Mereka berciuman dengan lembut sambil duduk di tepi tempat tidur. Rara menyingkirkan tangan Gilang yang hendak membuka kancing baju. Karena bandel, akhirnya dibiarkan tangan itu mencopot kancing. Satu per satu pakaian bagian atas dilepaskan sehingga terlihat tubuh yang sangat halus dan mulus. Gadis itu tak kuasa menolak karena terhanyut dalam permainan.
Gilang membaringkan Rara di atas kasur tanpa berhenti berciuman. Ciuman pemuda itu bergeser turun inci demi inci dan terbenam di dada dengan dua bukit yang sangat mempesona. Gadis itu serasa terbang ke awan. Pacarnya sungguh pandai membuat dia terbuai. Tapi dia masih ingat untuk menjaga yang satu itu saat Gilang bergerak lebih jauh lagi.
"Jangan," cegah Rara sambil menahan tangan Gilang yang hendak melepas segi tiga pengaman. Dia sendiri hampir tidak kuat menahan hasrat. "Yang itu tidak boleh."
Gilang menghentikan aksinya dengan kecewa. Rara jadi merasa tidak enak. Dia menghibur dengan kecupan mesra. Mereka be
Gilang keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kimono. Dia menghampiri Rara yang berbaring di tempat tidur dengan tubuh tertutup selimut. Pakaiannya tergeletak di kasur. "Kamu tidak mandi?" tanya Gilang sambil duduk di sisi tempat tidur. "Kimono sudah disiapkan di kamar mandi." "Aku masih terasa sakit," sahut Rara pelan. Pengalaman itu terlalu dahsyat sehingga meninggalkan rasa perih pada organ intimnya. Dia sudah coba untuk berjalan tapi tidak sanggup. "Aku gendong ke kamar mandi ya?" "Tidak perlu. Sebentar lagi rasa sakit itu pasti hilang." "Kalau sudah hilang...." Gilang tidak melanjutkan kata-katanya. Rara menatap penasaran. "Kalau sudah hilang apa?" "Kamu bisa segera mandi." "Kirain...." "Kirain apa?" "Aku tahu ini tidak benar." "Aku sudah lama tidak tah
Persoalan itu membuat pikiran Gilang sangat mumet. Dia hampir setiap hari berhubungan intim dan tidak pernah menimbulkan masalah. Satu jam bersama Rara langsung mendatangkan bencana! Dia curiga dengan pil dari Luki itu. Gilang jadi tidak fokus mengerjakan laporan hasil riset di Kalimantan. Dia butuh relaksasi untuk mengendurkan syaraf. Tarlita baru sempat datang besok pagi. Dia sibuk mengerjakan skripsi. "Itu jadwal kamu sama Dennis," kata Gilang di telepon. "Dia tidak datang besok?" "Dinas ke luar pulau," sahut Tarlita. "Lagian aneh, sakit kepala itu berobat ke dokter, bukan bercinta." "Aku sudah pergi ke dokter, obat hampir habis kepalaku tambah pening." "Kayaknya stres bikin laporan tidak selesai-selesai. Kamu butuh hiburan." "Maka itu kamu segera datang ke apartemenku. Hiburanku cuma kamu." "Pergi clubbing saja. Banyak gadis bispak." "Aku sudah lama tidak ke diskotik. Lagi pula aku tidak pernah bercinta sembarangan.
Gilang memandang gadis yang berdiri di depan pintu apartemen dengan tak percaya. Ada apa Karlina datang ke kota ini? Karlina tersenyum. "Kayak melihat hantu begitu. Memangnya ada hantu secantik aku?" "Banyak berkeliaran di sini." "Hantu yang gemar bercinta pasti." "Masuk." Gilang mempersilakan. Dia menutup pintu kembali setelah Karlina melangkah ke dalam. Matanya memperhatikan gadis yang berjalan ke sofa itu dengan heran. "Ada apa datang ke apartemen? Ada perlu denganku atau sekedar mampir?" Karlina melepas tas daypack dari gendongan dan menaruh di sofa, lalu duduk di atas sandaran sofa sambil melihat-lihat ruangan. "Tempatmu sangat rapi. Ada yang bersih-bersih setiap hari?" "Pagi dan sore." Gilang mengambil minuman botol di kulkas, membuka tutup dengan alat, kemudian berjalan ke sofa dan menyerahkan minuman itu ke Karlina. "Kadang siang juga." "Kamu bersihkan sendiri atau siapa?" tanya Karlina sambil meneguk minuman. "
Ibu kos mulai menaruh curiga. Sejak pulang kampung terakhir kali, Rara sering kedapatan melamun. Jarang kumpul bersama teman-temannya. "Kalau Ibu boleh tahu, ada masalah apa di rumahmu?" selidik ibu kos. "Ibu perhatikan belakangan ini kamu kelihatan bingung sekali." "Biasa masalah keluarga, Bu. Banyak kepala banyak pemikiran. Tidak mencapai titik temu akhirnya." "Ya sudah, kalau masalah perbedaan pendapat dalam keluarga, Ibu tidak bisa membantu. Tapi bukan karena Gilang kan kamu banyak melamun?" "Tentu saja bukan. Masalah itu sudah beres." Rara sudah berbohong ke ibu kos bahwa Sabtu lalu itu pulang kampung. Kalau terus terang pergi ke Bandung, habis diceramahi. Ibu kos mulai kehilangan simpati kepada Gilang sejak kejadian ulang tahun itu. Kemarahan Gilang sulit diterima, kecuali Rara merayakan ulang tahun berdua bersama Bradley. "Kamu jelaskan kalau di ulang tahun itu tidak ada kejadian yang patut dicemburui," kata ibu ko
"Aku takut, Gil," keluh Rara lirih sambil merebahkan kepalanya di dada Gilang. "Sebentar lagi perutku membesar." Mereka sedang duduk berdua di pantai Ancol. Masalah ini tak bisa dibicarakan di pondokan. Teman-temannya menguping bahaya, terutama ibu kos. Gilang membelai rambutnya dengan lembut. "Aku juga takut, Ra. Tapi itu tidak cukup untuk menghadapi semua ini." "Kita tidak mungkin begini terus sampai jabang bayi lahir." "Kamu ingin kita menikah?" Rara diam. Siapapun ingin hidup bersama pria yang dicintainya, pria pilihannya. Tapi kalau sebelum masanya? Mendengar tak ada jawaban, Gilang curiga. Dia mengangkat dagu gadis itu. Ditatapnya lamat-lamat. "Benar apa yang kukatakan, Ra? Kamu ingin kita segera ke penghulu?" "Aku ingin kamu segera lulus," desah Rara getir. Disingkirkannya lengan Gilang dengan halus. "Kamu harus berhasil mencapai cita-citamu." "Kamu juga." "Aku sudah gagal." Cita-cita Rara sudah k
Perumahan itu cocok untuk mengasingkan diri. Lokasinya di pinggiran kota, jauh dari keramaian, sangat sepi. Yang kurang cocok bangunannya. "Sederhana banget," komentar Gilang sambil mengeluarkan barang-barang Rara dari bagasi mobil. Kemudian membawanya memasuki halaman sempit. "Tidak ada tempat kos yang lebih baik?" "Sederhana banget..." gerutu Rara keki. "Makanya sekali-sekali hidup jadi orang biasa. Jangan diam di istana terus. Aku beli rumah ini empat ratus juta." Gilang kaget. "Beli?" "Kebetulan ada yang lelang. Pemiliknya kembali ke kampung." "Uangnya?" "Aku batal membeli mobil." "Kan sudah indent?" "Aku over ke teman." Rara membuka pintu rumah. Mereka masuk. Barang bawaan diletakkan di ruang tamu. Perabotan rumah kosong. Diangkut pemilik sebelumnya. Rumah ini cukup besar untuk ukuran masyarakat biasa. Di dalamnya ada ruang tamu, ruang tengah, tiga kamar tidur, ruang makan, dapur, dan kamar mandi. U
Kartika mengeringkan rambut dengan hair dryer di depan cermin rias. Suaminya tertidur pulas di pembaringan. Tua bangka itu sangat kelelahan habis bertempur karena ingin membuat sang istri menyerah, padahal Kartika hanya pura-pura terpuaskan demi menyenangkan suami sehingga sudi menulis cek sesuai permintaan. Suaminya semakin jarang pulang. Dia mempunyai simpanan di desa lain. Kebiasaan bejatnya ternyata tidak berhenti sampai kampung ini saja. Dia berkeliling memetik bunga yang baru mekar dan mengimingi dengan kilauan harta. Maka itu setiap kali suaminya pulang Kartika menyusun daftar kebutuhan yang tidak masuk akal dan jadi masuk akal setelah diselesaikan di ranjang. Kartika pergi ke dapur untuk meminta si Mimin menyiapkan makan siang sesuai dengan menu permintaan suaminya. Tua bangka itu semakin hari semakin tidak betah di rumah. Bukan pulang ke rumah istri tua, malah pergi ke istri muda di desa tetangga yang baru sebulan dinikahi. Kartika tak pe
"Stop." Taksi berhenti. Rara terkejut melihat colt pick up bermuatan barang elektronik parkir di jalan depan rumahnya. Gadis itu segera mendatangi Gilang yang duduk di kursi teras bersama dua orang pria berseragam sebuah toko elektronik. Pasti pemuda itu yang membeli kursi teras. Dia tidak pernah memesan. Rara menarik Gilang untuk menjauh dari mereka dan berhenti di sudut halaman. "Jangan hambur-hamburkan uang. Simpananku habis. Lebih baik kamu kumpulkan buat biaya kelahiran bayi." "Aku sudah siapkan biaya untuk itu," sahut Gilang santai. "Kamu tinggal pilih caesar apa normal. Aku ingin kamu caesar biar tak ada perubahan." Rara memandang gemas. "Aku ingin punya anak sebanyak-banyaknya, kamu ingin perutku banyak sayatan?" "Aku tidak butuh perutmu, aku butuh di bawah perutmu," sahut Gilang kurang ajar. "Aku tidak peduli perutmu banyak jahitan." Rara pergi dengan keki. Mereka sudah menunggu di depan pintu. Ambu memperhatikan gerak-gerik a