"Devan, jangan di sini!" omel Berlin saat Devan mulai merayapkan tangan, masuk ke dalam rok Berlin dan menjamah area sensitif milik gadis itu."Kalau begitu, kita ke kamar saja!" bisik Devan, kemudian mengangkat tubuh sintal Berlin menuju arena pertempuran mereka."Devan, apa kau tidak bosan? Kita sudah melakukannya semalaman!" protes Berlin."Bosan? Mana mungkin aku bosan meneguk madu," sergah Devan, lalu melempar Berlin ke ranjang empuknya. Pria itu menyingkap rok Berlin dan dengan sigap melepas kain tipis yang menutupi lubang nikmat yang membuatnya kecanduan.Devan membenamkan kepalanya ke sela-sela paha Berlin, menikmati lembah ketat gadis itu dengan permainan bibirnya."Ahh ... Devan!" Berlin mencengkeram erat sprei dan mulai mendesah dengan tubuh menggelinjang karena permainan lidah Devan yang menikmati area kewanitaan miliknya di bawah sana.Gadis itu menjambak rambut Devan dan merasakan sensasi luar biasa dari p
Devan segera mengurus berkas pernikahan tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Berlin maupun kedua orang tuanya.Pria keras kepala itu selalu saja bersikap seenaknya, tanpa mendengarkan pendapat orang lain."Devan, kau tidak serius dengan perkataanmu tadi, kan?" tanya Berlin takut-takut."Kenapa? Kau tidak ingin menikah denganku?" ketus Devan."Bukan begitu ... aku— em, bukankah seharusnya kau mengenalkanku dulu pada keluargamu?" tanya Berlin."Kau sudah lihat ibuku tadi, kan? Nanti akan kuperlihatkan foto ayahku!" cetus Devan."Bukan itu maksudku ....""Lalu?""Pernikahan bukan hal yang mudah, Devan. Aku masih muda dan ... masih banyak hal yang ingin kulakukan. Aku tidak ingin menikah muda dan memiliki anak dalam waktu dekat," ungkap Berlin lirih."Intinya ... kau tidak mau menikah denganku? Begitu?" sungut Devan."Bukan begitu—""Aku mengerti. Aku tidak akan memaksa," potong Devan cepat.Pria itu beranjak menuju pintu dan meninggalkan Berlin di dalam kamar. "Kenapa sulit seka
Berlin meringkuk di sebuah kamar hotel gelap dengan tubuh yang sudah bertelanjang bulat.Gadis itu menangis sesenggukan di sudut kamar dengan tubuh gemetar ketakutan.Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pintu kamar hotel pun terbuka dan seorang pria muncul dari balik pintu.Karena pencahayaan yang minim, gadis itu tak dapat melihat dengan jelas siapa sosok pria yang masuk ke dalam kamar yang ditempatinya.Saat itu usia Berlin masih delapan belas tahun. Di usia yang masih begitu belia, gadis itu sudah memberanikan diri terjun ke dunia malam dan akan menyerahkan tubuhnya pada seorang pria yang masuk ke dalam kamarnya malam itu.Gadis itu makin ketakutan saat seorang pria muncul dan mulai membuka pakaian."Apa yang kau lakukan di sana?" tanya pria itu dengan galaknya.Berlin masih meringkuk di pojokan kamar sembari meremas selimut yang menutupi tubuhnya."Kemari atau aku akan menyeretmu!" sentak sang pria.Wajar jika gadis itu ketakutan, karena ini pertama kalinya Berlin bertela
"Nona, bisa aku berbicara sebentar?" tanya Vernon pada Berlin yang tengah membuat minuman di dapur. Pagi-pagi sekali, pria itu berkunjung ke rumah sang bos dan sengaja mencari Berlin."Kenapa?" tanya Berlin sembari menoleh ke arah Vernon yang sudah berdiri tepat di belakangnya."Kak Vernon ingin susu? Aku sedang membuat susu—""Tidak perlu menawari pria pemalas itu!" sentak Devan menyela perkataan Berlin.Devan segera merampas susu hangat di tangan Berlin dan tak rela sang kekasih membuatkan minuman untuk pria lain, sekalipun itu hanyalah Vernon."Pelit sekali," gerutu Vernon lirih."Kau ingin membicarakan apa? Memangnya kau ada kepentingan apa dengan Berlin?" sinis Devan."Maaf, Bos. Aku hanya ingin berbicara empat mata dengan Nona Berlin. Boleh, kan?" tanya Vernon."Tidak boleh! Bicara saja denganku!" sentak Devan."Ini berkaitan dengan Nona Berlin. Jadi, aku harus menyampaikannya pada Nona Berlin," tegas Vernon."Oh, kau sudah berani menjawabku?!" sungut Devan."Aku tidak memiliki
"Aku mempunyai informasi untukmu," ujar Vernon pada Sheena melalui telepon."Informasi apa? Awas saja kalau kau hanya membawa informasi tidak berguna!" sungut Sheena."Kau harus membantuku terlebih dahulu,""Membantu apa? Kau saja tidak mengatakan apapun mengenai foto yang ditemukan oleh ibuku!" "Kau pasti penasaran siapa pemilik foto itu," cetus Vernon."Bukan orang yang kukenal, kan?" tanya Sheena mulai gusar."Mungkin kau belum pernah bertemu dengannya. Tapi ... mungkin juga kau pernah bertemu dengannya,""Apa maksudmu?" tanya Sheena bingung."Bantu aku dulu, setelah itu baru aku akan memberitahumu!" titah Vernon."Apa yang kau mau?""Carikan sisir dan sikat gigi yang digunakan oleh ibumu. Pastikan itu sikat gigi ibumu dan di sisir itu ada beberapa helai rambut ibumu!" pinta Vernon."Apa yang akan kau gunakan dengan sikat gigi ibuku?" tanya Sheena makin bingung."Lakukan saja perintahku! Kirimkan barangnya pada staffku. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu," ujar Vernon."Jangan
"Vernon aneh sekali," gumam Berlin mengingat kembali sikap Vernon yang menanyakan banyak hal mencurigakan padanya."Berlin, aku akan ke dokter. Kau mau ikut?" tawar Devan sembari membuka lemari pakaiannya."Kau mau kemana, Vernon?" tanya Berlin tak sengaja salah sebut nama karena dirinya terlalu memikirkan Vernon."Apa?" Devan sontak menoleh ke arah Berlin dan menatap tajam ke arah sang kekasih."Kau menyebut nama siapa tadi?" tanya Devan dengan amarah tertahan."Apa? Menyebut nama siapa? Tentu saja aku menyebut namamu, Devan!" tukas Berlin."Telingaku masih berfungsi dengan baik! Kau menyebut nama Vernon. Iya, kan?" sentak Devan."Kenapa jadi Vernon? Aku tidak menyebut nama Vernon," kilah Berlin."Kau masih memikirkan pria itu? Kenapa Vernon begitu penasaran tentangmu? Ada hubungan apa kau dengan Vernon?" tuduh Devan mulai berpikir macam-macam pada Berlin hanya karena gadis itu tak sadar salah menyebut nama."Hubungan apa? Aku juga tidak tahu kenapa dia begitu penasaran padaku. Aku s
Tiga belas tahun lalu di panti asuhan.Devan yang tiba-tiba terbangun di panti asuhan setelah disekap beberapa hari, mau tak mau harus tinggal sementara di tempat asing yang baru pertama kali dikunjunginya."Kak, Ibu bilang Kakak akan tidur di kasurku," Seorang gadis kecil menghampiri Devan yang waktu itu masih berbadan gempal.Siapa lagi gadis kecil manis itu kalau bukan gadis yang telah menjadi kekasihnya kini, yaitu Berlin."Ibu bilang badan Kakak terlalu besar. Tidak ada lagi kasur kosong, jadi kita harus berbagi kasur," oceh Berlin kecil pada Devan yang waktu itu masih berusia remaja.Devan hanya diam saja mendengar Berlin kecil yang terus berbicara tanpa henti."Badan anak lain juga besar. Kasurnya tidak muat kalau dipakai tidur dengan Kakak. Karena hanya aku yang berbadan kecil di sini, jadi Kakak harus tidur bersamaku." Devan masih terdiam tak bereaksi.Mayat yang dilihat oleh Devan di gudang tempatnya disekap, membuat psikis pria kecil itu terguncang seketika.Darah yang berc
Berlin duduk termenung di kamar sembari menatap ke luar jendela yang memperlihatkan rintik hujan di sore hari.Ucapan Devan mengenai sang ibu asuh membuat pikiran Berlin berkecamuk, ingin mencari tahu apa saja yang sudah diperbuat oleh Bu Wanda di masa lalu hingga membuat dirinya terjebak di panti asuhan."Berlin, apa yang kau lakukan di sana?" tanya Devan membuyarkan lamunan Berlin mengenai Bu Wanda."Kenapa?""Kau masih saja memikirkan wanita itu? Aku tidak sedekat apa kau dengan wanita itu. Tapi melihat kau berkorban banyak—""Berkorban apa? Memangnya apa yang kau tau tentangku di panti asuhan? Kau mengawasiku selama ini?" selidik Berlin."Aku ... memang mengawasimu. Kenapa? Kau tidak terima?" cibir Devan."Dari pada kau melamun di sini, bagaimana ... kalau kita menghangatkan badan saja? Saat hujan seperti ini, lebih baik kita—""Membuat makanan hangat saja! Aku akan buatkan sesuatu untukmu!" potong Berlin cepat, sebelum Devan mengajak dirinya menghangatkan diri di ranjang."Makana