Tepat jam satu dini hari, Rara mendadak terjaga dari tidurnya. Perutnya terasa mulas sekali, melilit seperti diperas. Pikirannya langsung sadar gejala apa ini.
Rara segera keluar dari dalam kamar. Dia tidak tega membangunkan Ambu atau Mimin untuk minta pertolongan ke tetangga. Mereka baru tidur satu jam lalu. Tentu sedang pulas-pulasnya. Mereka terlambat pulang karena jalan macet total akibat ada tawuran antar ormas.
Rara terpaksa mencari pertolongan sendiri. Dia berusaha mencapai pintu rumah Pak Marto sambil menahan sakit yang semakin menjadi-jadi. Tangannya menggedor pintu rumah itu dengan tergesa sambil berteriak, "Pak! Pak Marto!"
Lelaki separuh baya yang lagi lelap-lelapnya tidur itu terbangun dengan kaget. Siapa pula yang berani menggedor pintu tengah malam buta begini? Tidak mungkin rampok! Apa yang dicari di rumah ini? Perabotan butut mau digondol?
Malas-malasan Pak Marto bangkit dari tempat tidur, kemudian berjalan ke pintu depan dan membuka
Berita itu datang tepat pada saat orang tua Gilang tiba di rumah. Udara pagi yang dingin mendadak panas membara. Merobek fajar menyingsing. Sungguh berita yang menggemparkan! Rara punya bayi! Bayi itu anak Gilang! Putera orang terpandang! Dan baru pulang menunaikan ibadah haji! Kapan mereka menikah? Gilang sendiri bagai dihantam petir di pagi buta! Bagaimana sampai Bradley datang memberi kabar? Dan dia yang menolong Rara! Apa yang terjadi dengan istrinya? Tapi semua sudah terlambat untuk bertanya! Dia harus menyaksikan kehebohan yang terjadi! Surya berusaha memadamkan api yang berkobar itu. "Mereka sudah menikah sepuluh bulan yang lalu. Aku tidak perlu menjelaskan kenapa mereka sampai berani menikah secara diam-diam. Yang jelas, lelaki yang datang tadi akan menikahi Rara kalau Gilang tidak segera mengambil jadi istrinya." "Jangan mentang-mentang teman terus kamu bela maksiatnya," tegur seorang bapak dalam kerumunan di sisi jalan. "Mereka nikah b
Dua bulir air mata jatuh membelah wajah Rara. Sia-sia dia menanti kedatangan Gilang. Lelaki itu tidak muncul sampai jam besuk berakhir, atau mungkin tidak akan pernah datang. Ambu yang menungguinya sudah tertidur di sofa, sementara Mimin pulang. Dia tidak ingin mereka jatuh sakit karena kurang tidur semalaman. Lebih baik gantian menemani. Rara menyesal tidak mendengarkan omongan suaminya. Jika Gilang tidak pulang, ketidakhadiran dalam penyambutan orang tuanya dari Tanah Suci beritanya pasti tidak sedahsyat kelahiran bayi ini! Tapi semua sudah terjadi! "Aku betul-betul heran," kata Bradley siang tadi. "Baru kali ini kulihat seorang ibu pingsan mendengar menantunya melahirkan. Ada apa, Ra? Mereka tidak merestui pernikahan kalian?" Rara yakin apa yang dilihat Bradley cuma sebagian kecil dari peristiwa yang terjadi. Dia heran rumahnya kosong saat pemuda itu datang. Entah pergi ke mana Kartika. Barangkali pergi bulan madu. Tapi bagus. Jika ada, dia pasti langsung
Datuk Meninggi adalah pemegang rekor istri terbanyak di kabupaten ini. Tapi dia tidak melanggar kuota yang ada, empat istri. Kalau bosan, cerai dan ganti yang baru. Kecuali istri pertama, biar jemu dipertahankan. Dia memegang teguh paham ortodoks, jika mencapai puncak kejayaan bersama istri pertama, maka pantang bercerai kalau tidak ingin mengalami kebangkrutan. Benar tidaknya paham itu masih perlu dipertanyakan. Selama hidupnya Datuk Meninggi tidak pernah jajan sembarangan. Kalau menginginkan seorang perempuan, langsung dia nikahi. Maka itu dia menolak untuk selingkuh dengan Kartika, dan bersabar menunggu sampai bercerai dengan suaminya. Dari seratus lebih mantan istri, Kartika adalah perempuan yang sanggup melayani kebuasan cintanya. Dia menggeber kuda pacu baru itu sampai menjelang dini hari, dan begitu bersemangat menunggangi karena kuda ini sangat liar. "Kamu sungguh luar biasa," kata Datuk Meninggi setelah pacuan kelima berakhir, terkapar kepayahan di s
Awalnya dokter keberatan Rara minta pulang hari ini. Kesehatannya belum pulih benar. Tapi wanita itu betul-betul keras kepala. "Tinggallah satu atau dua hari lagi," bujuk dokter. "Demi kebaikan ibu." "Dokter mau bayarnya?" potong Rara jengkel. "Sampai rumah sakit digusur pun saya mau tinggal kalau gratis!" Tentu saja dokter kelabakan. Keselamatan pasien adalah tanggung jawabnya. Ada dalam kode etik. Tapi kalau harus menanggung biaya pasien? Undang-undang nomor berapa itu? "Sadis kamu, Ra," kata Gilang ketika mereka sudah meninggalkan gedung rumah sakit menuju halaman parkir. Tangannya mendorong kursi roda yang ditumpangi istrinya. "Maksud dokter baik." "Ah, itu cuma alasan! Makin lama aku diam di sini makin makmur mereka!" Mereka sampai di tempat parkir mobil Gilang. Dia membantu istrinya masuk ke dalam mobil, kemudian menaruh kursi roda di lokasi pengembalian. Mobil SUV mewah itu sudah melaju di jalan raya saat mobil Kar
Makan pagi sungguh tidak nikmat. Nyonya besar hampir tidak pernah marah sehebat ini. Dia biasanya dapat mengendalikan emosi dengan baik. Meja makan adalah satu-satunya tempat yang paling dihindari untuk terjadinya pertengkaran. "Ini adalah perintah," kata Umi tegas. "Siapapun di ruangan ini tugasnya hanya mendengarkan. Silakan keluar kalau tidak setuju dengan ucapanku nanti. Aku tidak ingin ada keributan di meja makan." Semua orang yang hadir diam. Para pegawai menyantap makanan dengan kepala tertunduk. Wisnu dan ayahnya kelihatan santai menikmati hidangan. Nyonya besar memberi perintah ke manajer rumah tangga. "Silvana, aku ingin kamu hari ini pergi ke Bandung. Temui tuan muda dan suruh pulang untuk dinikahkan dengan Karlina. Aku tidak mau kehilangan muka di hadapan calon besan. Jika dia menolak, sita semua fasilitas yang kuberikan." Silvana terkejut. Meminta tuan muda untuk meninggalkan anak dan istrinya adalah perbuatan yang bertentangan dengan nur
Gilang mengeluarkan semua pakaian dari lemari berpintu banyak dan memasukkan ke dalam beberapa travel bag. Pakaiannya sangat banyak bahkan ada yang belum dipakai. Tiap minggu dia pergi ke butik untuk membeli pakaian dengan model terbaru. Mobil pasti penuh dengan barang-barang miliknya. Handphone di atas meja kecil bunyi, dari Wisnu. Gilang terima. "Ada apa?" tanyanya. "Tolong kirim video Karlina," sahut Wisnu, suaranya terdengar tenang. "Umi minta aku untuk menggantikan posisi kakak. Aku ingin menunjukkan kalau gadis itu tidak pantas untuk jadi nyonya muda." Gilang terkejut. Ibunya ternyata berani mengambil keputusan yang jauh dari bayangannya. Mengambil Karlina jadi istri Wisnu adalah sebuah kesalahan besar. Gadis itu tidak layak untuk adiknya. "Jika Umi tetap ingin melanjutkan perjodohan itu, terserah," kata Wisnu. "Aku kira banyak waktu untuk Umi berubah pikiran. Sementara ini aku ingin meredakan ketegangan di rumah ini." "Pendirian
Rara yang menunggu kepulangan suaminya di beranda heran melihat Gilang turun dari taksi. Pikiran jelek melintas di benaknya. "Mobil disita Umi?" selidik Rara penasaran saat Gilang tiba di hadapannya sambil menenteng dua buah dus berisi buku dan berkas. "Sambutannya kasar banget," sahut Gilang santai. "Memangnya ibuku leasing apa?" Gilang masuk ke dalam rumah. Ditaruhnya dus di sudut ruang tamu. Kemudian berjalan melewati ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. Rara melepaskan tas kuliah dari gendongan suaminya, kemudian mencopot kancing kemeja. Kebiasaan yang belum pernah ditinggalkan selama menjadi istri Gilang. Menyambut di beranda, menanggalkan pakaian dan sepatu, lalu menggantinya dengan pakaian santai. "Mereka pada ke mana?" tanya Gilang sambil duduk di tempat tidur, selesai mengenakan baju santai. "Sore begini biasanya ramai di depan televisi." "Jalan-jalan ke mall. Mimin kan habis gajian. Dia ingin mentraktir Ambu dan Nita
Kehilangan fasilitas mewah yang selama ini dinikmati tidak membuat Gilang patah arang. Dia sudah memperkirakan hal itu pasti terjadi. Maka itu dia melakukan persiapan dengan menabung. Dia cukup uang untuk membeli mobil baru. Hanya dia harus menahan ambisi untuk memiliki mobil mewah. Dia perlu menyisihkan uang untuk biaya Nita masuk perguruan tinggi. Saat ini mobil bukan kebutuhan mendesak. Gilang sementara bisa menggunakan mobil yang ada karena istrinya tidak masuk kerja cukup lama, cuti melahirkan. Setelah itu baru dia berpikir untuk ambil kreditan atau beli mobil bekas. Rara sendiri menyarankan agar menunggu kedatangan mobil dinas. Ibu Marliana bersedia merekrut Gilang jadi staf CEO secara penuh setelah lulus kuliah. Jadi dia tidak perlu susah payah cari kerja keliling ibukota. Tinggal bersabar menunggu beberapa bulan untuk menikmati fasilitas yang diberikan. Garasi mereka tidak cukup untuk menampung tiga mobil jika Gilang bersikukuh ingin memiliki mobil pr