"Auw!" Ambu menjerit antara kaget dan kesakitan ketika suaminya bergerak masuk di sela kaki yang terbuka lebar. "Kamu jadi besar begini?"
Abah tersenyum bangga. "Aku sakit hati diledek mereka. Kamu pasti ketagihan."
Ambu mendelik marah. "Kamu mabuk dan berjudi semalaman. Siang begini baru pulang dan minta dilayani. Ketagihan apanya? Yang ada aku muak!"
"Kamu pasti menyesal dengan kata-katamu kalau sudah merasakan," seringai Abah senang. "Tiga hari aku tidak menggaulimu karena begitu pantangannya. Hari ini aku ingin bersenang-senang denganmu."
Abah menyingkirkan tangan halus yang menahan pinggangnya. Dia pegang leher jenjang itu agar tidak menjerit dan menekannya ke bantal. Mata wanita itu membeliak saat suaminya begitu memaksa untuk masuk.
"Kamu menyiksaku," pekik Ambu geram. "Aku tidak mau melayanimu."
Abah semakin bergairah melihat istrinya kesakitan. Tidak percuma dia membesarkan alat vital, hasilnya ternyata sungguh memuaskan. Janda-janda di luar sana pasti berhenti meledeknya.
Ambu berusaha melepaskan cekikan suaminya dan berontak hendak bangkit. Abah malah semakin bernafsu dan menampar wajahnya.
Kartika, anak sulung yang menyaksikan kejadian itu lewat pintu yang terbuka sedikit geleng-geleng kepala, kemudian dia menutup pintu rapat-rapat.
Ambu berteriak-teriak dalam bekapan tangan kekar ketika menerima hunjaman bertubi-tubi. Dia susah melepaskan diri karena tenaga suaminya terlalu kuat untuk dilawan. Akhirnya dia terdiam pasrah dan membuka kaki lebar-lebar membiarkan pinggang itu bebas bergerak naik turun.
Abah mengerang keras saat mencapai puncak kenikmatan. Kemudian turun dari tempat tidur, mengambil pakaian yang tergeletak di lantai.
Ambu meraih selimut menutupi tubuhnya yang tanpa busana. "Dasar suami bajingan. Kau membuat aku kesakitan."
"Membuat kamu merem melek juga," sahut Abah sambil berpakaian. "Aku tahu kamu merasa lebih maknyus dengan perubahan ini."
Abah pergi ke ruang tamu dan duduk beristirahat di sofa. Bel rumah berbunyi. Pria separuh baya itu bangkit dan berjalan ke pintu depan.
Abah biasanya langsung menutup pintu lagi kalau ada pemuda bertamu memakai sendal jepit dan jalan kaki. Masa bodoh pemuda itu sakit hati. Modal dengkul ingin bergaul dengan anaknya. Tidak tahu diri. Modal motor saja ditolak. Takut masuk angin.
Tapi pemuda yang satu ini disambut dengan hangatnya. Walaupun cuma mengenakan celana pendek kargo short dan kaos crew neck, Abah tahu pakaian itu bermerek.
"Nak Gilang!" serunya gembira, seluruh wajahnya tersenyum. "Abah kira siapa?"
Gilang adalah anak orang terkaya di kampung ini. Ayahnya pemilik perkebunan apel dan jeruk yang jumlahnya ratusan hektar. Rumahnya bagaikan istana. Mobil berderet.
"Kapan pulang?" tanya Abah.
"Kemarin," jawab Gilang dengan air muka datar tanpa ekspresi. "Rara ada?"
Biar suaranya dingin, sangat enak didengar kalau orang kaya. Apalagi di tangannya ada satu kotak cerutu dan martabak telor kegemarannya.
Abah mengambil bingkisan itu dengan gesit. "Ada, ada. Silakan masuk."
"Terima kasih." Gilang melangkah ke dalam rumah. "Ada uangnya di dalam kantong itu."
"Berapa?"
"Sepuluh juta. Cukup untuk izin bertamu satu bulan? Di luar martabak telor dan cerutu setiap hari?"
"Cukup, cukup."
Mata Abah bergelimang cahaya. Bergegas dia pergi ke ruang dalam memanggil puterinya, seolah tamunya membawa urusan penting. Padahal Gilang hanya iseng tidak ada teman. Sahabatnya dari kecil cuma dua, Surya dan Rara. Surya sibuk membantu ayahnya di ladang. Dia tahu Rara pulang hari ini darinya.
Sambil duduk tumpang kaki, mata Gilang kelayapan ke seluruh ruangan dan hinggap pada foto yang terpampang di meja kecil di sudut ruangan. Tiga anak kecil berseragam SD. Warnanya agak kabur. Rupanya Rara masih menyimpan foto kenangan itu.
Foto itu diperoleh dari hasil menipu tukang foto keliling. Mereka bilang disuruh orang tua. Ketika fotonya diantarkan ke rumah masing-masing, bukan cuma caci maki yang didapat. Harganya pun dibayar murah.
"Lama ya nunggu?" Rara muncul membawa nampan berisi dua cangkir minuman. Ditaruhnya satu cangkir di hadapan Gilang, satu lagi untuknya, lalu duduk di sofa tunggal. Nampan dipakai untuk menutupi rok mini. "Aku lagi siram bunga di belakang."
"Bunga deposito?" gurau Gilang. Kelihatan sekali tidak memiliki selera humor yang baik, nadanya kering.
"Bunga bangkai," sahut Rara lincah. "Buat kado wisudamu."
"Lulusnya juga kapan tahu."
"Bunga bangkai juga gedenya kapan tahu," senyum Rara manis. "Minum."
Gilang meneguk minuman sedikit, sekedar menghormati saja. Dia biasa minum air mineral. Tapi basa-basi perlu, "Bisa juga bikin minuman. Manisnya pas kayak senyum kamu."
Gilang melontarkan pujian dengan intonasi biasa-biasa saja. Tidak ada taste. Heran. Bagaimana pemuda menyebalkan seperti itu bisa jadi play boy? Barangkali mereka terpesona oleh wajahnya yang sangat tampan.
"Bikin kamu klepek-klepek juga bisa," kata Rara separuh melecehkan.
"Perempuan tidak pernah membuat aku jadi pecundang."
Sejak Gilang mengenal cinta, tidak ada perempuan yang berani mengakhiri hubungan mereka kalau dia tidak menghendaki, dan tidak ada cerita balikan lagi.
"Kusiram pakai air jeruk ini terus kutampar pakai nampan, apa gak bikin klepek-klepek?"
Gilang mengangkat sudut bibirnya sedikit, menyepelekan. "Fotomu masih ada."
"Cuma itu kenangan manis yang tersisa."
"Saat kupeluk kamu?"
"Peluk apaan? Kamu cekik aku sampai gak bisa nafas!"
"Pelukan play boy cilik begitu."
Dari kecil Gilang sudah berani memproklamirkan diri sebagai play boy. Dia sangat percaya diri dengan apa yang dimiliki. Banyak gadis SD yang jadi korban cinta monyetnya. Akrab beberapa minggu langsung bubar. Cuma dengan Rara persahabatannya langgeng.
Foto Gilang sendiri langsung dirobek ibunya saat itu juga. Sejak kecil dia dilarang bergaul dengan Rara. Keluarga ini demikian buruk citranya di masyarakat. Rumahnya dulu sederhana sekali. Sejak Kartika jadi istri muda CEO, kehidupan mereka meningkat drastis.
Dari kecil pula Gilang memberontak. Tidak kapok bermain bersama Rara meskipun sering mendapat hukuman. Dia bosan bermain sendiri. Hanya Rara dan Surya teman yang cocok. Dia belajar jadi anak nakal dari mereka.
Sejak kecil Gilang tidak suka dibantah. Kata-katanya adalah perintah. Tentu saja agar mereka patuh, setiap kali jajan dia jadi bosnya.
"Betah banget tinggal di kota kembang." Rara mengambil inisiatif obrolan. Mereka bisa diam-diaman sampai sore. Gilang tidak pernah ngomong duluan kalau tidak penting sekali, hanya meladeni. Selebihnya asyik main gadget. "Pulang cuma enam bulan sekali, padahal bisa tiap minggu."
Gilang malah enggan pulang kalau tidak diancam ayahnya. Kota kembang begitu memanjakan hidupnya. Dia dipaksa belajar mengelola perkebunan. Kesempatan itu cuma ada di liburan semester.
"Banyak cewek cakep di kota jadi lupa pulang kampung."
"Di kampung juga banyak cewek cakep. Buktinya ada di depanku."
"Aku bukan cewek yang gampang dipuji."
Apalagi sama kamu, gerutu Rara dalam hati. Tidak ada romantisnya. Bagaimana mereka bisa betah jadi pacar?
"Dan aku bukan cowok yang gampang memuji," ujar Gilang tak mau kalah.
Bodo, batin Rara. Mendingan tidak usah memuji daripada bikin ilfeel. Dia melempar sindiran, "Aku bukan kacang lupa kulitnya."
"Aku kacang tidak punya kulit."
"Kacang busuk saja punya kulit."
"Kacang goreng."
Ini yang membuat Rara kagum. Gilang tidak mudah tersinggung, padahal kata-kata itu lumayan pedas. Ekspresinya tidak berubah saat menerima pujian atau bullying.
"Siram bunganya sudah selesai?"
"Kalau iya?"
"Aku ingin menengok masa kecil. Anggaplah kacang ingin menemukan kembali kulitnya."
Rara tersenyum kecut. "Kirain ngajak nge-dance."
"Musiknya suara jangkrik sama kodok?"
"Di kota kecamatan."
"Oh ya?"
"Baru buka. Kafe juga."
Wajah Gilang terlihat sedikit mencair. "Jadi ada nyawa hidup di kampung."
"Tidak bisa ya sehari saja tanpa clubbing?"
"Tentu saja bisa...kalau lagi di rumah."
Gilang memang brengsek. Kalau di depan orang tua, pura-pura alim. Begitu adzan berkumandang langsung pergi ke mesjid. Di pondokan mana pernah shalat. Waktunya banyak dihabiskan buat clubbing.
Kelebihannya, Gilang tidak suka minuman keras dan narkoba karena itu berpengaruh pada kemampuan otaknya. Dia tidak mau sekedar lulus kuliah, apalagi sampai gagal. Gelar sarjana adalah impiannya sejak kecil.
Abi sendiri sebenarnya mengharapkan Gilang mengelola perkebunan selepas SMA. Sekolah tinggi-tinggi ujungnya cari usaha juga. Lagi pula dia bukan kuliah di jurusan agrikultura. Ilmunya tidak terpakai.
Ketika IPK Gilang sangat memuaskan, ayahnya justru paling heboh, pamer ke penduduk kalau anaknya mampu mengemban amanah orang tua, sampai mendompleng hadits; tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Padahal kuliah di Bandung saja keberatan.
Melihat prestasinya itu, Abi berencana mengirim Gilang ke Belanda untuk program pasca sarjana agrikultura di Wageningen University & Research.
"Besok-besok saja deh clubbing-nya," kata Rara berubah pikiran. "Hari ini aku cape banget, baru pulang."
"Lagi aku tidak serius," sahut Gilang datar. "Kira-kira saja clubbing depan hidung Abi."
"Banyakan pencitraan."
"Demi lancarnya budget."
"Tapi bisa kalau cuma pengen nengok masa kecil. Sungainya kan dekat."
"Tahu kenapa aku ingin pergi ke sungai?"
Rara tersenyum masam. "Pasti kangen mandi bersama. Otak kotormu sudah terbaca."
Entah benar atau tidak tebakannya, barangkali ini yang membuat perempuan bertekuk lutut. Gilang demikian cool, bikin penasaran, ibarat air danau yang sangat tenang padahal di dalamnya banyak ikan buas. Seumur-umur Rara belum pernah melihat pemuda itu tersenyum. Sekalipun suka bercanda, air mukanya serius.
"Habiskan dulu minumannya."
"Cukup."
"Tidak suka yang manis-manis ya?"
"Cukup lihat kamu."
"Bentar ya aku rapikan dulu."
Rara membereskan cangkir dan membawanya ke belakang. Di ruang dalam bertemu dengan ayahnya yang menguping pembicaraan mereka.
"Kenapa menolak diajak jalan-jalan ke kota kecamatan?" protes Abah tidak senang. "Kapan lagi dapat kesempatan emas seperti ini?"
"Alah, paling-paling pulang minta martabak telor sama cerutu," dengus Rara sinis.
"Cetek banget pikiranmu, cuma sampai martabak telor sama cerutu."
"Terus mau Abah kuras isi dompetnya?"
"Biar Abah kuras tiap hari, dompetnya tidak akan kering."
Rara pergi dengan jengkel. Bicara sama ayahnya cuma bikin emosi. Di kepalanya cuma ada duit.
Sungai itu lebar dan berkelok-kelok seperti ular raksasa. Musim kemarau airnya dangkal. Banyak endapan pasir bercampur lumpur. Biasanya ada aktivitas penambang pasir. Barangkali mereka tinggalkan karena airnya sudah tercemar. Ada cairan kehitaman mengalir membentuk pita panjang, mungkin limbah zat kimia dari pabrik di hulu sungai, bercampur limbah rumah tangga. "Beruntung kita lahir lebih awal," kata Rara. "Bisa berenang di kolam renang terpanjang di dunia." Di jaman mereka dulu, sungai adalah barometer kenakalan anak-anak. Pulang sekolah langsung bermain di sungai sampai lupa waktu. Lomba menyelam. Balap renang. Adu ketangkasan menangkap ikan. Dan hanya mereka berdua yang berani memasuki daerah lubuk sungai yang konon ada buaya putihnya. "Masih suka renang?" tanya Rara. "Bukan di sungai." "Bukan pula di kolam renang." "Kok tahu?" "Matamu terlalu terbuka untuk melihat yang tertutup." "Dan matamu tidak tertutup u
Abah marah. "Kau ingin aku jajan di luar? Baik! Aku penuhi permintaanmu kalau kau tidak mau melayani!" "Kau tetap pergi ke janda langganan biar aku layani," geram Ambu sengit. "Kerjamu tiap hari cuma membuat malu keluarga. Mabuk, berjudi, main perempuan...." Abah menampar wanita itu sehingga berhenti bicara. "Aku tidak suka istri bermulut lancang. Kamu bisa pergi dari rumah ini kalau tidak suka denganku." Kemudian dia menarik tangan istrinya untuk bangkit dari sofa ruang tamu. Obat sudah mempengaruhi otaknya sehingga tidak ada pikiran apapun selain melampiaskan hasrat dengan segera. Ambu berusaha bertahan. "Aku kurang enak badan." "Aku sembuhkan dengan kenikmatan." "Nikmat bagimu sengsara bagiku!" Abah semakin tidak terkendali. "Kau ingin aku berbuat lebih kasar lagi?" Ambu bertahan di tempat duduknya. Abah jadi berubah pikiran. Dia berhenti memaksa istrinya untuk masuk kamar. Duduk di sampingnya. Ambu berontak
Esok paginya Gilang tidak muncul. Keesokan harinya pun menghilang entah ke mana. Percuma Rara menunggu sepanjang siang, pemuda itu tak datang-datang tanpa alasan yang jelas. Dia jadi uring-uringan dan majalah yang dibacanya kena sasaran. "Beraninya banting majalah," ledek Kartika sambil menonton acara televisi. "Banting saja cintamu." "Aku kesal sama penculik mahasiswi itu! Bukan koruptor saja diculik! Cuci otaknya! Biar bersih!" "Pura-pura! Kangen ya? Salah sendiri. Pulang dari Bali bukan bongkar hati, malah bongkar muatan." "Ngomong apaan sih?" Rara pura-pura mengambil majalah yang dibanting dan membacanya lagi. "Kayak baru pertama kali ke Bali saja. Heboh banget." "Biarin." "Gak kuat nahan rasa kangen ya? Mulut jadi dar der dor kayak petasan Lebaran?" "Sotoy." "Bagus orangnya sabar. Kalau aku, sudah dibakar rumah ini." "Bakar saja! Rumah Kak Tika ini!" "Kalau tidak mau kehilangan dia, sekarang
"Jangan sering-sering datang ke rumahnya." Suara Umi menghentikan langkah Gilang di pintu keluar. "Nanti ketularan." Gilang memutar tubuh dan memandang ibunya. "Aku mau ke rumah Surya." "Alasan." "Sejak kapan Umi tak percaya sama aku?" "Sejak kamu pacaran dengan begundal itu!" "Aku tidak pacaran." "Terus buat apa kamu datang ke rumahnya kalau tidak pacaran? Main judi sama ayahnya?" Gilang menghela nafas. Ibunya masih saja curiga, padahal kepikiran saja tidak untuk main ke rumah Rara. Kebersamaan mereka putus dengan sendirinya. "Umi cuma mengingatkan. Kalau sampai tergoda rayuannya, itu petaka buat masa depanmu. Bisa-bisa studimu putus di tengah jalan." "Aku sudah belajar baik-baik, dan mencapai hasil yang baik." "Nah, pilihlah gadis baik-baik! Agar masa depanmu baik!" "Kenapa sih Umi jadi peduli sama kuliah aku? Padahal dulu Umi memohon agar aku tidak melanjutkan sekolah. Kasihan Abi tidak ada ya
Umi mulai curiga. Anak sulungnya rajin sekali keluar malam. Minggu-minggu ini memang banyak acara siraman rohani, bulan baik untuk hajatan menurut hitung-hitungan. Tapi bukan berarti boleh pulang seenaknya. Bahkan pernah ayam sudah berkokok baru pulang. Dikasih kebebasan malah kebablasan. Wisnu yang dipercaya untuk memata-matai pun mulai meragukan. Setiap kali ditanya, jawabannya itu-itu saja. "Umi kan tahu si kakak calon mubaligh. Lebih suka dengar ceramah kyai daripada ceramah Umi." "Masa tiap malam?" "Tablighnya tiap malam." "Minggu ini cuma tiga." "Di desa sebelah." "Desa sebelah?" Umi terbelalak kaget. "Kalian pergi sejauh itu?" "Kan bawa mobil." Tapi Umi tetap sangsi. Gilang bisa dimengerti suka pengajian. Anak itu rajin ke mesjid. Tapi Wisnu sejak kapan suka tabligh? Biarpun cuma mengantar? Shalat saja menunggu perintah ayahnya! Dia tak pernah membantah setiap kali disuruh mengawal kakaknya. Kadan
"Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan." Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat." "Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita." "Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?" "Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jang
Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi. Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "
Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu