Gilang memandang gadis yang berdiri di depan pintu apartemen dengan tak percaya. Ada apa Karlina datang ke kota ini?
Karlina tersenyum. "Kayak melihat hantu begitu. Memangnya ada hantu secantik aku?"
"Banyak berkeliaran di sini."
"Hantu yang gemar bercinta pasti."
"Masuk." Gilang mempersilakan. Dia menutup pintu kembali setelah Karlina melangkah ke dalam. Matanya memperhatikan gadis yang berjalan ke sofa itu dengan heran. "Ada apa datang ke apartemen? Ada perlu denganku atau sekedar mampir?"
Karlina melepas tas daypack dari gendongan dan menaruh di sofa, lalu duduk di atas sandaran sofa sambil melihat-lihat ruangan. "Tempatmu sangat rapi. Ada yang bersih-bersih setiap hari?"
"Pagi dan sore." Gilang mengambil minuman botol di kulkas, membuka tutup dengan alat, kemudian berjalan ke sofa dan menyerahkan minuman itu ke Karlina. "Kadang siang juga."
"Kamu bersihkan sendiri atau siapa?" tanya Karlina sambil meneguk minuman.
"
Ibu kos mulai menaruh curiga. Sejak pulang kampung terakhir kali, Rara sering kedapatan melamun. Jarang kumpul bersama teman-temannya. "Kalau Ibu boleh tahu, ada masalah apa di rumahmu?" selidik ibu kos. "Ibu perhatikan belakangan ini kamu kelihatan bingung sekali." "Biasa masalah keluarga, Bu. Banyak kepala banyak pemikiran. Tidak mencapai titik temu akhirnya." "Ya sudah, kalau masalah perbedaan pendapat dalam keluarga, Ibu tidak bisa membantu. Tapi bukan karena Gilang kan kamu banyak melamun?" "Tentu saja bukan. Masalah itu sudah beres." Rara sudah berbohong ke ibu kos bahwa Sabtu lalu itu pulang kampung. Kalau terus terang pergi ke Bandung, habis diceramahi. Ibu kos mulai kehilangan simpati kepada Gilang sejak kejadian ulang tahun itu. Kemarahan Gilang sulit diterima, kecuali Rara merayakan ulang tahun berdua bersama Bradley. "Kamu jelaskan kalau di ulang tahun itu tidak ada kejadian yang patut dicemburui," kata ibu ko
"Aku takut, Gil," keluh Rara lirih sambil merebahkan kepalanya di dada Gilang. "Sebentar lagi perutku membesar." Mereka sedang duduk berdua di pantai Ancol. Masalah ini tak bisa dibicarakan di pondokan. Teman-temannya menguping bahaya, terutama ibu kos. Gilang membelai rambutnya dengan lembut. "Aku juga takut, Ra. Tapi itu tidak cukup untuk menghadapi semua ini." "Kita tidak mungkin begini terus sampai jabang bayi lahir." "Kamu ingin kita menikah?" Rara diam. Siapapun ingin hidup bersama pria yang dicintainya, pria pilihannya. Tapi kalau sebelum masanya? Mendengar tak ada jawaban, Gilang curiga. Dia mengangkat dagu gadis itu. Ditatapnya lamat-lamat. "Benar apa yang kukatakan, Ra? Kamu ingin kita segera ke penghulu?" "Aku ingin kamu segera lulus," desah Rara getir. Disingkirkannya lengan Gilang dengan halus. "Kamu harus berhasil mencapai cita-citamu." "Kamu juga." "Aku sudah gagal." Cita-cita Rara sudah k
Perumahan itu cocok untuk mengasingkan diri. Lokasinya di pinggiran kota, jauh dari keramaian, sangat sepi. Yang kurang cocok bangunannya. "Sederhana banget," komentar Gilang sambil mengeluarkan barang-barang Rara dari bagasi mobil. Kemudian membawanya memasuki halaman sempit. "Tidak ada tempat kos yang lebih baik?" "Sederhana banget..." gerutu Rara keki. "Makanya sekali-sekali hidup jadi orang biasa. Jangan diam di istana terus. Aku beli rumah ini empat ratus juta." Gilang kaget. "Beli?" "Kebetulan ada yang lelang. Pemiliknya kembali ke kampung." "Uangnya?" "Aku batal membeli mobil." "Kan sudah indent?" "Aku over ke teman." Rara membuka pintu rumah. Mereka masuk. Barang bawaan diletakkan di ruang tamu. Perabotan rumah kosong. Diangkut pemilik sebelumnya. Rumah ini cukup besar untuk ukuran masyarakat biasa. Di dalamnya ada ruang tamu, ruang tengah, tiga kamar tidur, ruang makan, dapur, dan kamar mandi. U
Kartika mengeringkan rambut dengan hair dryer di depan cermin rias. Suaminya tertidur pulas di pembaringan. Tua bangka itu sangat kelelahan habis bertempur karena ingin membuat sang istri menyerah, padahal Kartika hanya pura-pura terpuaskan demi menyenangkan suami sehingga sudi menulis cek sesuai permintaan. Suaminya semakin jarang pulang. Dia mempunyai simpanan di desa lain. Kebiasaan bejatnya ternyata tidak berhenti sampai kampung ini saja. Dia berkeliling memetik bunga yang baru mekar dan mengimingi dengan kilauan harta. Maka itu setiap kali suaminya pulang Kartika menyusun daftar kebutuhan yang tidak masuk akal dan jadi masuk akal setelah diselesaikan di ranjang. Kartika pergi ke dapur untuk meminta si Mimin menyiapkan makan siang sesuai dengan menu permintaan suaminya. Tua bangka itu semakin hari semakin tidak betah di rumah. Bukan pulang ke rumah istri tua, malah pergi ke istri muda di desa tetangga yang baru sebulan dinikahi. Kartika tak pe
"Stop." Taksi berhenti. Rara terkejut melihat colt pick up bermuatan barang elektronik parkir di jalan depan rumahnya. Gadis itu segera mendatangi Gilang yang duduk di kursi teras bersama dua orang pria berseragam sebuah toko elektronik. Pasti pemuda itu yang membeli kursi teras. Dia tidak pernah memesan. Rara menarik Gilang untuk menjauh dari mereka dan berhenti di sudut halaman. "Jangan hambur-hamburkan uang. Simpananku habis. Lebih baik kamu kumpulkan buat biaya kelahiran bayi." "Aku sudah siapkan biaya untuk itu," sahut Gilang santai. "Kamu tinggal pilih caesar apa normal. Aku ingin kamu caesar biar tak ada perubahan." Rara memandang gemas. "Aku ingin punya anak sebanyak-banyaknya, kamu ingin perutku banyak sayatan?" "Aku tidak butuh perutmu, aku butuh di bawah perutmu," sahut Gilang kurang ajar. "Aku tidak peduli perutmu banyak jahitan." Rara pergi dengan keki. Mereka sudah menunggu di depan pintu. Ambu memperhatikan gerak-gerik a
Siang itu mereka berangkat ke rumah Dennis, adik ipar Ambu. Kunjungan itu dilakukan lebih awal karena Gilang dihubungi ibunya agar segera pulang untuk menghadiri resepsi pernikahan keponakan ayahnya. Dennis adalah pegawai negeri sipil di tingkat kota madya. Di usia yang relatif muda, dia sudah menduduki jabatan yang lumayan penting. Pembawaannya kalem, cenderung pendiam, penurut kepada istri, tapi tidak bisa dikatakan suami takut istri. Istri Dennis sedang membawa anaknya jalan-jalan ke mall saat mereka tiba di rumahnya. Hari Sabtu adalah jadwal rutin untuk wanita keturunan ningrat itu mengasuh anaknya mandi bola atau wahana lain yang sesuai dengan usianya, sekalian perawatan kecantikan di salon langganan. Ambu jadi leluasa untuk menyampaikan maksud kedatangannya, bercerita secara terus terang tentang semua peristiwa yang terjadi. Dia bertamu bersama Rara, sementara Gilang menunggu di mobil. Urusan sudah beres baru diperkenalkan. Dia takut Dennis mencak-menca
Mobil Gilang meluncur kencang melewati jalan perkebunan yang sepi. Mereka dalam perjalanan untuk menghadiri resepsi pernikahan sepupunya. "Tumben tidak berhenti," kata Karlina. "Sudah dapat dari Tarlita?" "Aku tidak bertemu dengan Tarlita minggu ini." "Jadi ada yang baru?" Karlina tahu Gilang tidak mungkin meminta kepada Rara untuk memenuhi kebutuhan batin. Dia hanya ingin menyentuh gadis itu pada malam pertama. Dia tidak mau mengotori kesucian cintanya. Perlakuan itu kadang membuat hatinya iri. Karlina hanya jadi budak nafsu. Gilang beraksi dengan liar setiap kali mereka bercumbu, tanpa ada bumbu cinta sebagai penyedap. Dia sekali-sekali ingin diperlakukan dengan lembut, melakukan hubungan intim atas nama cinta. Harapan Karlina tentu sulit terwujud. Sebuah kenyataan yang unik sebenarnya. Bagaimana seorang laki-laki brengsek seperti Gilang hanya memiliki satu cinta, dan cinta itu cuma untuk istrinya kelak, Rara! "Kita mau mengh
Kantor Urusan Agama sepi ketika mereka tiba di sana. Tidak ada tamu antri mengurus keperluan. Barangkali masih pagi. Hanya ada beberapa karyawan sibuk bekerja. Di depan pegawai yang berwenang, Gilang menceritakan kisah mereka dengan jujur sehingga terjadi pernikahan diam-diam. Dia tak mau berdusta untuk sebuah mahligai yang mulia. Petugas KUA terkejut sekaligus prihatin. Demikian mudahnya mereka terbujuk rayuan sesat, padahal orang terpelajar. Dia terpaksa meluluskan permohonan mereka daripada terjebak dosa yang lebih besar. Hidup serumah tanpa ikatan. "Pernikahan kalian tidak sempurna," kata petugas KUA selesai melangsungkan akad nikah. "Tapi berusahalah menjadi pasangan suami istri yang sempurna. Berserah diri kepada Allah sebelum Dia mengunci pintu taubat buat kalian." Air mata Rara jatuh menitik. Dia tidak tahu entah air mata bahagia atau sedih. Dia pernah berangan-angan ingin melangsungkan perkawinan dengan sebuah pesta besar. Dihadiri bany