SULTAN DESA

SULTAN DESA

Oleh:  Namira  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
3 Peringkat
102Bab
11.1KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Gilang adalah pria terdahsyat dalam kehidupan bebas dan terjerat cinta seorang perempuan dari keluarga tidak bermartabat. Dia rela meninggalkan segala kemewahan demi perempuan itu. Dia menikah secara diam-diam dan menjalani kehidupan seperti orang kebanyakan, tinggal di sebuah rumah yang tidak lebih bagus dari kandang kuda orang terkaya di daerahnya. Pernikahan itu menimbulkan banyak masalah, sementara urusan masa lalu tidak kunjung selesai. Hingga kemudian dia harus rela menyerahkan istri untuk dinikahi pria lain demi menyelamatkan anak yang butuh biaya operasi sangat besar. Gilang dapat bertahan dengan cintanya tapi tidak dapat bertahan dari ganasnya kehidupan. Haruskah dia kembali ke rumah untuk menjalani kehidupan seperti raja-raja bersama perempuan lain? "Dunia memang iblis bagi laki-laki terdesak!"

Lihat lebih banyak
SULTAN DESA Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Enday Hidayat
Hai, viewers. Maaf sekali ada keterlambatan update cerita karena author sedang menjalani pemulihan kesehatan sejak Desember hingga sekarang. Cerita ini direvisi total sehingga ada pergeseran posisi episode. Bagi sahabat yang sudah membaca sampai episode ke 93, bisa langsung lanjut ke episode 102.
2022-02-16 07:50:01
2
user avatar
mahmud khairul
mantap, bahasa sederhana dan bikin penasaran. ditunggu kelanjutannya
2022-01-05 07:56:17
3
user avatar
NDRA IRAWAN
Secara pribadi saya tidak mengenal Namira, Sultan Desa adalah karya pertamanya yang saya baca. Baru sampai bab dua saja, rasanya ingin belajar membuat cerita seindah, sesimple dan seasik ini untuk dibaca. Luar biasa, andai saya mengenalnya ingin rasanya membuatkan cover untuk cerita ini.
2021-11-03 02:11:08
6
102 Bab
01. Kacang Goreng
"Auw!" Ambu menjerit antara kaget dan kesakitan ketika suaminya bergerak masuk di sela kaki yang terbuka lebar. "Kamu jadi besar begini?" Abah tersenyum bangga. "Aku sakit hati diledek mereka. Kamu pasti ketagihan." Ambu mendelik marah. "Kamu mabuk dan berjudi semalaman. Siang begini baru pulang dan minta dilayani. Ketagihan apanya? Yang ada aku muak!" "Kamu pasti menyesal dengan kata-katamu kalau sudah merasakan," seringai Abah senang. "Tiga hari aku tidak menggaulimu karena begitu pantangannya. Hari ini aku ingin bersenang-senang denganmu." Abah menyingkirkan tangan halus yang menahan pinggangnya. Dia pegang leher jenjang itu agar tidak menjerit dan menekannya ke bantal. Mata wanita itu membeliak saat suaminya begitu memaksa untuk masuk.  "Kamu menyiksaku," pekik Ambu geram. "Aku tidak mau melayanimu." Abah semakin bergairah melihat istrinya kesakitan. Tidak percuma dia membesarkan alat vital, hasilnya ternyata sungguh memuaskan
Baca selengkapnya
02. Jerat Cinta
Sungai itu lebar dan berkelok-kelok seperti ular raksasa. Musim kemarau airnya dangkal. Banyak endapan pasir bercampur lumpur. Biasanya ada aktivitas penambang pasir. Barangkali mereka tinggalkan karena airnya sudah tercemar. Ada cairan kehitaman mengalir membentuk pita panjang, mungkin limbah zat kimia dari pabrik di hulu sungai, bercampur limbah rumah tangga. "Beruntung kita lahir lebih awal," kata Rara. "Bisa berenang di kolam renang terpanjang di dunia." Di jaman mereka dulu, sungai adalah barometer kenakalan anak-anak. Pulang sekolah langsung bermain di sungai sampai lupa waktu. Lomba menyelam. Balap renang. Adu ketangkasan menangkap ikan. Dan hanya mereka berdua yang berani memasuki daerah lubuk sungai yang konon ada buaya putihnya. "Masih suka renang?" tanya Rara. "Bukan di sungai." "Bukan pula di kolam renang." "Kok tahu?" "Matamu terlalu terbuka untuk melihat yang tertutup." "Dan matamu tidak tertutup u
Baca selengkapnya
03. Kecewa
Abah marah. "Kau ingin aku jajan di luar? Baik! Aku penuhi permintaanmu kalau kau tidak mau melayani!" "Kau tetap pergi ke janda langganan biar aku layani," geram Ambu sengit. "Kerjamu tiap hari cuma membuat malu keluarga. Mabuk, berjudi, main perempuan...." Abah menampar wanita itu sehingga berhenti bicara. "Aku tidak suka istri bermulut lancang. Kamu bisa pergi dari rumah ini kalau tidak suka denganku." Kemudian dia menarik tangan istrinya untuk bangkit dari sofa ruang tamu. Obat sudah mempengaruhi otaknya sehingga tidak ada pikiran apapun selain melampiaskan hasrat dengan segera. Ambu berusaha bertahan. "Aku kurang enak badan." "Aku sembuhkan dengan kenikmatan." "Nikmat bagimu sengsara bagiku!" Abah semakin tidak terkendali. "Kau ingin aku berbuat lebih kasar lagi?" Ambu bertahan di tempat duduknya. Abah jadi berubah pikiran. Dia berhenti memaksa istrinya untuk masuk kamar. Duduk di sampingnya. Ambu berontak
Baca selengkapnya
04. Dawai Cinta
Esok paginya Gilang tidak muncul. Keesokan harinya pun menghilang entah ke mana. Percuma Rara menunggu sepanjang siang, pemuda itu tak datang-datang tanpa alasan yang jelas. Dia jadi uring-uringan dan majalah yang dibacanya kena sasaran. "Beraninya banting majalah," ledek Kartika sambil menonton acara televisi. "Banting saja cintamu." "Aku kesal sama penculik mahasiswi itu! Bukan koruptor saja diculik! Cuci otaknya! Biar bersih!" "Pura-pura! Kangen ya? Salah sendiri. Pulang dari Bali bukan bongkar hati, malah bongkar muatan." "Ngomong apaan sih?" Rara pura-pura mengambil majalah yang dibanting dan membacanya lagi. "Kayak baru pertama kali ke Bali saja. Heboh banget." "Biarin." "Gak kuat nahan rasa kangen ya? Mulut jadi dar der dor kayak petasan Lebaran?" "Sotoy." "Bagus orangnya sabar. Kalau aku, sudah dibakar rumah ini." "Bakar saja! Rumah Kak Tika ini!" "Kalau tidak mau kehilangan dia, sekarang
Baca selengkapnya
05. Bilur Rindu
"Jangan sering-sering datang ke rumahnya." Suara Umi menghentikan langkah Gilang di pintu keluar. "Nanti ketularan." Gilang memutar tubuh dan memandang ibunya. "Aku mau ke rumah Surya." "Alasan." "Sejak kapan Umi tak percaya sama aku?" "Sejak kamu pacaran dengan begundal itu!" "Aku tidak pacaran." "Terus buat apa kamu datang ke rumahnya kalau tidak pacaran? Main judi sama ayahnya?" Gilang menghela nafas. Ibunya masih saja curiga, padahal kepikiran saja tidak untuk main ke rumah Rara. Kebersamaan mereka putus dengan sendirinya. "Umi cuma mengingatkan. Kalau sampai tergoda rayuannya, itu petaka buat masa depanmu. Bisa-bisa studimu putus di tengah jalan." "Aku sudah belajar baik-baik, dan mencapai hasil yang baik." "Nah, pilihlah gadis baik-baik! Agar masa depanmu baik!" "Kenapa sih Umi jadi peduli sama kuliah aku? Padahal dulu Umi memohon agar aku tidak melanjutkan sekolah. Kasihan Abi tidak ada ya
Baca selengkapnya
06. Sindikat Terbongkar
Umi mulai curiga. Anak sulungnya rajin sekali keluar malam. Minggu-minggu ini memang banyak acara siraman rohani, bulan baik untuk hajatan menurut hitung-hitungan. Tapi bukan berarti boleh pulang seenaknya. Bahkan pernah ayam sudah berkokok baru pulang. Dikasih kebebasan malah kebablasan. Wisnu yang dipercaya untuk memata-matai pun mulai meragukan. Setiap kali ditanya, jawabannya itu-itu saja. "Umi kan tahu si kakak calon mubaligh. Lebih suka dengar ceramah kyai daripada ceramah Umi." "Masa tiap malam?" "Tablighnya tiap malam." "Minggu ini cuma tiga." "Di desa sebelah." "Desa sebelah?" Umi terbelalak kaget. "Kalian pergi sejauh itu?" "Kan bawa mobil." Tapi Umi tetap sangsi. Gilang bisa dimengerti suka pengajian. Anak itu rajin ke mesjid. Tapi Wisnu sejak kapan suka tabligh? Biarpun cuma mengantar? Shalat saja menunggu perintah ayahnya! Dia tak pernah membantah setiap kali disuruh mengawal kakaknya. Kadan
Baca selengkapnya
07. Akal Bulus
"Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan." Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat." "Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita." "Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?" "Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jang
Baca selengkapnya
08. Satu Janji
Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi.  Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "
Baca selengkapnya
09. Bukan Priyayi
Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu
Baca selengkapnya
10. Mie Keramat
Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar. "Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi." Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?" "Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape." "Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti." Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?"  "Pakai kimono." Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda." Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap.  A
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status