Share

06. Sindikat Terbongkar

Umi mulai curiga. Anak sulungnya rajin sekali keluar malam. Minggu-minggu ini memang banyak acara siraman rohani, bulan baik untuk hajatan menurut hitung-hitungan. Tapi bukan berarti boleh pulang seenaknya. Bahkan pernah ayam sudah berkokok baru pulang. Dikasih kebebasan malah kebablasan.

Wisnu yang dipercaya untuk memata-matai pun mulai meragukan. Setiap kali ditanya, jawabannya itu-itu saja.

"Umi kan tahu si kakak calon mubaligh. Lebih suka dengar ceramah kyai daripada ceramah Umi."

"Masa tiap malam?"

"Tablighnya tiap malam."

"Minggu ini cuma tiga."

"Di desa sebelah."

"Desa sebelah?" Umi terbelalak kaget. "Kalian pergi sejauh itu?"

"Kan bawa mobil."

Tapi Umi tetap sangsi. Gilang bisa dimengerti suka pengajian. Anak itu rajin ke mesjid. Tapi Wisnu sejak kapan suka tabligh? Biarpun cuma mengantar? Shalat saja menunggu perintah ayahnya!

Dia tak pernah membantah setiap kali disuruh mengawal kakaknya. Kadang jadi informan di kampung mana ada acara keagamaan. Kapan dia mau diperalat seenaknya seperti itu?

"Biarkan saja," kata suaminya seakan membela mereka. Dia sedang menonton wayang golek di televisi daerah sambil duduk bersandar di tempat tidur. "Hitung-hitung pembekalan mental sebelum kembali belajar."

"Mereka mencurigakan."

"Mencurigakan bagaimana?"

"Rasanya kok aneh. Tak bosan-bosannya mendengarkan siraman rohani tiap malam. Padahal ustadznya itu-itu juga. Temanya itu-itu juga."

"Dan jamaahnya itu-itu juga. Seperti wayang golek ini, dalangnya itu-itu juga, ceritanya itu-itu juga. Nyatanya aku tetap suka. Apanya yang aneh?"

"Wisnu loh, Abi. Sejak kapan mau pergi sama kakaknya? Menghadiri tabligh lagi. Biasanya lihat undangan pengajian remaja saja pura-pura buta huruf."

"Mereka akur curiga. Berantem salah. Mau kamu apa?"

"Abi jangan terlalu percaya sama mereka. Semakin banyak dikasih kepercayaan semakin banyak kesempatan untuk berkhianat."

"Kulihat mereka wajar-wajar saja."

"Apa Abi anggap wajar-wajar saja kalau Gilang diam-diam menjalin hubungan sama anaknya si Marwan?"

"Kenapa memangnya?"

"Pakai tanya lagi! Abi tahu gadis macam apa dia!"

"Aku lihat Rara orangnya baik, ramah, sopan."

"Memang itu senjata gadis matre!"

"Apa itu matre?"

"Makanya sekali-sekali nonton sinetron! Jangan nonton wayang golek melulu! Gadis matre saja tidak tahu!"

"Yang tahu bisanya cuma menjelek-jelekkan orang."

"Nyatanya begitu kok."

"Jablai."

"Enak saja bilang aku jablai! Abi sendiri kurang perhatian! Siang sibuk di perkebunan! Malam nonton wayang golek! Kapan waktunya untuk aku? Malam ini ada jadwal pura-pura lupa!"

Abi menoleh sekilas. Heran. "Apa lagi ngomel-ngomel? Itu ada iklan benih ikan air tawar, namanya jabang lais, disingkat jablai."

"Aku kira...." Wajah Umi meranum.

"Menurut sinetron jablai itu apa?"

Umi sedikit tersipu. "Tahu."

"Jadi jablai itu artinya tahu? Tahu apa?"

"Ke mana-mana deh."

"Kamu sendiri yang bilang, kok ke mana-mana? Jablai itu artinya apa sebenarnya?"

"Jablai itu artinya malam ini bukan jadwal nonton wayang golek."

Abi tersenyum seolah baru ingat. "Oh, iya. Tidak apa sambil nonton wayang golek."

Abi meraih tubuh yang masih kencang itu ke dalam pangkuannya. Umi duduk memunggungi. Dia elus kepala kura-kura sampai bangun, kemudian diarahkan ke mangkok pecah. 

"Jadi Abi setuju punya calon menantu si Rara?" tanya Umi sambil pinggulnya bergerak naik turun.

"Kamu ini bagaimana? Anakmu ini ingin jadi sarjana, malah sudah siap berangkat untuk ambil S2 di Netherland. Biarkan dia menyelesaikan kuliahnya dulu."

Barangkali suaminya benar. Terlalu dini bicara soal itu. Padahal belum tentu demikian. Siapa tahu Gilang sudah punya calon di Bandung yang akan diperkenalkan nanti saat wisuda.

"Enak sekali, Abi," desah istrinya sambil mengatupkan mata.

"Jelas enak punya anak berpikiran maju."

"Maksudnya bukan soal anak kita, soal di terowongan bekas keluar anak kita. Maka itu matikan wayang golek biar nyambung!"

Umi mulai berkeringat. Pinggulnya bergerak semakin lincah. Setiap masalah yang dihadapi pasti mereda kalau diselesaikan dengan kemesraan.

Umi sudah hampir melupakan masalah itu kalau seorang buruh perkebunan tidak kelepasan omong. Saat itu dia sedang mengontrol mereka panen apel merah.

"Barangkali sebentar lagi ya, Nyonya?" cetus nyi Imas. "Tidak sangka besanan sama orang kampung juga."

Umi bengong sekejap. "Besanan? Siapa yang mau nikah? Anakmu yang baru lulus SD itu?"

"Nyonya suka pura-pura."

"Jangan membuatku bingung, Imas."

"Jadi Nyonya betul-betul tidak tahu?"

"Soal apa?"

"Ah, lupakan saja."

"Kalau kamu suruh lupakan, maka aku juga akan minta mandor untuk melupakan upahmu hari ini."

Tentu saja Umi cuma main-main. Gertak sambal. Tapi nyi Imas sudah demikian takutnya. Jika gajinya tak dibayar, makan apa anaknya sore ini? Dia seorang janda!

"Belakangan ini tuan muda dan non Rara makin lengket saja," kata nyi Imas takut-takut. "Tetangga saya sering melihat mereka nongkrong di kafe."

Hampir melompat ke luar bola mata Umi. Jadi kecurigaannya benar? Gilang dan adiknya bersekongkol? Kurang ajar!

"Masih sekolah sudah pandai berbohong!" Wisnu adalah orang yang pertama kena semprot ibunya. "Bagaimana kalau sudah jadi orang? Mau mengibuli masyarakat?!"

Celaka, keluh Wisnu dalam hati. Siapa pula yang membocorkan konspirasi ini? Usil amat sama urusan orang!

"Dikasih kepercayaan bukan tanggung jawab! Malah dijadikan kesempatan!"

"Tahu tidak bisa dipercaya," sahut Wisnu kecut. "Dikasih tugas juga."

"Jadi janji kamu hari itu cuma karena kepingin mobil baru? Baik! Besok semua mobilmu Umi jual! Motor juga!"

"Jangan! Umi tega lihat aku gelantungan naik angkot ke sekolah?"

"Diantar jemput sama sopir!"

"Sopir kita cuma tiga, sopir buat belanja dapur dan sopir Abi sama Umi. Rutinitas mereka terganggu kalau dikasih kerja tambahan."

"Ambil sopir baru!"

"Kejam."

"Kamu juga kejam sama Umi!"

"Aku sayang sama Umi."

"Kalau begitu kenapa kamu berani berbohong sama Umi? Bilangnya mengawal kakakmu ke tabligh! Tidak tahunya malah mengantar ke kafe! Acara sendiri-sendiri! Kamu pasti ke diskotik sama pacarmu!"

"Sesekali boleh dong, Umi?"

"Dua minggu berturut-turut kamu bilang sesekali?" belalak Umi geram. "Adik dan kakak sama saja! Brengsek semua! Mana kuncinya?"

"Kunci apa?"

"Mobil sama motor!"

"Buat apa?"

"Pokoknya sini!"

Terpaksa Wisnu mengeluarkan kunci motor dari saku celana dan langsung dirampas oleh ibunya.

"Yang lain mana?"

"Di kamar."

"Ambil!" perintah Umi bengis. "Cepetan!"

Kiamat. Dengan lesu Wisnu bangkit dari sofa. Alamat ribut sama pacar. Besok mereka janjian ke Anyer.

Pacarnya sudah sering dibohongi. Sekalinya benar tidak ada acara dengan gang motor dan selingkuhan, ada masalah dengan ibunya. Pasti pacarnya tidak percaya kalau semua kendaraannya disita. 

Wisnu sedang mendorong motor sport dari halaman saat Gilang muncul. Dia baru pulang dari rumah Rara membicarakan acara tahun baruan.

Gilang meledek. "Mogok? Motor oplosan kali."

"Cepetan kabur! Sindikat kita terbongkar!"

"Maksudnya?"

Wisnu tidak sempat menjawab, sang ratu murka sudah keburu muncul dari dalam rumah.

"Ke mari kamu!" Suara Umi terdengar mengguntur.

"Selamat berjuang, Kak," bisik Wisnu separuh meledek.

Gilang tenang-tenang saja menghampiri. Dia sudah siap menanggung risikonya. Kapan-kapan persekongkolan mereka pasti terbongkar.

"Kamu ingin membuat malu keluarga kita!" bentak Umi sengit. "Berapa kali Umi bilang! Jangan bergaul dengan gadis perusak itu!"

"Hubungan aku biasa-biasa saja," sahut Gilang tenang. "Tak pernah berbuat macam-macam."

"Tapi sudah jadi macam-macam bagi penduduk! Jadi gunjingan! Mau ditaruh di mana muka Umi?"

"Orang bisanya cuma membumbui."

"Kamu sudah berani membohongi orang tua! Tidak mustahil kamu juga berani melakukan perbuatan tercela lainnya!"

"Aku bisa jaga diri."

"Tapi tidak bisa menjaga cintamu dari rayuan busuk gadis itu! Buka mata lebar-lebar! Orang bodoh saja bisa membedakan!"

"Rara tidak seperti anggapan banyak orang." Gilang menarik nafas lambat-lambat. Kalau ibunya melarang hubungan mereka dengan alasan yang dapat diterima, detik ini juga dia meninggalkan Rara. Umi tidak adil menghakimi gadis itu karena keburukan ayahnya. "Karena lingkungan masih awam, maka kelihatan beda."

"Orang bisa dilihat dari bibitnya!"

"Siapa tahu mereka cuma iri."

"Iri?" Mata Umi melebar. "Apa yang membuat mereka pantas iri?"

"Tidak semua orang bisa jadi miliarder."

"Kalau jadi orang kaya dengan cara begitu, semua orang bisa! Apa susahnya menggaet laki-laki yang lupa umur?"

"Tidak semua orang bisa loh, Umi."

"Pakai saja susuk yang banyak!"

"Biar pakai susuk."

"Yang jelas bukan karena cinta!"

"Umi juga menikah bukan karena cinta. Lalu lahirlah anak seperti ini."

Umi tersinggung. "Berani kamu samakan Umi dengan si Kartika! Bedebah betul!"

"Bukan itu maksudnya."

"Terus apa?!" geram Umi marah. "Si Kartika menikah karena ingin jadi orang kaya! Bukan ingin jadi ibu rumah tangga seperti aku!"

"Dia menikah karena paksaan orang tua."

"Apa bedanya? Akhirnya menikmati juga! Hidup foya-foya! Dulu berapa kali mencoba bunuh diri! Bolak-balik ke rumah pacarnya minta perlindungan! Gadis selugu itu saja demikian drastis perubahannya! Apalagi si Rarasapi yang pergaulannya sangat liar!"

"Jangan hukum Rara karena dosa keluarganya, Umi," tegur Gilang sabar. "Lihatlah kepribadian Rara sendiri, itu yang membuat Umi jadi orang bijaksana."

Diam-diam ibunya jadi curiga. Jangan-jangan Gilang kena guna-guna. Dulu dia penurut. Tak pernah membantah orang tua, apalagi menceramahi. Tapi setelah bergaul dengan gadis itu, tiba-tiba saja jadi seorang pemberontak!

"Abi harus menegur Gilang," kata Umi kepada suaminya. "Sekali-sekali kasih pelajaran."

"Kan sudah dari dosen-dosennya." Abi menguap jemu. Dia baru pulang dari perkebunan. Keringat pun belum kering kena siraman udara dingin kamar tidur. Tapi sudah disuguhi omongan macam-macam. "Pelajaran apa lagi?"

"Maksudnya hukum!"

"Kenapa tidak sama kamu saja?"

"Sama aku berani membangkang."

"Karena terlalu sering marah. Apapun kalau terlalu tidak baik."

"Wajar kan? Orang tua mana yang ingin anaknya terjerumus? Punya menantu bejat?"

"Anak milenial tidak butuh nasehat. Butuh teladan. Figur."

"Kok jadi menceramahi Umi?"

"Sudahlah, aku mau istirahat. Kalau cuma soal hubungan anak kita sama anaknya Pak Marwan, simpan saja buat kapan-kapan. Bosan."

Abi menghabiskan minuman di meja dan bangkit dari sofa, pergi ke tempat tidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status