Share

SULTAN DESA
SULTAN DESA
Penulis: Namira

01. Kacang Goreng

"Auw!" Ambu menjerit antara kaget dan kesakitan ketika suaminya bergerak masuk di sela kaki yang terbuka lebar. "Kamu jadi besar begini?"

Abah tersenyum bangga. "Aku sakit hati diledek mereka. Kamu pasti ketagihan."

Ambu mendelik marah. "Kamu mabuk dan berjudi semalaman. Siang begini baru pulang dan minta dilayani. Ketagihan apanya? Yang ada aku muak!"

"Kamu pasti menyesal dengan kata-katamu kalau sudah merasakan," seringai Abah senang. "Tiga hari aku tidak menggaulimu karena begitu pantangannya. Hari ini aku ingin bersenang-senang denganmu."

Abah menyingkirkan tangan halus yang menahan pinggangnya. Dia pegang leher jenjang itu agar tidak menjerit dan menekannya ke bantal. Mata wanita itu membeliak saat suaminya begitu memaksa untuk masuk. 

"Kamu menyiksaku," pekik Ambu geram. "Aku tidak mau melayanimu."

Abah semakin bergairah melihat istrinya kesakitan. Tidak percuma dia membesarkan alat vital, hasilnya ternyata sungguh memuaskan. Janda-janda di luar sana pasti berhenti meledeknya.

Ambu berusaha melepaskan cekikan suaminya dan berontak hendak bangkit. Abah malah semakin bernafsu dan menampar wajahnya.

Kartika, anak sulung yang menyaksikan kejadian itu lewat pintu yang terbuka sedikit geleng-geleng kepala, kemudian dia menutup pintu rapat-rapat.

Ambu berteriak-teriak dalam bekapan tangan kekar ketika menerima hunjaman bertubi-tubi. Dia susah melepaskan diri karena tenaga suaminya terlalu kuat untuk dilawan. Akhirnya dia terdiam pasrah dan membuka kaki lebar-lebar membiarkan pinggang itu bebas bergerak naik turun.

Abah mengerang keras saat mencapai puncak kenikmatan. Kemudian turun dari tempat tidur, mengambil pakaian yang tergeletak di lantai.

Ambu meraih selimut menutupi tubuhnya yang tanpa busana. "Dasar suami bajingan. Kau membuat aku kesakitan."

"Membuat kamu merem melek juga," sahut Abah sambil berpakaian. "Aku tahu kamu merasa lebih maknyus dengan perubahan ini."

Abah pergi ke ruang tamu dan duduk beristirahat di sofa. Bel rumah berbunyi. Pria separuh baya itu bangkit dan berjalan ke pintu depan.

Abah biasanya langsung menutup pintu lagi kalau ada pemuda bertamu memakai sendal jepit dan jalan kaki. Masa bodoh pemuda itu sakit hati. Modal dengkul ingin bergaul dengan anaknya. Tidak tahu diri. Modal motor saja ditolak. Takut masuk angin.

Tapi pemuda yang satu ini disambut dengan hangatnya. Walaupun cuma mengenakan celana pendek kargo short dan kaos crew neck, Abah tahu pakaian itu bermerek. 

"Nak Gilang!" serunya gembira, seluruh wajahnya tersenyum. "Abah kira siapa?"

Gilang adalah anak orang terkaya di kampung ini. Ayahnya pemilik perkebunan apel dan jeruk yang jumlahnya ratusan hektar. Rumahnya bagaikan istana. Mobil berderet.

"Kapan pulang?" tanya Abah.

"Kemarin," jawab Gilang dengan air muka datar tanpa ekspresi. "Rara ada?"

Biar suaranya dingin, sangat enak didengar kalau orang kaya. Apalagi di tangannya ada satu kotak cerutu dan martabak telor kegemarannya.

Abah mengambil bingkisan itu dengan gesit. "Ada, ada. Silakan masuk."

"Terima kasih." Gilang melangkah ke dalam rumah. "Ada uangnya di dalam kantong itu."

"Berapa?"

"Sepuluh juta. Cukup untuk izin bertamu satu bulan? Di luar martabak telor dan cerutu setiap hari?"

"Cukup, cukup."

Mata Abah bergelimang cahaya. Bergegas dia pergi ke ruang dalam memanggil puterinya, seolah tamunya membawa urusan penting. Padahal Gilang hanya iseng tidak ada teman. Sahabatnya dari kecil cuma dua, Surya dan Rara. Surya sibuk membantu ayahnya di ladang. Dia tahu Rara pulang hari ini darinya. 

Sambil duduk tumpang kaki, mata Gilang kelayapan ke seluruh ruangan dan hinggap pada foto yang terpampang di meja kecil di sudut ruangan. Tiga anak kecil berseragam SD. Warnanya agak kabur. Rupanya Rara masih menyimpan foto kenangan itu.

Foto itu diperoleh dari hasil menipu tukang foto keliling. Mereka bilang disuruh orang tua. Ketika fotonya diantarkan ke rumah masing-masing, bukan cuma caci maki yang didapat. Harganya pun dibayar murah.

"Lama ya nunggu?" Rara muncul membawa nampan berisi dua cangkir minuman. Ditaruhnya satu cangkir di hadapan Gilang, satu lagi untuknya, lalu duduk di sofa tunggal. Nampan dipakai untuk menutupi rok mini. "Aku lagi siram bunga di belakang."

"Bunga deposito?" gurau Gilang. Kelihatan sekali tidak memiliki selera humor yang baik, nadanya kering.

"Bunga bangkai," sahut Rara lincah. "Buat kado wisudamu."

"Lulusnya juga kapan tahu."

"Bunga bangkai juga gedenya kapan tahu," senyum Rara manis. "Minum."

Gilang meneguk minuman sedikit, sekedar menghormati saja. Dia biasa minum air mineral. Tapi basa-basi perlu, "Bisa juga bikin minuman. Manisnya pas kayak senyum kamu."

Gilang melontarkan pujian dengan intonasi biasa-biasa saja. Tidak ada taste. Heran. Bagaimana pemuda menyebalkan seperti itu bisa jadi play boy? Barangkali mereka terpesona oleh wajahnya yang sangat tampan.

"Bikin kamu klepek-klepek juga bisa," kata Rara separuh melecehkan.

"Perempuan tidak pernah membuat aku jadi pecundang."

Sejak Gilang mengenal cinta, tidak ada perempuan yang berani mengakhiri hubungan mereka kalau dia tidak menghendaki, dan tidak ada cerita balikan lagi.

"Kusiram pakai air jeruk ini terus kutampar pakai nampan, apa gak bikin klepek-klepek?"

Gilang mengangkat sudut bibirnya sedikit, menyepelekan. "Fotomu masih ada."

"Cuma itu kenangan manis yang tersisa."

"Saat kupeluk kamu?"

"Peluk apaan? Kamu cekik aku sampai gak bisa nafas!"

"Pelukan play boy cilik begitu."

Dari kecil Gilang sudah berani memproklamirkan diri sebagai play boy. Dia sangat percaya diri dengan apa yang dimiliki. Banyak gadis SD yang jadi korban cinta monyetnya. Akrab beberapa minggu langsung bubar. Cuma dengan Rara persahabatannya langgeng.

Foto Gilang sendiri langsung dirobek ibunya saat itu juga. Sejak kecil dia dilarang bergaul dengan Rara. Keluarga ini demikian buruk citranya di masyarakat. Rumahnya dulu sederhana sekali. Sejak Kartika jadi istri muda CEO, kehidupan mereka meningkat drastis.

Dari kecil pula Gilang memberontak. Tidak kapok bermain bersama Rara meskipun sering mendapat hukuman. Dia bosan bermain sendiri. Hanya Rara dan Surya teman yang cocok. Dia belajar jadi anak nakal dari mereka.

Sejak kecil Gilang tidak suka dibantah. Kata-katanya adalah perintah. Tentu saja agar mereka patuh, setiap kali jajan dia jadi bosnya.

"Betah banget tinggal di kota kembang." Rara mengambil inisiatif obrolan. Mereka bisa diam-diaman sampai sore. Gilang tidak pernah ngomong duluan kalau tidak penting sekali, hanya meladeni. Selebihnya asyik main gadget. "Pulang cuma enam bulan sekali, padahal bisa tiap minggu."

Gilang malah enggan pulang kalau tidak diancam ayahnya. Kota kembang begitu memanjakan hidupnya. Dia dipaksa belajar mengelola perkebunan. Kesempatan itu cuma ada di liburan semester.

"Banyak cewek cakep di kota jadi lupa pulang kampung."

"Di kampung juga banyak cewek cakep. Buktinya ada di depanku."

"Aku bukan cewek yang gampang dipuji."

Apalagi sama kamu, gerutu Rara dalam hati. Tidak ada romantisnya. Bagaimana mereka bisa betah jadi pacar? 

"Dan aku bukan cowok yang gampang memuji," ujar Gilang tak mau kalah.

Bodo, batin Rara. Mendingan tidak usah memuji daripada bikin ilfeel. Dia melempar sindiran, "Aku bukan kacang lupa kulitnya."

"Aku kacang tidak punya kulit."

"Kacang busuk saja punya kulit."

"Kacang goreng." 

Ini yang membuat Rara kagum. Gilang tidak mudah tersinggung, padahal kata-kata itu lumayan pedas. Ekspresinya tidak berubah saat menerima pujian atau bullying.

"Siram bunganya sudah selesai?"

"Kalau iya?"

"Aku ingin menengok masa kecil. Anggaplah kacang ingin menemukan kembali kulitnya."

Rara tersenyum kecut. "Kirain ngajak nge-dance."

"Musiknya suara jangkrik sama kodok?"

"Di kota kecamatan."

"Oh ya?"

"Baru buka. Kafe juga."

Wajah Gilang terlihat sedikit mencair. "Jadi ada nyawa hidup di kampung."

"Tidak bisa ya sehari saja tanpa clubbing?"

"Tentu saja bisa...kalau lagi di rumah."

Gilang memang brengsek. Kalau di depan orang tua, pura-pura alim. Begitu adzan berkumandang langsung pergi ke mesjid. Di pondokan mana pernah shalat. Waktunya banyak dihabiskan buat clubbing.

Kelebihannya, Gilang tidak suka minuman keras dan narkoba karena itu berpengaruh pada kemampuan otaknya. Dia tidak mau sekedar lulus kuliah, apalagi sampai gagal. Gelar sarjana adalah impiannya sejak kecil.

Abi sendiri sebenarnya mengharapkan Gilang mengelola perkebunan selepas SMA. Sekolah tinggi-tinggi ujungnya cari usaha juga. Lagi pula dia bukan kuliah di jurusan agrikultura. Ilmunya tidak terpakai.

Ketika IPK Gilang sangat memuaskan, ayahnya justru paling heboh, pamer ke penduduk kalau anaknya mampu mengemban amanah orang tua, sampai mendompleng hadits; tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Padahal kuliah di Bandung saja keberatan. 

Melihat prestasinya itu, Abi berencana mengirim Gilang ke Belanda untuk program pasca sarjana agrikultura di Wageningen University & Research.

"Besok-besok saja deh clubbing-nya," kata Rara berubah pikiran. "Hari ini aku cape banget, baru pulang."

"Lagi aku tidak serius," sahut Gilang datar. "Kira-kira saja clubbing depan hidung Abi."

"Banyakan pencitraan."

"Demi lancarnya budget."

"Tapi bisa kalau cuma pengen nengok masa kecil. Sungainya kan dekat."

"Tahu kenapa aku ingin pergi ke sungai?"

Rara tersenyum masam. "Pasti kangen mandi bersama. Otak kotormu sudah terbaca."

Entah benar atau tidak tebakannya, barangkali ini yang membuat perempuan bertekuk lutut. Gilang demikian cool, bikin penasaran, ibarat air danau yang sangat tenang padahal di dalamnya banyak ikan buas. Seumur-umur Rara belum pernah melihat pemuda itu tersenyum. Sekalipun suka bercanda, air mukanya serius.

"Habiskan dulu minumannya."

"Cukup."

"Tidak suka yang manis-manis ya?"

"Cukup lihat kamu."

"Bentar ya aku rapikan dulu."

Rara membereskan cangkir dan membawanya ke belakang. Di ruang dalam bertemu dengan ayahnya yang menguping pembicaraan mereka.

"Kenapa menolak diajak jalan-jalan ke kota kecamatan?" protes Abah tidak senang. "Kapan lagi dapat kesempatan emas seperti ini?"

"Alah, paling-paling pulang minta martabak telor sama cerutu," dengus Rara sinis.

"Cetek banget pikiranmu, cuma sampai martabak telor sama cerutu."

"Terus mau Abah kuras isi dompetnya?"

"Biar Abah kuras tiap hari, dompetnya tidak akan kering."

Rara pergi dengan jengkel. Bicara sama ayahnya cuma bikin emosi. Di kepalanya cuma ada duit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status