkan perawatan di rumah sakit. Namun sayangnya, wanita paruh baya itu tak menemukan seorang pun di dalam ruangan Devan."Kenapa sepi? Bukankah Devan masih dirawat di sini?" gumam Nyonya Firda.Wanita paruh baya itu merogoh ponsel di tas kecilnya untuk menghubungi ibu dari Devan, Nyonya Sella. Namun, karena terlalu fokus mengulik ke dalam isi tas, wanita paruh baya itu pun tanpa sengaja menabrak seorang gadis yang tengah berjalan di lorong rumah sakit.Bruk!Bingkisan buah yang dibawa oleh Nyonya Firda pun terlepas dari genggaman tangannya meluncur bebas ke lantai."M-maaf, Nyonya! Saya tidak sengaja," ucap seorang gadis yang tak lain ialah Berlin.Berlin segera memunguti bingkisan buah milik Nyonya Firda, kemudian menyerahkan wadah buah itu pada sang pemilik."Terima kasih banyak. Bibi yang salah karena terlalu sibuk melihat tas. Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Nyonya Firda merasa tak enak h
"Kau kenapa?" tanya Devan begitu melihat wajah Berlin yang terlihat pucat selama perjalanan menuju bandara."Hm? Tidak apa-apa," jawab Berlin lirih."Kau sakit? Tidak enak badan? Ada luka yang terbuka lagi?" cecar Devan sembari meraba-raba perban luka di tubuh Berlin."Tidak ada. Aku baik-baik saja," tukas Berlin."Baik-baik saja apanya? Bibirmu pucat," cetus Devan."Aku ... seperti ingin mun—"Belum sempat Berlin menuntaskan kalimatnya, gadis itu tiba-tiba memuntahkan isi perutnya tepat di celana Devan.Pria itu benar-benar terkejut saat melihat kakinya yang sudah kotor karena muntahan Berlin."BERHENTI!" pekik Devan pada supir yang mengemudikan mobilnya."M-maaf, Tuan. Aku ... aku takut naik pesawat," rengek Berlin pada Devan."Apa kau bilang?" tanya Devan dengan dahi berkerut."Aku sangat gugup sampai aku tidak tahan ingin memuntahkan isi perutku. Maafkan aku. Aku akan bersihkan," ujar Berlin dengan air mata berlinang."Jangan sentuh! Bersihkan dirimu di toilet sana! Cari toilet um
"Hei! Bangun!" Devan memenceti hidung Berlin dan mengguncang-guncangkan bahu mungil gadis itu."Berlin! Kau tidak mati, kan? Cepat bangun sebelum aku menggelindingkanmu dari pesawat!" omel Devan sembari menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang tertidur lelap disampingnya itu.Setelah tertidur pulas selama belasan jam, Berlin pun terbangun dari istirahat panjangnya akibat obat tidur yang diberikan oleh Devan."Hoam!" Gadis itu menguap lebar-lebar dan hampir saja menyedot nyamuk masuk ke dalam mulutnya."Kita sudah sampai," ujar Devan, kemudian menarik tangan Berlin untuk bangkit dari bangku."Kita berada di mana sekarang?" tanya Berlin linglung."Berlin,""Hm?""Kita ada di Kota Berlin sekarang," ungkap Devan."Benarkah? Aku ... berada di luar negeri sekarang?" pekik Berlin tak percaya. Gadis itu segera berlarian keluar dari pesawat, diikuti oleh Devan yang mengekor di belakang Berlin seraya menenteng tas kecil yang berisi barang-barang Berlin."Aku pergi keluar negeri?" gumam Berlin masi
"Sial! Sepertinya aku terlambat!" gerutu Vernon begitu masuk ke dalam ruangan Berlin dan mendapati ruangan itu sudah kosong.Vernon mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati tas kecil yang masih tergeletak di dalam ruangan Berlin. Pria itu meraih tas kecil lama milik Berlin dan memeriksa isi wadah tersebut.Hanya tersisa dompet yang sudah kosong di dalamnya, serta beberapa foto yang tersimpan di sana. Foto tersebut tak lain ialah lembar foto yang diambil oleh Berlin dari panti asuhan. Berlin masih menyimpan rapi foto kecil Berlin serta foto masa kecil Devan yang sempat diambil oleh gadis itu dari kamar Bu Wanda.Vernon juga menemukan syal kecil yang tersimpan rapi di atas meja di ruangan pasien yang ditempati oleh Berlin sebelumnya."Berlin benar-benar dibawa oleh Bos ke Jerman?" guman Vernon tak menyangka jika Devan akan kabur ke Jerman dan membawa Berlin ikut serta.Devan bahkan tidak berpamitan pada kedua orang tuanya, dan pergi begitu saja dari rumah sakit tanpa iz
"Kenapa kau belum juga bersiap?" omel Devan saat melihat Berlin belum juga berganti pakaian."Bersiap kemana?""Bersiap untuk makan tentunya! Aku sudah menyuruhmu untuk menggunakan lingerie yang aku belikan untukmu, kan?" sungut Devan sembari mencubit gemas pipi Berlin."Hanya untuk makan saja, untuk apa mengenakan lingerie?" protes Berlin."Kau berani membantahku sekarang? Apa ini sikap sugar baby pada daddy-nya yang sudah menghabiskan banyak uang?""Sudah kubilang jangan panggil aku sugar baby!" pekik Berlin kencang hingga membuat telinga Devan berdengung.Wajah Berlin mulai memerah menahan amarah dan manik matanya melotot ke arah Devan."K-kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu?" tukas Devan merasa merinding mendapatkan tatapan tajam dari Berlin."Cepat ganti bajumu! Aku sudah kelaparan!" omel Devan sembari mendorong Berlin kembali ke kamar.Akhirnya gadis itu pun menuruti kemauan Devan dan muncul dengan mengenakan lingerie terbuka pilihan Devan."Dasar mesum!" gerutu Berl
Berlin menggeliat di ranjang dan membuka mata perlahan begitu dirinya mendengar bunyi alarm yang begitu memekakkan telinga."Alarm siapa itu? Bisa tolong matikan?" gerutu Berlin kesal begitu telinganya disuguhi suara menyebalkan yang mengganggu istirahatnya."Sudah waktunya bangun!" Devan tiba-tiba meraih pinggang Berlin dan memanggul tubuh gadis itu menuju kamar mandi."A-aku masih ingin tidur sebentar lagi! Lima menit lagi saja!" pinta Berlin."Matahari sudah hampir tenggelam! Nanti kita terlambat!" ketus Devan."Terlambat untuk apa?""Tentu saja terlambat untuk kencan kita!" ujar Devan dengan gamblang menyebutkan kata "kencan" pada Berlin.'Cih, kencan apanya?' cibir Berlin dalam hati."Aku tunggu di luar! Jika kau tidak keluar dalam sepuluh menit, aku akan menyeretmu keluar meskipun kau hanya mengenakan handuk!" pekik Devan sembari berlari keluar rumah."Sepuluh menit apanya? Sepuluh menit hanya cukup untuk menggosok gigi!" seloroh Berlin melayangkan protes pada Devan yang seenak
"Ayah!" Nyonya Firda membuka pintu rumahnya dengan panik begitu wanita paruh baya itu tiba di kediamannya."Ibu baru pulang?" sapa Sheena.Nyonya Firda berlalu begitu saja tanpa menghiraukan sapaan dari putri angkatnya."Ada apa dengan Ibu?" gumam Sheena keheranan.Wanita paruh baya itu bergegas menuju ke ruang kerja sang suami yang tengah disibukkan dengan tumpukan berkas yang berserakan di atas meja."Ayah! Ibu menemukan sesuatu!" cetus Nyonya Firda yang tiba-tiba mendobrak pintu ruangan kerja sang suami."Ada apa, Bu? Tidak bisakah Ibu berhati-hati saat membuka pintu?" omel Tuan Mahesa."Ayah, kita harus segera berangkat ke Jerman!" tukas Nyonya Firda berapi-api."Ada apa, Bu? Ibu menemukan apa? Kenapa tiba-tiba kita harus ke Jerman?" "Coba lihat ini!" Wanita paruh baya itu bersemangat sekali saat menunjukkan lembar foto mengejutkan yang didapatkannya dari Vernon."Foto apa?" tanya Tuan Mahesa malas.Sheena yang mendengar keributan dari ruangan sang ayah pun mulai penasaran dengan
“Kau ingin mengajakku kemana lagi?” tanya Berlin malas. Devan masih saja bersemangat mengajak gadis itu menghabiskan liburan dengan membawa Berlin ke beberapa destinasi wisata di Berlin, Jerman.“Kau sedang ada di kota yang sama dengan namamu! Kenapa kau tidak terlihat antusias sama sekali?” sergah Devan.‘Antusias apanya? Bagaimana aku bisa berantusias kalau setiap malam kau terus saja menggempurku sampai pagi?’ gerutu Berlin dalam hati, mengingat Devan yang terus menuntut ‘jatah’ darinya setiap malam.“Kau harus berolahraga sedikit agar tubuhmu terlihat bugar! Lihat lengan lembekmu ini! Perutmu juga membuncit!” omel Devan sembari meraba-raba beberapa anggota tubuh Berlin.“Singkirkan tanganmu!” ketus Berlin, kemudian menepis tangan Devan darinya.“Kenapa wajahmu cemberut seperti itu? Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk menyenangkanmu, tapi ini balasan yang kudapat?” gerutu Devan mendramatisir.Berlin melirik ke arah Devan dengan wajah malas, tanpa ingin menanggapi tingkah menye