"Kita akan kemana lagi?" Berlin dan Devan kini mulai beranjak meninggalkan taman Tiergarten untuk melanjutkan agenda kencan mereka menuju destinasi wisata lainnya."Kau ingin kemana? Aku akan menemanimu. Kau tidak pernah pergi berlibur, kan? Mana mungkin kau memiliki uang untuk memikirkan liburan," cetus Devan tanpa maksud buruk, namun perkataan pria itu memang terdengar seperti ejekan.'Sial! Dasar pria menyebalkan!' umpat Berlin dalam hati."Nikmati saja waktumu selama aku masih berbaik hati padamu. Sudah kuajak pergi berlibur jauh-jauh, kenapa kau justru ingin pulang?" omel Devan."Setelah aku mencampakkanmu nanti, kau tidak akan bisa lagi menikmati liburan seperti ini. Kau pasti akan menyesal setelah berpisah dariku nanti," oceh Devan penuh percaya diri.'Aku justru akan sangat berterimakasih padamu kalau kau bersedia melepaskanku sekarang juga!' batin Berlin."Katakan saja, kau ingin kemana?" Devan masih saja cerewet dan terus mengoceh, meskipun Berlin hanya diam tak menanggapi.
Zzrrashh!Rintik hujan tiba-tiba mengucur deras, mengganggu momen romantis antara Devan dan Berlin yang tengah bertatapan.Hewan-hewan yang berada di kebun binatang langsung berlarian meneduhkan tubuh di kandang, sama seperti Berlin dan Devan yang juga berlarian mencari tempat untuk berlindung dari siraman air hujan."Kemari, Berlin!" Devan menarik tangan Berlin menuju pondok kecil yang terdapat di kebun binatang."Ah, sial! Kenapa harus hujan sekarang?" rengek Berlin kesal, tak dapat melanjutkan tour keliling kebun binatang bersama Devan."Kita bisa kemari lagi nanti," tukas Devan menyibukkan diri dengan menggosok telapak tangan Berlin agar gadis itu tak kedinginan.'Apa maksudnya? Devan akan mengajakku kemari lagi?' batin Berlin."Baju dan rambutmu basah," ujar Devan sembari mengusap lembut rambut panjang gadisnya."H-hanya basah sedikit," tukas Berlin terbata-bata. Gadis itu mulai salah tingkah hanya karena perhatian kecil dari Devan."Bibirmu agak pucat. Kau kedinginan?" tanya Dev
"Hachu!" Berlin mengusap ingus yang mengalir deras dari hidungnya. Gadis itu duduk di mobil Devan dengan mulut membiru karena kedinginan.Devan segera meraih kotak tisu dan mengusap hidung Berlin tanpa sungkan. "Sudah kubilang untuk menungguku, kan? Lihat, sekarang! Jika kau demam seperti ini, siapa yang susah?" omel Devan."Maaf," ucap Berlin lirih."Siapa juga yang mengharapkan maaf darimu?" sinis Devan.Tak banyak basa-basi, Devan segera mengendarai mobilnya pulang. Begitu kendaraan yang dikemudikannya masuk ke area halaman rumah, pria itu dikejutkan dengan kendaraan asing yang sudah terparkir di depan rumahnya di Kota Berlin."Ada tamu?" gumam Berlin."Tunggu di sini! Aku akan ambilkan handuk. Jangan keluar!" titah Devan, keluar terlebih dahulu dari mobil masih dengan keadaan bertelanjang dada."Ingat untuk diam di sini sampai aku kembali! Kau juga tidak ingin dilihat tamu dengan keadaan basah seperti ini, kan?" sambung pria itu sembari menutup kembali pintu mobil dan masuk ke dal
Berlin nampak sibuk mengemasi barang-barangnya dan menyembunyikan koper besarnya di luar rumah Devan. Gadis itu terus celingukan di sekitar rumah untuk mengamati situasi dan bersiap untuk melarikan diri setelah berhasil merampok uang Devan untuk ongkos pulang kembali ke negara asal."Devan sepertinya masih berada di lantai atas. Apa aku rampok uangnya sekarang saja?" gumam Berlin dengan tubuh gemetar ketakutan."Maaf, Devan! Anggap saja ini sebagai hutang. Aku akan membayarmu kembali nanti. Aku harus pulang sekarang! Aku tidak mau berada di sini lebih lama. Kau membuat jantungku tidak sehat," oceh Berlin panjang lebar.Gadis itu sudah membulatkan tekad untuk meninggalkan Devan, sebelum Berlin semakin jatuh hati pada sugar daddy-nya itu.Berlin ingin mengubur perasaannya dalam-dalam dan ingin mencoba melupakan Devan dengan cara pergi sejauh mungkin dari pria itu.Berlin mengambil pena dan kertas, kemudian asyik menulis surat pendek untuk Devan, sebagai tanda perpisahan darinya.'Aku p
Devan meraih sepucuk surat yang ada di nakas kamarnya dan menatap lekat-lekat lembar kertas tersebut.Pria itu segera membaca isi dari goresan tinta yang ditorehkan oleh Berlin pada lembar surat berwarna putih itu.'Hai, Devan. Mulai hari ini aku tidak ingin memanggilmu "Tuan" lagi, karena kau bukan lagi sugar daddy yang harus kulayani. Aku mengambil sedikit uangmu untuk ongkos kembali. Aku janji, aku akan mengembalikannya. Kau bisa pegang janjiku.'"Apa-apaan ini? Gadis bodoh itu meninggalkan surat perpisahan?" geram Devan hampir saja merobek kertas itu sebelum ia membaca seluruh isinya.'Kau pasti sangat marah dan ingin menghajarku sekarang karena aku sudah melarikan diri seenaknya tanpa membayar hutangku padamu. Aku pasti akan kembali menemuimu suatu hari nanti dengan uang yang banyak. Tunggu saja,'"Kau repot-repot menulis surat hanya karena uang?"Manik mata Devan memerah seketika dan kepalanya sudah siap meledakkan amarah.'Maafkan aku. Hanya maaf yang bisa kukatakan padamu seka
"Aku mencintaimu, Berlin. Kau dengar aku, kan? Aku tahu kau pasti berada di dalam bandara ini, kan? Kau ada di sini 'kan, Berlin?" oceh Devan dengan pengeras suara."Apa-apaan ini? Devan mencariku? Apa dia sudah membaca surat yang kutinggalkan?" gumam Berlin lekas berlinang air mata."Tolong jangan pergi, Berlin! Aku ingin kau tinggal di sisiku," ujar Devan tegas."Kau mendengarku, kan? Bisakah kau datang ke pusat informasi sekarang? Aku akan menunggu sampai kau datang. Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Kuharap kau ada di sini untuk mendengarnya," pungkas Devan, tak lagi melanjutkan perkataannya.Pria itu keluar dari ruang pusat informasi dan menunggu di sekitar ruangan tersebut dengan gelisah. Devan terus celingukan kesana-kemari, berharap gadis pujaannya mendengar perkataannya dan mau menghampirinya."Apa Berlin tidak mendengar suaraku tadi? Atau Berlin belum tiba di bandara?" gumam Devan mulai gusar dan tak sabaran menunggu kedatangan gadisnya.Sementara, orang yang ditun
Berlin dan Devan duduk di dalam mobil Devan dengan canggung. Pasangan kekasih itu terus saling mencuri pandang dan nampak malu-malu untuk berbincang.Devan mencoba memberanikan diri memegang tangan Berlin, dengan jantung yang berdegup kencang."Em ... boleh ... aku langsung saja?" tanya Devan terbata-bata."La-langsung apanya?" tanya Berlin dengan pipi semerah kepiting rebus.Devan meraih tengkuk Berlin, kemudian mendaratkan kecupan ke bibir merah wanita itu. Tangan Devan mulai menyusup ke dalam pakaian Berlin, dan menjamah tubuh sintal gadis yang sudah menjadi kekasihnya itu."Devan, aku sudah bilang padamu kalau aku tidak mau menjadi sugar baby-mu lagi!" tukas Berlin, menghentikan ciumannya dan menepis tangan Devan yang bertengger di tubuhnya."Siapa yang bilang kalau kau sugar baby?""Lalu, apa yang kau lakukan padaku sekarang? Ini hal yang aku lakukan saat aku menjadi mainan ranjangmu, kan?" protes Berlin."
Devan akhirnya berhasil membawa gadisnya pulang ke rumah dan melanjutkan pergumulan panas mereka di kamar Devan.Berlin benar-benar dibuat kewalahan oleh nafsu besar Devan yang terus saja melesakkan miliknya ke lembah nikmat milik gadis yang disukainya."Devan, aku sudah lelah!" lirih Berlin yang sudah bermandikan keringat."Sekali lagi," pinta Devan, kemudian kembali menggagahi Berlin dengan melancarkan aksi bertubi-tubi.Cup!Olahraga panas mereka pun diakhiri dengan kecupan hangat Devan ke kening sang kekasih hati yang kini sudah resmi menjadi miliknya."Sepertinya aku sangat tidak tahu diri," gumam Berlin membuka obrolan di sela-sela istirahat mereka setelah pergulatan panas yang panjang."Kenapa?""Aku ... sudah mendapatkan tubuhmu dan uangmu. Tapi aku masih saja menginginkan hatimu. Aku benar-benar serakah dan tidak tahu diri," ungkap Berlin."Kau ingin apa lagi? Aku akan berikan semuanya untukmu, Berlin."Devan mengecupi pucuk kepala Berlin bertubi-tubi dengan penuh kasih."Men