"Hei! Bangun!" Devan memenceti hidung Berlin dan mengguncang-guncangkan bahu mungil gadis itu."Berlin! Kau tidak mati, kan? Cepat bangun sebelum aku menggelindingkanmu dari pesawat!" omel Devan sembari menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang tertidur lelap disampingnya itu.Setelah tertidur pulas selama belasan jam, Berlin pun terbangun dari istirahat panjangnya akibat obat tidur yang diberikan oleh Devan."Hoam!" Gadis itu menguap lebar-lebar dan hampir saja menyedot nyamuk masuk ke dalam mulutnya."Kita sudah sampai," ujar Devan, kemudian menarik tangan Berlin untuk bangkit dari bangku."Kita berada di mana sekarang?" tanya Berlin linglung."Berlin,""Hm?""Kita ada di Kota Berlin sekarang," ungkap Devan."Benarkah? Aku ... berada di luar negeri sekarang?" pekik Berlin tak percaya. Gadis itu segera berlarian keluar dari pesawat, diikuti oleh Devan yang mengekor di belakang Berlin seraya menenteng tas kecil yang berisi barang-barang Berlin."Aku pergi keluar negeri?" gumam Berlin masi
"Sial! Sepertinya aku terlambat!" gerutu Vernon begitu masuk ke dalam ruangan Berlin dan mendapati ruangan itu sudah kosong.Vernon mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati tas kecil yang masih tergeletak di dalam ruangan Berlin. Pria itu meraih tas kecil lama milik Berlin dan memeriksa isi wadah tersebut.Hanya tersisa dompet yang sudah kosong di dalamnya, serta beberapa foto yang tersimpan di sana. Foto tersebut tak lain ialah lembar foto yang diambil oleh Berlin dari panti asuhan. Berlin masih menyimpan rapi foto kecil Berlin serta foto masa kecil Devan yang sempat diambil oleh gadis itu dari kamar Bu Wanda.Vernon juga menemukan syal kecil yang tersimpan rapi di atas meja di ruangan pasien yang ditempati oleh Berlin sebelumnya."Berlin benar-benar dibawa oleh Bos ke Jerman?" guman Vernon tak menyangka jika Devan akan kabur ke Jerman dan membawa Berlin ikut serta.Devan bahkan tidak berpamitan pada kedua orang tuanya, dan pergi begitu saja dari rumah sakit tanpa iz
"Kenapa kau belum juga bersiap?" omel Devan saat melihat Berlin belum juga berganti pakaian."Bersiap kemana?""Bersiap untuk makan tentunya! Aku sudah menyuruhmu untuk menggunakan lingerie yang aku belikan untukmu, kan?" sungut Devan sembari mencubit gemas pipi Berlin."Hanya untuk makan saja, untuk apa mengenakan lingerie?" protes Berlin."Kau berani membantahku sekarang? Apa ini sikap sugar baby pada daddy-nya yang sudah menghabiskan banyak uang?""Sudah kubilang jangan panggil aku sugar baby!" pekik Berlin kencang hingga membuat telinga Devan berdengung.Wajah Berlin mulai memerah menahan amarah dan manik matanya melotot ke arah Devan."K-kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu?" tukas Devan merasa merinding mendapatkan tatapan tajam dari Berlin."Cepat ganti bajumu! Aku sudah kelaparan!" omel Devan sembari mendorong Berlin kembali ke kamar.Akhirnya gadis itu pun menuruti kemauan Devan dan muncul dengan mengenakan lingerie terbuka pilihan Devan."Dasar mesum!" gerutu Berl
Berlin menggeliat di ranjang dan membuka mata perlahan begitu dirinya mendengar bunyi alarm yang begitu memekakkan telinga."Alarm siapa itu? Bisa tolong matikan?" gerutu Berlin kesal begitu telinganya disuguhi suara menyebalkan yang mengganggu istirahatnya."Sudah waktunya bangun!" Devan tiba-tiba meraih pinggang Berlin dan memanggul tubuh gadis itu menuju kamar mandi."A-aku masih ingin tidur sebentar lagi! Lima menit lagi saja!" pinta Berlin."Matahari sudah hampir tenggelam! Nanti kita terlambat!" ketus Devan."Terlambat untuk apa?""Tentu saja terlambat untuk kencan kita!" ujar Devan dengan gamblang menyebutkan kata "kencan" pada Berlin.'Cih, kencan apanya?' cibir Berlin dalam hati."Aku tunggu di luar! Jika kau tidak keluar dalam sepuluh menit, aku akan menyeretmu keluar meskipun kau hanya mengenakan handuk!" pekik Devan sembari berlari keluar rumah."Sepuluh menit apanya? Sepuluh menit hanya cukup untuk menggosok gigi!" seloroh Berlin melayangkan protes pada Devan yang seenak
"Ayah!" Nyonya Firda membuka pintu rumahnya dengan panik begitu wanita paruh baya itu tiba di kediamannya."Ibu baru pulang?" sapa Sheena.Nyonya Firda berlalu begitu saja tanpa menghiraukan sapaan dari putri angkatnya."Ada apa dengan Ibu?" gumam Sheena keheranan.Wanita paruh baya itu bergegas menuju ke ruang kerja sang suami yang tengah disibukkan dengan tumpukan berkas yang berserakan di atas meja."Ayah! Ibu menemukan sesuatu!" cetus Nyonya Firda yang tiba-tiba mendobrak pintu ruangan kerja sang suami."Ada apa, Bu? Tidak bisakah Ibu berhati-hati saat membuka pintu?" omel Tuan Mahesa."Ayah, kita harus segera berangkat ke Jerman!" tukas Nyonya Firda berapi-api."Ada apa, Bu? Ibu menemukan apa? Kenapa tiba-tiba kita harus ke Jerman?" "Coba lihat ini!" Wanita paruh baya itu bersemangat sekali saat menunjukkan lembar foto mengejutkan yang didapatkannya dari Vernon."Foto apa?" tanya Tuan Mahesa malas.Sheena yang mendengar keributan dari ruangan sang ayah pun mulai penasaran dengan
“Kau ingin mengajakku kemana lagi?” tanya Berlin malas. Devan masih saja bersemangat mengajak gadis itu menghabiskan liburan dengan membawa Berlin ke beberapa destinasi wisata di Berlin, Jerman.“Kau sedang ada di kota yang sama dengan namamu! Kenapa kau tidak terlihat antusias sama sekali?” sergah Devan.‘Antusias apanya? Bagaimana aku bisa berantusias kalau setiap malam kau terus saja menggempurku sampai pagi?’ gerutu Berlin dalam hati, mengingat Devan yang terus menuntut ‘jatah’ darinya setiap malam.“Kau harus berolahraga sedikit agar tubuhmu terlihat bugar! Lihat lengan lembekmu ini! Perutmu juga membuncit!” omel Devan sembari meraba-raba beberapa anggota tubuh Berlin.“Singkirkan tanganmu!” ketus Berlin, kemudian menepis tangan Devan darinya.“Kenapa wajahmu cemberut seperti itu? Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk menyenangkanmu, tapi ini balasan yang kudapat?” gerutu Devan mendramatisir.Berlin melirik ke arah Devan dengan wajah malas, tanpa ingin menanggapi tingkah menye
"Kita akan kemana lagi?" Berlin dan Devan kini mulai beranjak meninggalkan taman Tiergarten untuk melanjutkan agenda kencan mereka menuju destinasi wisata lainnya."Kau ingin kemana? Aku akan menemanimu. Kau tidak pernah pergi berlibur, kan? Mana mungkin kau memiliki uang untuk memikirkan liburan," cetus Devan tanpa maksud buruk, namun perkataan pria itu memang terdengar seperti ejekan.'Sial! Dasar pria menyebalkan!' umpat Berlin dalam hati."Nikmati saja waktumu selama aku masih berbaik hati padamu. Sudah kuajak pergi berlibur jauh-jauh, kenapa kau justru ingin pulang?" omel Devan."Setelah aku mencampakkanmu nanti, kau tidak akan bisa lagi menikmati liburan seperti ini. Kau pasti akan menyesal setelah berpisah dariku nanti," oceh Devan penuh percaya diri.'Aku justru akan sangat berterimakasih padamu kalau kau bersedia melepaskanku sekarang juga!' batin Berlin."Katakan saja, kau ingin kemana?" Devan masih saja cerewet dan terus mengoceh, meskipun Berlin hanya diam tak menanggapi.
Zzrrashh!Rintik hujan tiba-tiba mengucur deras, mengganggu momen romantis antara Devan dan Berlin yang tengah bertatapan.Hewan-hewan yang berada di kebun binatang langsung berlarian meneduhkan tubuh di kandang, sama seperti Berlin dan Devan yang juga berlarian mencari tempat untuk berlindung dari siraman air hujan."Kemari, Berlin!" Devan menarik tangan Berlin menuju pondok kecil yang terdapat di kebun binatang."Ah, sial! Kenapa harus hujan sekarang?" rengek Berlin kesal, tak dapat melanjutkan tour keliling kebun binatang bersama Devan."Kita bisa kemari lagi nanti," tukas Devan menyibukkan diri dengan menggosok telapak tangan Berlin agar gadis itu tak kedinginan.'Apa maksudnya? Devan akan mengajakku kemari lagi?' batin Berlin."Baju dan rambutmu basah," ujar Devan sembari mengusap lembut rambut panjang gadisnya."H-hanya basah sedikit," tukas Berlin terbata-bata. Gadis itu mulai salah tingkah hanya karena perhatian kecil dari Devan."Bibirmu agak pucat. Kau kedinginan?" tanya Dev