Gilang memandang dengan sengit. "Apa maksud Umi menjodohkan aku dengan anak kepala desa itu? Karlina masih SMA, Umi. Dia cocoknya dengan Wisnu."
Gilang baru pulang dari mesjid selesai shalat Dhuhur. Dia belum sempat ganti pakaian ketika Umi memintanya duduk untuk mendengarkan keputusan itu. Tentu saja dia kalang kabut.
"Jadi kamu ingin perempuan yang lebih tua?" sambar Umi tak kalah kerasnya. "Baik! Kamu akan Umi jodohkan dengan janda beranak satu tetangga kita! Dia jauh lebih baik buat kamu!"
Gilang menatap bingung. "Ada apa sebenarnya? Mengapa Umi tiba-tiba saja ingin mencarikan calon istri buat aku?"
"Tanya pada dirimu sendiri! Kamu pikir Umi tidak tahu kamu masih pacaran dengan gadis benalu itu? Bilangnya sudah putus! Nyatanya kamu masih jalan bareng!"
Ibunya sudah kehabisan akal untuk melarang hubungan mereka. Ancaman saja tidak cukup. Tidak mempan. Dia harus mengambil keputusan tegas.
"Aku tidak bisa menikah dengan Karlina.
Pertunangan itu tidak menjadi beban bagi Gilang. Dia bahkan sudah berniat minta uang tambahan untuk mengajak Karlina jalan-jalan dengan alasan ingin mengenal lebih jauh. Padahal uang itu akan ditabung untuk bekal masa depan. Dia sudah merencanakan pemberontakan setelah lulus kuliah nanti. Jika orang tuanya tidak menerima Rara sebagai menantu, maka dia akan pergi. Gilang berencana menghubungi beberapa teman dekatnya untuk mencari kerja sambilan. Barangkali di perusahaan orang tua mereka ada lowongan kerja part time. Hal ini untuk berjaga-jaga seandainya Abi dan Umi mengetahui bahwa perjodohan ini ternyata dijadikan modus untuk memberontak disaat yang tepat. Jadi Gilang sudah punya pegangan kalau diusir dari rumah. Dia tidak mau mengandalkan Rara. Di mana harga dirinya sebagai kepala rumah tangga kalau mencari nafkah saja tidak mampu? Lebih baik hidup sendiri daripada jadi beban istri. Betapapun cintanya dia kepada Rara. Justru Abah yang jadi beban pikirannya.
Bradley bukan pemuda biasa. Di usia yang semuda itu dia sudah menggenggam kehidupan yang gemilang. Mungkin mesti dicapai puluhan tahun oleh orang kebanyakan. Itupun masih tergantung faktor keberuntungan. Semua itu tak lepas dari andil orang tua. Mereka menyuguhkan semua fasilitas yang dibutuhkan, puteranya tinggal menjalankan tanpa perlu susah payah berjuang, atau keliling kantor menjual diploma Oxford. Tapi apa bedanya? Wajahnya sangat tampan. Putih bercahaya. Perpaduan Birmingham dan Solo. Wajah yang tak pernah tahu arti debu. Tubuhnya ideal. Bukan peminum, atau pemakai narkoba. Pemuda idaman setiap orang tua untuk berlomba mengambil sebagai menantu. Yang biasa hanya sifatnya. Tidak beda dengan pemuda kebanyakan. Kalau sudah tergila-gila pada seorang gadis, moncong senjata pun diterjang! Dia sudah jatuh cinta pada Rara sejak pertama kali melihat fotonya di rumah istri muda Om Sastro. Lalu timbul niat untuk meminangnya. Kebetulan dia sedang mencari c
Gilang mempunyai kewajiban baru sejak perjodohan itu. Malam Minggu harus pulang bagaimanapun sibuknya. Jika tidak, handphone sepanjang malam bunyi dan berujung dengan kemarahan ibunya. "Perhatikan calon istrimu," tegur Umi setiap kali Gilang beralasan tidak bisa datang. "Dia hanya ada waktu malam Minggu untuk bertemu denganmu. Hari-hari biasa sibuk sekolah." Karlina sekolah di kota kabupaten yang predikatnya lebih baik dari SMA di kecamatan. Berangkat habis Shubuh dan pulang hampir Maghrib. Malam hari tinggal sisa-sisa lelahnya. Umi tidak tahu kalau malam Minggu adalah malam terburuk baginya. Waktu yang seharusnya dimanfaatkan baik-baik untuk refreshing malah terbuang percuma, mengantar Karlina pergi untuk bertemu dengan Robby, pacarnya. Malam Minggu ini Gilang ada janji dengan teman senior, Tarlita. Gadis itu tahu kalau diundang ke apartemen berarti pacarnya lagi tidak bisa dipakai. Dia sendiri sering
Karlina adalah perempuan paling liar yang pernah dikenal Gilang. Di balik kelembutan wajahnya tersimpan gelora yang ganas. Tabir ini menjadi rahasia mereka berdua. Sehari-harinya Karlina begitu menjaga image. Dia tidak pernah bertegur sapa secara berlebihan dengan lawan jenis. Kehormatan sebagai puteri orang nomor satu di desa ini benar-benar dijaga. Karlina adalah gambaran kepribadian Gilang secara utuh. Gadis itu hanya cocok untuk melanglang di kehidupan bebas. Dia khawatir jika suatu saat keadaan memaksa mereka untuk menikah. "Bagaimana pestanya semalam?" tanya Umi sambil berjalan masuk ke kamar anaknya. "Umi kebiasaan kalau masuk tidak mengetuk pintu," tegur Gilang halus. "Untung aku sudah pakai baju. Kalau telanjang, aku kan malu." Gilang sedang berdandan depan cermin berukir. Rara kirim chat hari ini tidak masuk kerja karena tidak ada job. Mereka bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk berkencan. Mereka belum pernah jalan berdua di
Bergaul dengan Luki tidak ada manfaat untuk perkara maksiat sekalipun. Masukannya selalu bertentangan dalam setiap persoalan. Barangkali karena cara pandang mereka yang berbeda dalam mengarungi kehidupan bebas. Gilang berhubungan intim karena kebutuhan, sedangkan temannya itu karena bangga dapat menunggangi perempuan manapun. Untung mereka tidak satu gedung apartemen. Jadi kuping tidak bising. "Kemana kamu?" tanya Luki melihat Gilang meninggalkan bangku taman apartemen. "Ceramahmu tidak bermutu, bikin bete." "Butuh sepeda baru nggak? Di SMA adikku ada cewek macan habis." Gilang berhenti dan menoleh. "Mantan kamu? Mendingan aku terima undangan istri pemilik apartemen." "Justru itu aku tidak mampu menjadikan cewek itu jadi sepedaku. Makanya aku serahkan ke kamu. Buktikan kalau kamu pejuang kelamin nomor wahid di kota ini. Malam nanti ada party dance di acara ultah adikku. Dia datang." Gilang tidak tertarik. "Hari ini aku pulang."
Air muka Rara berubah saat melihat Bradley duduk di beranda rumah sambil membuka-buka gadget. Pasti menunggunya pulang. "Ngapain datang ke rumahku?" tanya Rara sambil duduk di kursi yang berjauhan. Bradley tersenyum sedikit. "Jutek banget. Aku menjenguk Ambu." Sebuah sedan muncul di halaman. Abah turun dari dalam mobil itu. Dia baru pulang habis berjudi semalaman. Rara sebenarnya ingin memarahi Abah yang baru pulang begini siang. Dia jengkel melihat kelakuannya. Bukan menemani istri yang lagi sakit, malah pergi berjudi. Rara berusaha menyembunyikan amarahnya dengan bermuka ramah. "Abah, tolong temani Bradley sebentar. Aku ke dalam dulu." "Kamu temani saja," sahut Abah sambil pura-pura menahan hajat. "Aku sudah kebelet ingin ke toilet." Abah masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Pikiran keji muncul di benaknya melihat keberadaan mereka. Dia segera mengambil dua bungkus serbuk dengan kemasan berbeda di laci lemari yang terkun
Rara tidak dapat menerima logika kakaknya. Kartika rela tubuhnya digagahi untuk menggantikan posisi ibunya. Pengorbanan salah kaprah, atau baru sebatas itu pola pikirnya tentang arti pengorbanan. "Kalian binatang," geram Rara marah. "Kalian tidak pantas disebut manusia." "Aku tidak peduli dengan sebutan itu," sahut Kartika tenang. "Aku cuma peduli dengan kehidupan kalian. Aku tidak ingin kejadian yang kualami terulang di kamu. Aku tidak ingin Ambu mati melayani nafsu bejatnya." "Dan cuma cara itu yang bisa kamu lakukan? Picik sekali otakmu. Kamu bisa biarkan Dajjal itu mati karena perbuatan sendiri." "Kamu tidak tahu bagaimana tersiksanya Ayah saat itu. Dan seorang lelaki bisa berbuat apa saja jika sudah tersiksa seperti itu. Kehormatan keluarga ini lebih hancur kalau aku menolak. Dia pasti mengejar-ngejar aku sampai ke rumah tetangga. Dan dia bisa melampiaskan hasratnya pada perempuan mana saja yang ditemukan." "Mestinya kamu kasih racun tiku
Gilang menjalankan mobil dengan kencang menyeruak keramaian lalu lintas. Wajahnya sangat kusut. Karlina tahu ada sesuatu terjadi dengan Rara yang membuat Gilang kecewa. Apa gadis itu tertangkap basah lagi selingkuh? "Kamu mau cerita?" tanya Karlina memecah kesunyian. "Rara tak seindah yang kubayangkan," kata Gilang dengan dada sesak. "Dia sama dengan gadis kebanyakan. Mencari laki-laki yang paling kaya." "Apa kamu yakin dengan apa yang kamu lihat?" "Gadis itu tidak pernah merayakan ulang tahun bersamaku, malam ini dia merayakan bersama Bradley." "Itu tidak membuktikan dia sudah selingkuh. Di pondokan banyak orang. Apa dia merayakan berdua?" "Aku tidak peduli dia selingkuh atau tidak. Kejadian itu sangat menghinaku." "Bisa saja perayaan itu surprise dari teman-temannya." "Kue ulang tahun itu surprise dari Bradley dan dia menerima. Aku memberi surprise yang sama tahun kemarin, dia menolak mentah-mentah. Apa ini bukan peng