Manajer HRD seorang pria separuh baya beristri satu dan memiliki anak empat. Dia memperkenalkan diri dengan singkat. Gilang duduk mendengarkan. Bimo sangat berpengaruh di kantor ini sehingga segala sesuatu menjadi sangat mudah. Seharusnya dia yang mempresentasikan diri.
"Anda bebas masuk kapan saja kalau tidak ada jam kuliah," kata manajer HRD. "Prinsipnya anda bertanggung jawab terhadap laporan mingguan untuk CEO, di kantor ini kami menyebut Ibu. Jadi setiap Senin pagi laporan distribusi dan eksplorasi di daerah sudah harus siap dalam bentuk hard copy dan soft copy. Untuk lebih jelasnya anda bisa pelajari job desc, file-nya ada di sekretaris CEO. Ada yang ingin ditanyakan?"
"Tidak ada."
"Silakan anda naik ke lantai lima kalau tidak ada pertanyaan. Ibu sudah menunggu."
"Baik. Permisi."
Gilang keluar dari ruangan HRD. Pegawai wanita sepanjang ruangan yang dilewati menganggukkan kepala, kemudian berbisik-bisik dengan temannya.
Gila
Kartika berjalan mondar-mandir di dalam kamar sambil menunggu sambungan dari Gilang dengan sabar. "Ada apa?" Terdengar suara Gilang yang tenang di speaker handphone. "Kamu itu ke mana saja sih, Gil?" tanya Kartika. "Dihubungi dari siang tidak diangkat." "Handphone di-silent karena aku lagi kerja," jawab Gilang. "Kerja? Kamu sudah kerja?" "Magang. Persiapan masuk dunia kerja." "Oh, kirain kerja full time. Kamu kan belum lulus." "Kayak penting sekali menghubungi aku." "Aku baru pulang dari Bandung, kamu tidak ada. Kata mereka minggu-minggu ini kamu jarang tidur di apartemen. Kamu ada di mana?" "Perlu tahu aku tidur di mana?" "Tidak perlu," sahut Kartika segera. "Aku ingin minta alamat Rara. Kamu punya?" "Kakaknya masa tidak punya alamatnya?" "Ceritanya panjang. Aku minta dikirim kalau kamu punya." "Aku ingin tahu sepanjang apa ceritamu." "Itu urusan keluargaku. K
"Sudah kamu blokir saja nomornya," kata Rara. "Dia akan terus mengganggumu sampai mendapatkan alamat rumah ini." "Aku tidak pernah memblokir nomor perempuan," sahut Gilang sambil duduk bersandar di tempat tidur. "Berarti aku menghindari mereka dan itu bukan kebiasaanku." Masalah Tante Friska dan Tarlita sudah selesai. Mereka dapat memahami alasan Gilang dan semakin memahami saat Rara dengan sabar memberi pencerahan agar tidak membebani suaminya. Mereka ingin hidup tenang. Persoalan Karlina masih menggantung. Gadis itu bisa saja nekat memberi tahu orang tua Gilang tentang pernikahan diam-diam ini, sekalipun taruhannya kehidupan dia sendiri hancur. Hari ini muncul masalah baru. Kartika tidak berhenti mengebel meskipun tak dihiraukan. Akhirnya Gilang kasihan. Maksud perempuan itu sebenarnya baik, hanya cara berpikirnya tidak dapat diterima oleh logika umum. "Aku minta singsingkan dulu keangkuhanmu itu," kata Rara. "Istrimu ada masalah denga
Ting tong. Gilang yang sedang berdandan di depan cermin terdiam heran. Tamu dari mana datang pagi-pagi begini? Tidak mungkin penghuni apartemen. Mereka tidak pernah menggunakan bel, langsung masuk begitu saja tanpa permisi. Jadi bel satu-satunya alat yang paling awet di apartemen ini. Ting tong. Gilang segera menyelesaikan dandannya. Tamu itu tidak sabar sekali. Membuka pintu butuh waktu sekurangnya untuk berjalan. Bagaimana kalau tuan rumah lagi membersihkan badan? Memangnya di rumah petak bisa teriak dari dalam kamar mandi? Ting tong. Gilang bergegas keluar dari kamar sambil membawa tas kuliah. Hari ini dia ada kuliah pagi. Ada pergeseran jadwal dari guru besar karena siang beliau pergi ke Semarang untuk menjadi narasumber. Gilang ingin mengajari tata krama kepada tamu ini. Mendingan langsung masuk dan duduk menungggu di sofa daripada mengganggu kenyamanan. Penting sekali kelihatannya tamu ini. Gilang membuka pint
Rara tidak senang ketika Gilang sering bolak-balik ke Jakarta. Kadang mandi saja tidak sempat. Begitu datang langsung tidur karena kelelahan. Energi terkuras untuk kuliah dan kerja. Dia bisa masuk kantor kapan saja. Bahkan sering siang kuliah malam kerja. Jadwal kerja Sabtu Minggu jadi kacau. "Jangan sering-sering pulang," tegur Rara ketika suaminya berangkat pagi hari dan siangnya sudah muncul lagi. "Nanti kuliahmu terganggu." Gilang mengambil minuman dingin di kulkas dan duduk di sofa. "Aku masuk kantor sore ini." "Cukup Sabtu Minggu saja kerja." Rara mulai menggelar meja setrika. Dia membantu pekerjaan Mimin yang pergi ke pasar bersama Ambu. Mereka belanja kebutuhan dapur. Kasihan Mimin. Gaji tidak seberapa pekerjaan begitu banyak. "Hari-hari biasa untuk keperluan kuliah." "Penghasilan sedikit. Aku ingin cari tambahan." Rara menoleh sekilas. "Kamu ingin penghasilan banyak buat apa? Semua kebutuhanmu sudah tercukupi oleh orang tua."
Sastro menggerutu, "Setiap kali dipakai kamu basah! Ngaku saja! Bekas siapa itu?" Kartika menatap dengan sengit. "Kamu menuduhku selingkuh? Gara-gara lama tidak dipakai, maka kena sentuh sedikit saja langsung banjir!" Sastro jadi terpancing emosinya. "Kamu belakangan ini sering sekali basah! Apa habis dipakai Abah? Soalnya aku dengar ayahmu tidak pernah lagi jajan!" Kartika memandang muak. "Kamu mau pakai tidak? Aku pakai baju kalau tidak!" "Aku hilang gairah!" "Ya sudah!" Kartika bangkit dari tempat tidur dan mengambil pakaian yang tergeletak di lantai. "Kalau sudah kenyang sama istri ketiga bilang saja! Jangan ngomong macam-macam! Kalau pengen kering, aku jemur dulu!" "Kamu mau ke mana?" tanya Sastro melihat Kartika berpakaian. "Berjemur!" sahut Kartika dongkol. "Aku tersinggung kamu sebut basah! Memangnya donat kena hujan basah?" Sastro meredakan amarahnya. "Bukan begitu, biasanya kalau basah bekas dipakai."
Makin tua kandungan Rara makin gelisah Gilang. Makin tidak betah tinggal di Bandung. Dan makin sering Rara menasehati. "Kuliahmu terbengkalai nanti," kata Rara. "Jangan sampai kamu kehilangan cita-citamu." Rara begitu ingin Gilang jadi sarjana karena itu adalah cita-cita suaminya sejak kecil. Cita-cita itu kini memudar seiring membesarnya perut Rara. "Aku tidak tahu apa cita-cita itu masih ingin kucapai," keluh Gilang hambar. "Situasi ini membuat aku kehilangan jalan terbaik." "Kamu sudah kehilangan motivasi kalau begitu," tegur Rara lembut. "Jangan sampai aku menyesal telah mengandung anakmu. Aku tidak ingin kamu gagal karena mimpi suamiku adalah mimpiku." Rara mendukung penuh Gilang jadi sarjana, karena di situlah letak masa depan mereka, sekaligus penawar kemurkaan orang tuanya, barangkali. Rara sampai mengorbankan kehidupan sendiri demi tercapainya harapan itu. Dia tidak menuntut suaminya untuk tinggal di rumah mewah, tidak pula me
Kesempatan itu muncul ketika ayahnya memanggil pulang. Dia tidak biasanya mengumpulkan semua anggota keluarga. Pasti ada masalah penting yang hendak disampaikan. Kehadiran Karlina dan orang tuanya membuat Gilang sedikit tegang. Dia sudah memutuskan untuk mengakui terus terang seandainya gadis itu membocorkan tentang perkawinan rahasianya. Dia tidak akan membongkar aib Karlina dengan video syur itu. Dia merasa cukup namanya yang hancur. Dia tidak ingin banyak nama bertumbangan yang akhirnya menimbulkan dendam kesumat. Jadi semakin sulit hidupnya. Gilang duduk dengan tenang. Mereka tinggal menunggu kehadirannya. Melihat wajah orang tuanya yang demikian jernih, sepertinya bukan untuk membicarakan masalah itu. Mereka belum tahu aib yang menimpa rumah ini. "Abi dan Umi mau pergi ke Tanah Suci," kata ayahnya. "Kloter pertama." Gilang diam sejenak. Tanah Suci? Tempat orang mengagungkan ibadah itu? Melepaskan segala jati diri untuk bersatu memuja Illahi
Detik-detik menjelang keberangkatan orang tuanya ke Tanah Suci adalah saat-saat yang paling membingungkan buat Gilang. Dia berada di antara dua pilihan yang sama sulitnya. Dan dua-duanya bukan jalan keluar yang terbaik. "Abi lihat seperti ada yang ingin kamu sampaikan," kata ayahnya sesaat sebelum naik bus jamaah menuju penginapan karantina. "Katakanlah sebelum terlambat." Gilang menggeleng dengan wajah muram. Dia tidak sanggup mengutarakan. Bagaimana dia tega membekali perjalanan suci mereka dengan sebuah kenistaan? "Selamat jalan, Abi." Gilang memeluknya dengan sedih. "Semoga Abi baik-baik saja di Tanah Suci." "Jaga adikmu baik-baik," pesan Umi menahan tangis ketika mendapat kesempatan memeluk anaknya yang terakhir kali. "Jangan bertengkar. Kamu mesti sabar menghadapinya." Sementara Wisnu sudah pergi diam-diam. Dia pengap melihat pemandangan di sekeliling. Air mata bercucuran di mana-mana seolah mereka tidak akan bertemu lagi. Mereka pergi h