Kantor Urusan Agama sepi ketika mereka tiba di sana. Tidak ada tamu antri mengurus keperluan. Barangkali masih pagi. Hanya ada beberapa karyawan sibuk bekerja.
Di depan pegawai yang berwenang, Gilang menceritakan kisah mereka dengan jujur sehingga terjadi pernikahan diam-diam. Dia tak mau berdusta untuk sebuah mahligai yang mulia.
Petugas KUA terkejut sekaligus prihatin. Demikian mudahnya mereka terbujuk rayuan sesat, padahal orang terpelajar. Dia terpaksa meluluskan permohonan mereka daripada terjebak dosa yang lebih besar. Hidup serumah tanpa ikatan.
"Pernikahan kalian tidak sempurna," kata petugas KUA selesai melangsungkan akad nikah. "Tapi berusahalah menjadi pasangan suami istri yang sempurna. Berserah diri kepada Allah sebelum Dia mengunci pintu taubat buat kalian."
Air mata Rara jatuh menitik. Dia tidak tahu entah air mata bahagia atau sedih. Dia pernah berangan-angan ingin melangsungkan perkawinan dengan sebuah pesta besar. Dihadiri bany
Mimin segera turun dari mobil untuk membuka pintu garasi. Ambu dan Nita langsung masuk rumah. Rara tidak berani turun karena memakai baju pengantin. Dia duduk di belakang supaya tidak menarik perhatian tetangga. Tetangga tahunya mereka sudah menikah. Rara baru turun setelah mobil masuk dan pintu garasi tertutup. Dia membuka pintu garasi yang menghubungkan ke ruang tamu dan berjalan melintasi ruangan. Dia melihat ibunya duduk istirahat di ruang tengah sambil menonton televisi. Ambu tidak berpakaian adat seperti dirinya. Jadi tidak perlu ganti baju untuk bersantai. Nita keluar dari dalam kamar dengan berpakaian seragam SMA dan menggendong tas daypack. Dia hendak berangkat ke sekolah. "Kamu masuk?" tanya Gilang. "Aku masuk setengah hari. Acara kakak kebetulan cepat selesai. Jadi bisa berangkat lebih awal." "Pakai mobilku biar lekas sampai ke sekolah." "Dia biasa naik becak," sahut Rara. "Belum punya SIM juga." Gilang berkata
Gilang langsung pulang selesai mengikuti ujian. Mata kuliah siang ini cuma satu. Dia biasanya mampir di taman untuk bertemu dengan Luki. Teman bertualangnya itu tidak ada jam kuliah hari ini. Lagi pula, Gilang sudah tak ada kepentingan dengannya. Dia tidak butuh obat untuk memuluskan petualangan. Dia sudah berhenti. Luki sedang duduk santai di taman apartemen saat Gilang tiba. Dia kelihatan tak ada beban dalam hidupnya karena setiap masalah diselesaikan secara kontroversial. Gilang parkir motor sport di jalan pelataran taman. Dia letakkan helm di stang dan menghampiri temannya. "Tumben naik motor," komentar Luki saat Gilang duduk di sebelahnya. "Katanya takut masuk angin." Gilang selama ini jarang sekali naik motor. Dia tidak suka pamer kemesraan membonceng pacar di depan umum. Dia melakukan sesuatu bukan untuk cari perhatian atau mendapat pujian, tapi untuk kenikmatan. Gilang hampir tidak pernah jalan bergandengan tangan dengan pacar. M
Menghindar. Gilang merasa tidak bisa mengatasi masalah secara pengecut. Dia harus berani menghadapi dan membereskan masalah satu per satu dengan segera. Membiarkan masalah menguap begitu saja hanya membuat kepalanya semakin mumet. Tante Friska adalah kerikil kecil yang mesti disingkirkan. Dia akan membicarakan secara baik-baik bahwa menjadi sugar baby bukan pilihan hidupnya. Dia hanyalah seorang lelaki yang mencari kesenangan di masa muda, dan waktunya sudah tiba untuk mengakhiri kegilaan itu. Tarlita harusnya tidak menjadi masalah. Hubungan mereka hanya sebatas kebutuhan batin. Dia dapat menjelaskan secara gampang kalau dirinya sudah mengalami kejenuhan. Masalah menjadi sulit karena Tarlita adalah selingkuhan Dennis, om istrinya. Dia ada kemungkinan terseret karena membiarkan hal itu terjadi. Istri Dennis pasti menyalahkan dirinya, sementara Tarlita sudah kehilangan segalanya. Karlina menjalani hubungan rumit dengannya. Masalah kelihatan seder
Umi memarahi anaknya. "Kamu ke mana saja sepanjang siang? Umi hubungi tidak diangkat. Umi ngebel berarti ada urusan penting!" Gilang baru tiba di rumah. Dia sengaja pulang malam ini karena malam Minggu ingin tinggal di Jakarta. Dia sudah jenuh dengan situasi ini. Rara sudah menjadi istrinya. Dia ingin menghabiskan waktu bersama. Jadi tidak ada waktu untuk mengantar dan menunggu Karlina menemui pacarnya. "Aku ada ujian," kata Gilang. "Handphone ketinggalan karena aku buru-buru." Ibunya menatap tajam. "Kamu tidak sedang membohongi Umi?" "Handphone aku benar-benar ketinggalan. Lagi pula, aku tidak bisa menerima panggilan Umi kalau lagi ujian. Aku sudah katakan itu berulang-ulang. Ada apa memangnya?" "Ada kepentingan apa Kartika minta nomor kamu?" Gilang merasa ada kesempatan untuk berterus terang. Dia mulai menimbang risiko yang diterima dan mengurungkan niat saat memandang ibunya. Mata itu terlalu menusuk untuk mendengar sebuah pengakuan
Rumah Surya sepi ketika Gilang tiba di halaman. Belum terlihat ada kesibukan persiapan resepsi pernikahan. Surya mondar-mandir di beranda rumah seperti orang bingung. Dia sampai tidak melihat kedatangan mobil mewah itu. Surya baru sadar ada tamu saat Gilang dan Karlina menaiki beranda. Dia menyambut dengan wajah ceria dan terkesan agak dipaksakan. "Duduk," kata Surya. "Aku bikin minuman ya." "Tidak usah," sahut Gilang sambil duduk di kursi teras. Karlina duduk di sampingnya. "Aku tidak lama. Dua hari lagi resepsi kelihatan masih sepi ya. Belum ada persiapan apa-apa." "Resepsinya di rumah calon istri. Aku paling besok pasang tenda buat mengumpulkan kerabat dan sahabat." "Aku lihat kamu tadi mondar-mandir kayak orang bingung," komentar Gilang. "Ada apa?" Surya tertawa kecil. "Namanya orang mau kawin bingung itu biasa, Gil. Banyak hal yang di luar dugaan terjadi." "Apa itu?" Surya memandang Karlina seakan ragu untu
Kepergian mereka mengundang pertanyaan Sastro, suami Kartika, "Kamu usir mereka atau bagaimana?" "Masa aku mengusir keluargaku sih, Mas?" balik Kartika separuh merajuk. "Mereka ingin tinggal di rumah Rara beberapa hari." Sastro menatap surprise. "Jadi Rara sudah punya rumah?" "Ya. Dia kan fotomodel, sales juga. Kalau rumah begitu-begitu saja, dia mampu beli." "Adikmu tidak pantas tinggal di rumah begitu-begitu saja. Perempuan secantik dia berhak tinggal di istana." "Jangan macam-macam." "Kok macam-macam?" "Mas memuji adikku apa maksudnya?" "Apa salah aku memujinya?" Kartika tersenyum sinis. Dia tahu kualitas suaminya. Lelaki bajingan itu sering curi kesempatan untuk mendekati Rara dan Nita. Bukan bentuk perhatian seorang kakak ipar, tapi mencari waktu yang tepat untuk memangsa mereka. Maka itu Kartika selalu meminta Nita untuk mengunci pintu jika hendak tidur atau ganti baju. Sementara Rara kebanya
Manajer HRD seorang pria separuh baya beristri satu dan memiliki anak empat. Dia memperkenalkan diri dengan singkat. Gilang duduk mendengarkan. Bimo sangat berpengaruh di kantor ini sehingga segala sesuatu menjadi sangat mudah. Seharusnya dia yang mempresentasikan diri. "Anda bebas masuk kapan saja kalau tidak ada jam kuliah," kata manajer HRD. "Prinsipnya anda bertanggung jawab terhadap laporan mingguan untuk CEO, di kantor ini kami menyebut Ibu. Jadi setiap Senin pagi laporan distribusi dan eksplorasi di daerah sudah harus siap dalam bentuk hard copy dan soft copy. Untuk lebih jelasnya anda bisa pelajari job desc, file-nya ada di sekretaris CEO. Ada yang ingin ditanyakan?" "Tidak ada." "Silakan anda naik ke lantai lima kalau tidak ada pertanyaan. Ibu sudah menunggu." "Baik. Permisi." Gilang keluar dari ruangan HRD. Pegawai wanita sepanjang ruangan yang dilewati menganggukkan kepala, kemudian berbisik-bisik dengan temannya. Gila
Kartika berjalan mondar-mandir di dalam kamar sambil menunggu sambungan dari Gilang dengan sabar. "Ada apa?" Terdengar suara Gilang yang tenang di speaker handphone. "Kamu itu ke mana saja sih, Gil?" tanya Kartika. "Dihubungi dari siang tidak diangkat." "Handphone di-silent karena aku lagi kerja," jawab Gilang. "Kerja? Kamu sudah kerja?" "Magang. Persiapan masuk dunia kerja." "Oh, kirain kerja full time. Kamu kan belum lulus." "Kayak penting sekali menghubungi aku." "Aku baru pulang dari Bandung, kamu tidak ada. Kata mereka minggu-minggu ini kamu jarang tidur di apartemen. Kamu ada di mana?" "Perlu tahu aku tidur di mana?" "Tidak perlu," sahut Kartika segera. "Aku ingin minta alamat Rara. Kamu punya?" "Kakaknya masa tidak punya alamatnya?" "Ceritanya panjang. Aku minta dikirim kalau kamu punya." "Aku ingin tahu sepanjang apa ceritamu." "Itu urusan keluargaku. K