Bergaul dengan Luki tidak ada manfaat untuk perkara maksiat sekalipun. Masukannya selalu bertentangan dalam setiap persoalan. Barangkali karena cara pandang mereka yang berbeda dalam mengarungi kehidupan bebas. Gilang berhubungan intim karena kebutuhan, sedangkan temannya itu karena bangga dapat menunggangi perempuan manapun. Untung mereka tidak satu gedung apartemen. Jadi kuping tidak bising.
"Kemana kamu?" tanya Luki melihat Gilang meninggalkan bangku taman apartemen.
"Ceramahmu tidak bermutu, bikin bete."
"Butuh sepeda baru nggak? Di SMA adikku ada cewek macan habis."
Gilang berhenti dan menoleh. "Mantan kamu? Mendingan aku terima undangan istri pemilik apartemen."
"Justru itu aku tidak mampu menjadikan cewek itu jadi sepedaku. Makanya aku serahkan ke kamu. Buktikan kalau kamu pejuang kelamin nomor wahid di kota ini. Malam nanti ada party dance di acara ultah adikku. Dia datang."
Gilang tidak tertarik. "Hari ini aku pulang."
Air muka Rara berubah saat melihat Bradley duduk di beranda rumah sambil membuka-buka gadget. Pasti menunggunya pulang. "Ngapain datang ke rumahku?" tanya Rara sambil duduk di kursi yang berjauhan. Bradley tersenyum sedikit. "Jutek banget. Aku menjenguk Ambu." Sebuah sedan muncul di halaman. Abah turun dari dalam mobil itu. Dia baru pulang habis berjudi semalaman. Rara sebenarnya ingin memarahi Abah yang baru pulang begini siang. Dia jengkel melihat kelakuannya. Bukan menemani istri yang lagi sakit, malah pergi berjudi. Rara berusaha menyembunyikan amarahnya dengan bermuka ramah. "Abah, tolong temani Bradley sebentar. Aku ke dalam dulu." "Kamu temani saja," sahut Abah sambil pura-pura menahan hajat. "Aku sudah kebelet ingin ke toilet." Abah masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Pikiran keji muncul di benaknya melihat keberadaan mereka. Dia segera mengambil dua bungkus serbuk dengan kemasan berbeda di laci lemari yang terkun
Rara tidak dapat menerima logika kakaknya. Kartika rela tubuhnya digagahi untuk menggantikan posisi ibunya. Pengorbanan salah kaprah, atau baru sebatas itu pola pikirnya tentang arti pengorbanan. "Kalian binatang," geram Rara marah. "Kalian tidak pantas disebut manusia." "Aku tidak peduli dengan sebutan itu," sahut Kartika tenang. "Aku cuma peduli dengan kehidupan kalian. Aku tidak ingin kejadian yang kualami terulang di kamu. Aku tidak ingin Ambu mati melayani nafsu bejatnya." "Dan cuma cara itu yang bisa kamu lakukan? Picik sekali otakmu. Kamu bisa biarkan Dajjal itu mati karena perbuatan sendiri." "Kamu tidak tahu bagaimana tersiksanya Ayah saat itu. Dan seorang lelaki bisa berbuat apa saja jika sudah tersiksa seperti itu. Kehormatan keluarga ini lebih hancur kalau aku menolak. Dia pasti mengejar-ngejar aku sampai ke rumah tetangga. Dan dia bisa melampiaskan hasratnya pada perempuan mana saja yang ditemukan." "Mestinya kamu kasih racun tiku
Gilang menjalankan mobil dengan kencang menyeruak keramaian lalu lintas. Wajahnya sangat kusut. Karlina tahu ada sesuatu terjadi dengan Rara yang membuat Gilang kecewa. Apa gadis itu tertangkap basah lagi selingkuh? "Kamu mau cerita?" tanya Karlina memecah kesunyian. "Rara tak seindah yang kubayangkan," kata Gilang dengan dada sesak. "Dia sama dengan gadis kebanyakan. Mencari laki-laki yang paling kaya." "Apa kamu yakin dengan apa yang kamu lihat?" "Gadis itu tidak pernah merayakan ulang tahun bersamaku, malam ini dia merayakan bersama Bradley." "Itu tidak membuktikan dia sudah selingkuh. Di pondokan banyak orang. Apa dia merayakan berdua?" "Aku tidak peduli dia selingkuh atau tidak. Kejadian itu sangat menghinaku." "Bisa saja perayaan itu surprise dari teman-temannya." "Kue ulang tahun itu surprise dari Bradley dan dia menerima. Aku memberi surprise yang sama tahun kemarin, dia menolak mentah-mentah. Apa ini bukan peng
Umi terkejut melihat anaknya pulang dengan wajah lusuh. Dia sedang menonton sinetron di ruang keluarga, ditemani suaminya yang membaca majalah pertanian. Di meja ada secangkir kopi dan penganan hangat. "Kamu habis berantem sama Karlina? Mukanya lecek banget kayak cucian kotor." Lalu Umi berbisik kepada suaminya. "Persis kayak muka Abi kalau aku lagi dapet." Gilang duduk di hadapan mereka. "Sama calon istri masa berantem sih, Umi? Bagaimana sudah berumah tangga? Aku ingin kayak Umi dan Abi, tetap mesra sampai tua." Cita-cita itu terpelihara sebelum mimpinya hancur oleh kejadian ulang tahun itu. Sekarang dia tidak tahu entah dengan siapa membangun mahligai indah itu. "Nah, terus kenapa mukamu kusut begitu?" Kemudian Umi melanjutkan kata-katanya dengan pelan sehingga hanya terdengar oleh suaminya. "Persis kayak rumput aku yang belum dipangkas. Tukang pangkasnya sibuk mengurus perkebunan." "Aku cape," sahut Gilang. "Antar Karlina sana sini. Sebena
Sebenarnya Gilang sudah bertekad untuk mengurangi kebiasaan yang satu itu, tapi kejadian di pondokan Rara membuatnya kembali pada kebiasaan itu, malah menjadi-jadi. Gilang sudah mendapat bekal cukup dari Karlina, namun baru seminggu di Kalimantan dia sudah uring-uringan karena sulit mendapatkan pelampiasan. Mereka tinggal di hotel kecil di pinggiran kota kabupaten. Tujuannya supaya tidak terlalu jauh dari lokasi ekplorasi, sehingga dapat menghemat waktu dan energi. Mereka melakukan eksplorasi menggunakan helikopter untuk pemetaan dan mobil segala medan untuk meninjau lokasi secara langsung. Ada beberapa titik yang perlu diteliti. Hotel itu terletak di jalan raya utama. Tapi tidak lebih ramai dari jalan kecamatan di kota kelahirannya. Restoran dan kafe jarang terdapat, sekalinya ada sangat sederhana dengan menu terbatas. Destinasi yang kurang menarik kalau datang untuk liburan. Jika ingin menikmati kuliner yang lebih baik, p
Dengan lesu Rara duduk di sisi pembaringan. Dia baru pulang dari kampus melihat ujian praktikum. Angkanya sangat baik, memuaskan. Tapi dia tidak gembira, tidak bangga. Mata Rara tertuju ke kalender kecil di meja belajar. Ada bulatan hitam yang jatuh hari ini dimana Gilang seharusnya datang. Berarti sudah satu minggu dia tidak muncul sejak pulang dari Kalimantan. Entah penelitiannya sukses atau tidak. Tak pernah ada kabar. "Kalau nilaimu bagus," Rara teringat kembali kata-kata pemuda itu setiap kali akan menghadapi ujian, "kamu boleh jitak kepalaku sejumlah angka yang kamu peroleh." Tentu saja Gilang cuma bergurau. Dia ingin memberi semangat. Tapi Rara ingin pemuda itu menepati janji. Ada di sisinya saat menghadapi momen yang mereka anggap penting. "Gaya," sahut Rara meledek. "Naik mobil saja aku buka pintu sendiri." "Kamu ingin dibukakan pintu?" "Setiap perempuan ing
Mereka berciuman dengan lembut sambil duduk di tepi tempat tidur. Rara menyingkirkan tangan Gilang yang hendak membuka kancing baju. Karena bandel, akhirnya dibiarkan tangan itu mencopot kancing. Satu per satu pakaian bagian atas dilepaskan sehingga terlihat tubuh yang sangat halus dan mulus. Gadis itu tak kuasa menolak karena terhanyut dalam permainan. Gilang membaringkan Rara di atas kasur tanpa berhenti berciuman. Ciuman pemuda itu bergeser turun inci demi inci dan terbenam di dada dengan dua bukit yang sangat mempesona. Gadis itu serasa terbang ke awan. Pacarnya sungguh pandai membuat dia terbuai. Tapi dia masih ingat untuk menjaga yang satu itu saat Gilang bergerak lebih jauh lagi. "Jangan," cegah Rara sambil menahan tangan Gilang yang hendak melepas segi tiga pengaman. Dia sendiri hampir tidak kuat menahan hasrat. "Yang itu tidak boleh." Gilang menghentikan aksinya dengan kecewa. Rara jadi merasa tidak enak. Dia menghibur dengan kecupan mesra. Mereka be
Gilang keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kimono. Dia menghampiri Rara yang berbaring di tempat tidur dengan tubuh tertutup selimut. Pakaiannya tergeletak di kasur. "Kamu tidak mandi?" tanya Gilang sambil duduk di sisi tempat tidur. "Kimono sudah disiapkan di kamar mandi." "Aku masih terasa sakit," sahut Rara pelan. Pengalaman itu terlalu dahsyat sehingga meninggalkan rasa perih pada organ intimnya. Dia sudah coba untuk berjalan tapi tidak sanggup. "Aku gendong ke kamar mandi ya?" "Tidak perlu. Sebentar lagi rasa sakit itu pasti hilang." "Kalau sudah hilang...." Gilang tidak melanjutkan kata-katanya. Rara menatap penasaran. "Kalau sudah hilang apa?" "Kamu bisa segera mandi." "Kirain...." "Kirain apa?" "Aku tahu ini tidak benar." "Aku sudah lama tidak tah