Share

05. Bilur Rindu

"Jangan sering-sering datang ke rumahnya." Suara Umi menghentikan langkah Gilang di pintu keluar. "Nanti ketularan."

Gilang memutar tubuh dan memandang ibunya. "Aku mau ke rumah Surya."

"Alasan."

"Sejak kapan Umi tak percaya sama aku?"

"Sejak kamu pacaran dengan begundal itu!"

"Aku tidak pacaran."

"Terus buat apa kamu datang ke rumahnya kalau tidak pacaran? Main judi sama ayahnya?"

Gilang menghela nafas. Ibunya masih saja curiga, padahal kepikiran saja tidak untuk main ke rumah Rara. Kebersamaan mereka putus dengan sendirinya.

"Umi cuma mengingatkan. Kalau sampai tergoda rayuannya, itu petaka buat masa depanmu. Bisa-bisa studimu putus di tengah jalan."

"Aku sudah belajar baik-baik, dan mencapai hasil yang baik."

"Nah, pilihlah gadis baik-baik! Agar masa depanmu baik!"

"Kenapa sih Umi jadi peduli sama kuliah aku? Padahal dulu Umi memohon agar aku tidak melanjutkan sekolah. Kasihan Abi tidak ada yang bantu mengurus perkebunan."

"Ayahmu sudah berubah pikiran. Dia ingin kamu sekolah S2 di Netherland, agar usaha perkebunan lebih berkembang lagi. Jadi bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja, sehingga pemuda tidak meninggalkan kampung untuk cari kerja."

"Abi ingin mencalonkan diri jadi kepala desa? Apa tidak turun derajat? Abi itu orang terkaya di kecamatan ini."

"Ayahmu itu tokoh masyarakat! Tokoh agama! Sudah sewajarnya ikut meningkatkan kesejahteraan kampung!"

Abi belum lama ini terpilih jadi ketua BPD, semacam parlemen desa. Kalau menjabat ketua DKM, lembaga aktivitas masjid, sudah lama dan tidak tergantikan. Sebuah jabatan yang sebenarnya kurang pantas dipikul ayahnya selaku tokoh tingkat kecamatan!

Gilang melihat jam dinding sekilas. Pukul delapan lewat. Kasihan Surya terlalu lama menunggu. Malam ini mereka akan menghadiri tabligh akbar di kampung tetangga.

"Bawa orang rumah," tegas Umi melihat anaknya membandel, membuka pintu depan untuk pergi. "Security atau pelayan."

Gilang tidak jadi melangkah ke luar, menoleh sedikit dan bertanya, "Buat mata-mata?"

"Itu syaratnya kalau ingin diijinkan pergi!"

"Umi yakin mereka bisa menjalankan tugas dengan baik? Aku ini tuan mudanya."

Umi terdiam sejenak. Benar juga. Mereka bisa sekongkol. Security pasti takut dan tunduk pada perintah Gilang.

"Kalau begitu kamu bawa adikmu." Umi masuk ke ruang dalam memanggil Wisnu.

Gilang terpaksa menunggu di ambang pintu dengan kecut. Meminta anak itu mengawal sama saja memberi daging segar ke harimau lapar!

Selama ini jam malam Wisnu sampai pukul sepuluh, tak kecuali liburan. Kalau dilanggar berat hukumannya, tidur di luar dan menjalani tahanan rumah selama satu minggu. Tentu saja kesempatan langka ini tidak disia-siakan.

Masa bodoh dengan tugas yang diemban. Pokoknya dapat jam bebas. Kebetulan pacarnya yang tinggal di kota lagi suntuk. Mereka bisa dugem sepuasnya.

"Yakin nih kakak mau menghadiri tabligh Akbar?" kicau Wisnu separuh meledek, begitu mobil yang dikendarainya tiba di depan rumah Surya. Dia tahu kakaknya itu cuma pencitraan, menjaga nama baik keluarga di mata masyarakat. Lagi buat apa Abi jadi agen masyarakat segala? Malah banyak keluar duit buat sosialitas. "Bukan pergi clubbing?"

"Bawel."

"Jemput di mana nanti?"

"Di sini. Masa di depan hidung Umi?"

Lokasi tabligh akbar tidak jauh dari rumah Surya. Rencananya mereka akan jalan kaki.

"Jam berapa?"

"Jangan lebih dari jam satu."

Gilang turun. Mobil Wisnu melesat kembali membelah malam. Surya muncul dari dalam rumah. Tapi tidak sendirian, di belakang menyusul Rara. Gilang tertegun. Mau apa gadis itu ada di sini?

"Bidadarimu datang sendiri," bisik Surya di telinganya. "Dia kayak punya indera keenam kalau kita mau pergi ke tabligh akbar."

"Indera keenamnya pasti kamu."

Surya tertawa lembut. "Habis menanyakan kamu terus. Kau memang hebat, Gil. Waktu kecil, kau buat dia setengah mati karena gendengmu. Sekarang kau buat dia setengah mati karena cintamu."

"Maka itu jadilah orang kaya dan ganteng."

Surya mendengus sinis. "Betah ya cewek pacaran sama kamu? Ngomong saja kayak beduk, tidak dipukul tidak bunyi. Tangguh dalam pertempuran kali ya?"

"Air tenang menghanyutkan."

Jujur Surya suka mempunyai sahabat seperti Gilang. Tidak banyak omong. Jaga image. Pelit senyum. Tapi royal, itu yang penting. Pergi dengan Gilang perut terjamin. 

Malam ini Rara tampil beda, laksana bidadari turun dari surga. Dia tidak mengenakan pakaian yang mempromosikan keindahan tubuhnya. Yang memetakan dengan jelas di mana kelemahan laki-laki. Penampilannya tertutup. Tapi kelihatan jauh lebih cantik dan anggun.

Rara memandang Gilang berbalut rindu. "Apa kabar?"

Tiba-tiba saja Rara merasa seperti gadis pingitan di hadapan pemuda itu. Salah tingkah. Desakan rasa di hati membuat dirinya kehilangan kata-kata terbaiknya. Pertanyaan itu standar bangat.

"Baik," sahut Gilang pendek.

Sekali ini Rara mengagumi sikap Gilang yang demikian tenang. Bisa menjaga perasaan di balik wajah dengan ekspresi seperti biasa. Tidak berombak. Padahal dia tahu hatinya bergemuruh seperti dirinya.

"Tidak dikawal adikmu?" tanya Gilang. "Biasanya kalian kayak truk dan gandengan kalau keluar malam."

Bercandanya masih seperti biasa. Kering. Tapi malam ini terasa sangat beda. Nikmat kedengarannya. Barangkali karena di hatinya bermekaran bunga-bunga cinta.

Rara tersenyum. Manis sekali. "Nita sama brengseknya dengan adikmu. Menyelewengkan tugas yang diembannya."

"Namanya kerja sama yang saling menguntungkan."

"Tapi aku takut Nita diapa-apain cowoknya."

"Aku juga takut Wisnu ngapa-ngapain ceweknya. Tapi aku tidak biasa pergi sama adikku."

"Biasanya sama siapa?"

Gilang melihat ada lecutan dalam bola mata yang indah itu. Dia pura-pura menoleh ke arah lain dan menemukan Surya sudah tak ada di tempatnya. "Kata Surya Linmas di pos itu galak-galak. Mari kita pergi sebelum kena pajak."

"Aku datang ke sini sebenarnya bukan ingin menghadiri tabligh akbar."

"Kalau ingin dugem, seharusnya tadi-tadian ngomong. Aku bisa bel Wisnu. Sekarang adikku sudah berada di mana tahu."

"Aku bisa pergi sama Nita kalau ingin dugem."

"Terus?"

"Aku ingin ketemu kamu."

"Sekarang sudah."

"Kamu ini tidak mengerti apa pura-pura bodoh?" keluh Rara separuh jengkel. "Pikirmu buat apa aku datang jauh-jauh ke rumah Surya? Malam-malam pula? Aku rindu kamu! Cinta kamu!"

Gilang terdiam. Sekalipun sudah tahu dari Surya, dia tidak menyangka gadis itu berani terbuka. Dia sendiri pikir-pikir nembak seorang betina. Lagi pula, dia tidak pernah menyatakan cinta lebih dulu!

"Kenapa? Tidak boleh aku jujur? Tidak boleh aku melanggar adat kampung? Mengungkapkan isi hati lebih dulu? Kalau nunggu kamu, sampai kiamat aku jadi jomblo! Yang kamu ributkan cuma masa lalu! Seolah cuma kita yang pernah jadi anak kecil!'

"Itu kan akal laki-laki," sahut Gilang dengan gaya yang menyebalkan. "Bagaimana caranya supaya bisa berduaan."

"Jadi kamu mempermainkan aku?"

"Memangnya mau dipermainkan?"

Rara mencubit pinggangnya dengan gemas, Gilang balas memencet hidungnya. Kemudian Rara mencium wajahnya dengan lembut dan berharap pemuda itu balas mengecup bibirnya. Tapi mendadak gadis itu terpukau. Tahu-tahu di hadapan mereka berdiri dua orang Linmas berwajah galak!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status