"Maksud kedatangan kami kemari hendak melamar anak ibu dan bapak!" ujar seorang pria yang memiliki wajah sangat mirip dengan pak Aslan. Aku sangat yakin bahwa beliau itu ayahnya pak Aslan."Saya sih terserah anaknya, Pak. Kalau memang mereka sudah saling mencintai, kita bisa apa?" jawab ayahku seakan pasrah."Gimana Aslan. Kamu betul mau menikah dengan nak Risma?" Kembali sang wanita berkerudung merah menanyakan kepastiannya sama pak Aslan. Eh mas Aslan. Beliau ibunya lelaki kembar itu."Bagaimana pula tidak betul, Ma. Aneh-aneh aja. Kalau bisa sekarang aja pun Aslan sudah siap." jawab pak Aslan disambut tawa anggota keluarga yang datang melamar malam ini."Enak saja kamu mau menikahi anak orang secara gratis." seru calon ibu mertua. Nampaknya beliau wanita yang lembut dan suka humor. Nampak sekali keakraban diantara mereka."Siapa bilang gratis. Mama jangan main fitnah deh. Aslan sudah menyiapkan mahar jauh-jauh hari. Kalau gak percaya, nih!" Pak Aslan mengeluarkan kotak berisi perhi
"Kenapa sih saya dipanggil pak. Apa sudah nampak tua sekali saya ini?" tanya pak Asalan dengan wajah cemberut."Maaf, Pak. Soalnya Risma belum terbiasa!" jawabku tertunduk. Aku merinding melihat tatapan mata pak Aslan seakan ingin menelanku hidup-hidup."Belajar dari sekarang supaya kamu jadi terbiasa. Coba panggil mas sekali saja saya mau dengar." perintahnya seakan tidak bisa dibantahkan. Nyaris seperti seorang atasan memerintah bawahannya. "Baik, Mas." jawabku."Nah kan enak kedengarannya. Jadi pengin cepat-cepat ke KUA jadinya. KUA masih buka gak jam segini?" tanya pak Aslan dengan wajah sok polosnya. "Untuk apa?" tanyaku malah nampak seperti orang bodoh jadinya."Kok untuk apa! Ya untuk nikahin kita lah. Mas sudah gak sabaran ingin segera memiliki kamu." jawabnya dengan gaya kocak."Mas pikir KUA itu rumah sakit, buka dua puluh empat jam gitu?" tanyaku dengan nada sewot."Emang KUA itu rumah sakit kok. Tapi rumah sakit untuk menyembuhkan hati yang hampir patah!" Ada aja gombala
Enak saja pak Aslan mau tidur disini. Dikira aku ini janda apaan. Lama-lama dia itu semakin meresahkan saja. Makin banyak tingkah. Mau batalin pernikahan semua sudah pada tahu jika kami akan menikah dalam waktu dekat ini. Lagipula kasihan sekali Kalila jika aku tidak jadi menikah dengan pak Aslan. Anakku itu sangat dekat dengan beliau.Sesaat aku terhenti disisi ranjang memandang wajah tak berdosa, Kalila, bocah kecilku sangat membutuhkan kasih sayang orang tua yang lengkap."Ma, papa, mana?" Bocah itu selalu saja bertanya keberadaan papa padaku setiap dia selesai mandi sore. Mungkin dia ingin jalan-jalan sore seperti kawannya, tetangga sebelah rumah."Kerja!" Aku berbohong. Tidak mungkin juga kan pak Aslan sering-sering ke rumah kami sementara kami belum melakukan ijab kabul."Kerja?" Dia balik bertanya dengan raut wajah kecewa. "Nanti pulang?" tanyanya lagi. "Kalila mau jalan-jalan!""Papa kerja jauh. Lama baru bisa pulang. Kalila jalan-jalan sama Mama aja ya?" Aku akan mengajak K
"Bukan urusan Anda mengkhawatirkan calon suami Saya." Aku kesal melihat ustaz Kusno yamg merasa dia paling benar. Paling banyak tau masalah ilmu agama. Seakan orang lain paling hina di mata dia."Bukan begitu, Ris. Sebagai seorang janda kamu harus mencari calon suami yang betul-betul sayang sama kamu dan anakmu. Sekarang kamu itu tidak menikah sendirian, ada anak yang harus kamu jaga. Sering kan kita mendengar kasus ayah tiri melecehkan anak tirinya bahkan memperkosa. Apa kamu mau seperti itu?"Tuhan ... ini laki betul-betul membuat emosi aku naik ke ubun-ubun. Terlalu jauh sudah dia mencampuri kehidupan pribadi aku."Tidak perlu diajari. Saya tau sendiri. Makanya kamu itu saya tolak karena orang tua kamu tidak mau menerima anak saya!" Sebenarnya bukan karena itu aja sih yang membuat aku menolak ustaz Kusno. Aku tidak ada hati sedikitpun untuk pria yang konon katamya palaing tahu masalah agama. Bagiku dia lelaki yang sangat menyebalkan. Bagus aku menjanda seumur hidup dari pada menika
"Kamu jangan menatap Mas begitu, Risma!" katanya sambil mengalihkan pandangannya tapi sekali-kali masih melirikku yang masih setia memandang wajahnya."Kenapa emangnya?" tanyaku pura-pura polos."Tatapanmu menggoda imanku. Aku ini lelaki normal!" ujarnya seraya memalingkan wajahnya. Dasar lelaki. Baru ditatap begitu saja sudah keok."Aku juga wanita normal, Mas. Tapi aku masih bisa tahan!" tawaku pecah."Aduh!" Teriakku pelan saat pak Aslan malah mencubit dagu ini dengan kencangnya. Ini geram apa emosi sih. Tidak ada mesra-mesranya sedikitpun."Lihat aja nanti kalau sudah nikah, Mas akan bantai kamu habis-habisan." Aku terkekeh mendengar ancaman yang dilayangkan oleh pak Aslan. Dikiranya aku takut apa? Hmm ... malah aku yang akan bantai dia nantinya. Lihat saja nanti."Nanti malah Mas yang Risma bantai!" kelakarku membuat mata pak Aslan melotot seakan tidak percaya dengan perkataan yang keluar dari bibirku.****Hari ini kami mulai menyiapkan berkas untuk mengajukan pernikahan ke kant
"Hei, aku seharusnya yang bertanya. Kamu itu siapa? Berani-beraninya memeluk calon suami Saya?" Aku mulai geram melihat tingkah wanita berbaju seksi tersebut. Sementara Kalila yang berada dalam gendonganku sudah mulai gelisah, mungkin dia juga merasakan ada yang tidak beres bakal terjadi pada ibu dan calon ayah sambungnya."Apa penting bagi kamu mengetahui siapa aku, Hah?" Wanita itu seakan tidak menghargai aku sedikitpun. Dia berjalan mendekati pak Aslan."Mas Aslan, apa kabarmu, Sayang? Sudah lama juga ya kita tidak berjumpa. Apa kamu tidak kangen sama Aku, Sayang?" Wanita itu memeluk calon suamiku begitu erat. Bagaikan sepasang kekasih yang sudah lama tidak berjumpa."Siapa suruh kamu kemari, Maya?" Pak Aslan menolak secara paksa pelukan yang diberikan oleh wanita berlipstik merah menyala itu."Kamu kenapa, Mas. Mentang-mentang sudah ada pengganti mulai melupakan Aku?" Wanita itu menatapku dengan tatapan sinis."Bukan begituMay, jangan ganggu saya lagi!" Pak Aslan menarik tangan in
"Mas tegaskan sekali lagi, Risma. Mas, tidak ada hubungan apa-apa dengan Maya!" Pak Aslan menatap intens mata ini. Semoga pak Aslan berkata jujur, aku berharap apa yang dikatakan Maya itu hanya bohong semata. Tapi buat apa pak Aslan berbohong? Bisa-bisa hancur karirnya kalau dia berbuat hal sehina itu. Menjatuhkan harga dirinya sendiri."Tapi Maya bilang tadi dia sudah pernah tidur sama Mas. Masak dia berani mempermalukan dirinya sendiri, Mas. Tolonglah, kalau jadi lelaki itu bertanggung jawab dengan apa yang telah Mas lakukan. Kasian anak yang dia kandung tidak memiliki ayah nantinya!" Aku tidak tahu Maya sedang hamil anak pak Aslan atau anak orang lain. Aku hanya mengingatkan supaya pak Aslan harus menjadi lelaki bertanggung jawab. "Dan kamu percaya?" tanya pak Aslan dengan nada tinggi. Untung saja Kalila tidak terbangun walaupun mendengar suara bising antara calon ayah sambung dan ibunya."Apa alasan saya tidak percaya? Mas, saya gak butuh apapun. Yang saya butuh hanya kejujuran.
Pov Aslan."Ayo kita menuju rumah sakit untuk memeriksakan, apa benar saya ini mandul. Kamu jangan main tuduh aja. Kalau tidak benar kamu harus siap resign dari pekerjaan kamu sekarang. Lagian manusia semacam kamu itu, aku rasa tidak pantas bekerja sebagai office boy. Masak seorang divisi keuangan turun jabatan jadi office boy," tantangku dengan menarik tangannya menuju ke rumah sakit terdekat disini. Kebetulan ada kawanku yang berprofesi sebagai dokter dirumah sakit yang tidak jauh dari mall ini."Ayo, Risma. Aku juga mau pembuktian aku mandul atau enggak." Aku menggandeng wanita yang akan menjadi istriku itu."Udahlah Mas. Gak perlu Mas buktikan sama dia. Mas kan sudah pernah punya anak dan anak Mas meninggal kan waktu kecelakaan beserta istri Mas? Untuk apa lalhi Mas buktikan, sih?" tanya Risma dengan kesal. Aku mengangguk tanda merespon pertanyaan wanita dua puluh enam tahun itu."Udahlah. Gak udah dilayani dia itu sudah gak waras!" Risma menarik tanganku untuk menjauh dari pria m