Devan meraih sepucuk surat yang ada di nakas kamarnya dan menatap lekat-lekat lembar kertas tersebut.Pria itu segera membaca isi dari goresan tinta yang ditorehkan oleh Berlin pada lembar surat berwarna putih itu.'Hai, Devan. Mulai hari ini aku tidak ingin memanggilmu "Tuan" lagi, karena kau bukan lagi sugar daddy yang harus kulayani. Aku mengambil sedikit uangmu untuk ongkos kembali. Aku janji, aku akan mengembalikannya. Kau bisa pegang janjiku.'"Apa-apaan ini? Gadis bodoh itu meninggalkan surat perpisahan?" geram Devan hampir saja merobek kertas itu sebelum ia membaca seluruh isinya.'Kau pasti sangat marah dan ingin menghajarku sekarang karena aku sudah melarikan diri seenaknya tanpa membayar hutangku padamu. Aku pasti akan kembali menemuimu suatu hari nanti dengan uang yang banyak. Tunggu saja,'"Kau repot-repot menulis surat hanya karena uang?"Manik mata Devan memerah seketika dan kepalanya sudah siap meledakkan amarah.'Maafkan aku. Hanya maaf yang bisa kukatakan padamu seka
"Aku mencintaimu, Berlin. Kau dengar aku, kan? Aku tahu kau pasti berada di dalam bandara ini, kan? Kau ada di sini 'kan, Berlin?" oceh Devan dengan pengeras suara."Apa-apaan ini? Devan mencariku? Apa dia sudah membaca surat yang kutinggalkan?" gumam Berlin lekas berlinang air mata."Tolong jangan pergi, Berlin! Aku ingin kau tinggal di sisiku," ujar Devan tegas."Kau mendengarku, kan? Bisakah kau datang ke pusat informasi sekarang? Aku akan menunggu sampai kau datang. Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Kuharap kau ada di sini untuk mendengarnya," pungkas Devan, tak lagi melanjutkan perkataannya.Pria itu keluar dari ruang pusat informasi dan menunggu di sekitar ruangan tersebut dengan gelisah. Devan terus celingukan kesana-kemari, berharap gadis pujaannya mendengar perkataannya dan mau menghampirinya."Apa Berlin tidak mendengar suaraku tadi? Atau Berlin belum tiba di bandara?" gumam Devan mulai gusar dan tak sabaran menunggu kedatangan gadisnya.Sementara, orang yang ditun
Berlin dan Devan duduk di dalam mobil Devan dengan canggung. Pasangan kekasih itu terus saling mencuri pandang dan nampak malu-malu untuk berbincang.Devan mencoba memberanikan diri memegang tangan Berlin, dengan jantung yang berdegup kencang."Em ... boleh ... aku langsung saja?" tanya Devan terbata-bata."La-langsung apanya?" tanya Berlin dengan pipi semerah kepiting rebus.Devan meraih tengkuk Berlin, kemudian mendaratkan kecupan ke bibir merah wanita itu. Tangan Devan mulai menyusup ke dalam pakaian Berlin, dan menjamah tubuh sintal gadis yang sudah menjadi kekasihnya itu."Devan, aku sudah bilang padamu kalau aku tidak mau menjadi sugar baby-mu lagi!" tukas Berlin, menghentikan ciumannya dan menepis tangan Devan yang bertengger di tubuhnya."Siapa yang bilang kalau kau sugar baby?""Lalu, apa yang kau lakukan padaku sekarang? Ini hal yang aku lakukan saat aku menjadi mainan ranjangmu, kan?" protes Berlin."
Devan akhirnya berhasil membawa gadisnya pulang ke rumah dan melanjutkan pergumulan panas mereka di kamar Devan.Berlin benar-benar dibuat kewalahan oleh nafsu besar Devan yang terus saja melesakkan miliknya ke lembah nikmat milik gadis yang disukainya."Devan, aku sudah lelah!" lirih Berlin yang sudah bermandikan keringat."Sekali lagi," pinta Devan, kemudian kembali menggagahi Berlin dengan melancarkan aksi bertubi-tubi.Cup!Olahraga panas mereka pun diakhiri dengan kecupan hangat Devan ke kening sang kekasih hati yang kini sudah resmi menjadi miliknya."Sepertinya aku sangat tidak tahu diri," gumam Berlin membuka obrolan di sela-sela istirahat mereka setelah pergulatan panas yang panjang."Kenapa?""Aku ... sudah mendapatkan tubuhmu dan uangmu. Tapi aku masih saja menginginkan hatimu. Aku benar-benar serakah dan tidak tahu diri," ungkap Berlin."Kau ingin apa lagi? Aku akan berikan semuanya untukmu, Berlin."Devan mengecupi pucuk kepala Berlin bertubi-tubi dengan penuh kasih."Men
Devan membuka mata dan mendapati dirinya terjebak di sebuah ruangan gelap tanpa cahaya lampu. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang tak terlihat, dan melangkahkan kaki ke lantai yang dingin.Tanpa sengaja, kakinya menginjak cairan kental berwarna merah yang sudah berceceran di lantai.Devan menundukkan kepala dan manik matanya tertuju pada darah yang mengalir deras dari tubu anak-anak yang tergeletak di bawah sana.Beruntung pria itu segera terbangun sebelum mimpi buruknya berlanjut. Dengan keringat dingin yang mengucur deras, Devan mambuka mata diiringi nafas yang terengah-engah."Sial! Mimpi lagi?" gerutu Devan lirih.Berlin yang terbaring di samping Devan, ikut terbangun karena gerakan Devan yang begitu tiba-tiba."Devan?"Dengan suara parau, gadis itu bangkit dari bantal dan menatap sang kekasih yang sudah banjir keringat karena mimpi buruk."Kau baik-baik saja?" tanya Berlin cukup cemas melihat wajah kekasihnya yang terlihat pucat."Kau terbangun? Ingin kubuat
Devan dan Nyonya Sella mulai saling melempar tatapan sengit satu sama lain. Ibu dan anak itu duduk berhadapan di sofa, bersama dengan Berlin yang berada di samping Devan seraya menundukkan kepala dalam-dalam.Keheningan makin membuat suasana perang tatapan antara Devan dan Nyonya Sella makin memanas."A-aku ... akan buatkan minuman," cetus Berlin mencoba mencairkan suasana."Duduk!" titah Devan dan Nyonya Sella yang membentak Berlin bersamaan.Berlin pun segera mendaratkan pantat di samping Devan dan tak berani lagi bercicit di depan dua orang yang tengah bersitegang itu."Dari mana Ibu tahu aku berada di sini? Pasti Vernon, kan?" terka Devan sembari melirik tajam ke arah Vernon yang berdiri di pojokan ruangan.Asisten Devan itu sengaja mengalihkan pandangan, tanpa berani menatap mata Devan."Dasar mulut ember!" sentak Devan nampak kesal bukan main dengan sang asisten."Jangan salahkan Vernon! Ayah dan Ibu juga membayar Vernon! Jadi, Ayah dan Ibu juga berhak memerintah Vernon!" ketus
"Devan, jangan di sini!" omel Berlin saat Devan mulai merayapkan tangan, masuk ke dalam rok Berlin dan menjamah area sensitif milik gadis itu."Kalau begitu, kita ke kamar saja!" bisik Devan, kemudian mengangkat tubuh sintal Berlin menuju arena pertempuran mereka."Devan, apa kau tidak bosan? Kita sudah melakukannya semalaman!" protes Berlin."Bosan? Mana mungkin aku bosan meneguk madu," sergah Devan, lalu melempar Berlin ke ranjang empuknya. Pria itu menyingkap rok Berlin dan dengan sigap melepas kain tipis yang menutupi lubang nikmat yang membuatnya kecanduan.Devan membenamkan kepalanya ke sela-sela paha Berlin, menikmati lembah ketat gadis itu dengan permainan bibirnya."Ahh ... Devan!" Berlin mencengkeram erat sprei dan mulai mendesah dengan tubuh menggelinjang karena permainan lidah Devan yang menikmati area kewanitaan miliknya di bawah sana.Gadis itu menjambak rambut Devan dan merasakan sensasi luar biasa dari p
Devan segera mengurus berkas pernikahan tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Berlin maupun kedua orang tuanya.Pria keras kepala itu selalu saja bersikap seenaknya, tanpa mendengarkan pendapat orang lain."Devan, kau tidak serius dengan perkataanmu tadi, kan?" tanya Berlin takut-takut."Kenapa? Kau tidak ingin menikah denganku?" ketus Devan."Bukan begitu ... aku— em, bukankah seharusnya kau mengenalkanku dulu pada keluargamu?" tanya Berlin."Kau sudah lihat ibuku tadi, kan? Nanti akan kuperlihatkan foto ayahku!" cetus Devan."Bukan itu maksudku ....""Lalu?""Pernikahan bukan hal yang mudah, Devan. Aku masih muda dan ... masih banyak hal yang ingin kulakukan. Aku tidak ingin menikah muda dan memiliki anak dalam waktu dekat," ungkap Berlin lirih."Intinya ... kau tidak mau menikah denganku? Begitu?" sungut Devan."Bukan begitu—""Aku mengerti. Aku tidak akan memaksa," potong Devan cepat.Pria itu beranjak menuju pintu dan meninggalkan Berlin di dalam kamar. "Kenapa sulit seka