Ting tong.
Gilang yang sedang berdandan di depan cermin terdiam heran. Tamu dari mana datang pagi-pagi begini? Tidak mungkin penghuni apartemen. Mereka tidak pernah menggunakan bel, langsung masuk begitu saja tanpa permisi. Jadi bel satu-satunya alat yang paling awet di apartemen ini.
Ting tong.
Gilang segera menyelesaikan dandannya. Tamu itu tidak sabar sekali. Membuka pintu butuh waktu sekurangnya untuk berjalan. Bagaimana kalau tuan rumah lagi membersihkan badan? Memangnya di rumah petak bisa teriak dari dalam kamar mandi?
Ting tong.
Gilang bergegas keluar dari kamar sambil membawa tas kuliah. Hari ini dia ada kuliah pagi. Ada pergeseran jadwal dari guru besar karena siang beliau pergi ke Semarang untuk menjadi narasumber.
Gilang ingin mengajari tata krama kepada tamu ini. Mendingan langsung masuk dan duduk menungggu di sofa daripada mengganggu kenyamanan. Penting sekali kelihatannya tamu ini.
Gilang membuka pint
Rara tidak senang ketika Gilang sering bolak-balik ke Jakarta. Kadang mandi saja tidak sempat. Begitu datang langsung tidur karena kelelahan. Energi terkuras untuk kuliah dan kerja. Dia bisa masuk kantor kapan saja. Bahkan sering siang kuliah malam kerja. Jadwal kerja Sabtu Minggu jadi kacau. "Jangan sering-sering pulang," tegur Rara ketika suaminya berangkat pagi hari dan siangnya sudah muncul lagi. "Nanti kuliahmu terganggu." Gilang mengambil minuman dingin di kulkas dan duduk di sofa. "Aku masuk kantor sore ini." "Cukup Sabtu Minggu saja kerja." Rara mulai menggelar meja setrika. Dia membantu pekerjaan Mimin yang pergi ke pasar bersama Ambu. Mereka belanja kebutuhan dapur. Kasihan Mimin. Gaji tidak seberapa pekerjaan begitu banyak. "Hari-hari biasa untuk keperluan kuliah." "Penghasilan sedikit. Aku ingin cari tambahan." Rara menoleh sekilas. "Kamu ingin penghasilan banyak buat apa? Semua kebutuhanmu sudah tercukupi oleh orang tua."
Sastro menggerutu, "Setiap kali dipakai kamu basah! Ngaku saja! Bekas siapa itu?" Kartika menatap dengan sengit. "Kamu menuduhku selingkuh? Gara-gara lama tidak dipakai, maka kena sentuh sedikit saja langsung banjir!" Sastro jadi terpancing emosinya. "Kamu belakangan ini sering sekali basah! Apa habis dipakai Abah? Soalnya aku dengar ayahmu tidak pernah lagi jajan!" Kartika memandang muak. "Kamu mau pakai tidak? Aku pakai baju kalau tidak!" "Aku hilang gairah!" "Ya sudah!" Kartika bangkit dari tempat tidur dan mengambil pakaian yang tergeletak di lantai. "Kalau sudah kenyang sama istri ketiga bilang saja! Jangan ngomong macam-macam! Kalau pengen kering, aku jemur dulu!" "Kamu mau ke mana?" tanya Sastro melihat Kartika berpakaian. "Berjemur!" sahut Kartika dongkol. "Aku tersinggung kamu sebut basah! Memangnya donat kena hujan basah?" Sastro meredakan amarahnya. "Bukan begitu, biasanya kalau basah bekas dipakai."
Makin tua kandungan Rara makin gelisah Gilang. Makin tidak betah tinggal di Bandung. Dan makin sering Rara menasehati. "Kuliahmu terbengkalai nanti," kata Rara. "Jangan sampai kamu kehilangan cita-citamu." Rara begitu ingin Gilang jadi sarjana karena itu adalah cita-cita suaminya sejak kecil. Cita-cita itu kini memudar seiring membesarnya perut Rara. "Aku tidak tahu apa cita-cita itu masih ingin kucapai," keluh Gilang hambar. "Situasi ini membuat aku kehilangan jalan terbaik." "Kamu sudah kehilangan motivasi kalau begitu," tegur Rara lembut. "Jangan sampai aku menyesal telah mengandung anakmu. Aku tidak ingin kamu gagal karena mimpi suamiku adalah mimpiku." Rara mendukung penuh Gilang jadi sarjana, karena di situlah letak masa depan mereka, sekaligus penawar kemurkaan orang tuanya, barangkali. Rara sampai mengorbankan kehidupan sendiri demi tercapainya harapan itu. Dia tidak menuntut suaminya untuk tinggal di rumah mewah, tidak pula me
Kesempatan itu muncul ketika ayahnya memanggil pulang. Dia tidak biasanya mengumpulkan semua anggota keluarga. Pasti ada masalah penting yang hendak disampaikan. Kehadiran Karlina dan orang tuanya membuat Gilang sedikit tegang. Dia sudah memutuskan untuk mengakui terus terang seandainya gadis itu membocorkan tentang perkawinan rahasianya. Dia tidak akan membongkar aib Karlina dengan video syur itu. Dia merasa cukup namanya yang hancur. Dia tidak ingin banyak nama bertumbangan yang akhirnya menimbulkan dendam kesumat. Jadi semakin sulit hidupnya. Gilang duduk dengan tenang. Mereka tinggal menunggu kehadirannya. Melihat wajah orang tuanya yang demikian jernih, sepertinya bukan untuk membicarakan masalah itu. Mereka belum tahu aib yang menimpa rumah ini. "Abi dan Umi mau pergi ke Tanah Suci," kata ayahnya. "Kloter pertama." Gilang diam sejenak. Tanah Suci? Tempat orang mengagungkan ibadah itu? Melepaskan segala jati diri untuk bersatu memuja Illahi
Detik-detik menjelang keberangkatan orang tuanya ke Tanah Suci adalah saat-saat yang paling membingungkan buat Gilang. Dia berada di antara dua pilihan yang sama sulitnya. Dan dua-duanya bukan jalan keluar yang terbaik. "Abi lihat seperti ada yang ingin kamu sampaikan," kata ayahnya sesaat sebelum naik bus jamaah menuju penginapan karantina. "Katakanlah sebelum terlambat." Gilang menggeleng dengan wajah muram. Dia tidak sanggup mengutarakan. Bagaimana dia tega membekali perjalanan suci mereka dengan sebuah kenistaan? "Selamat jalan, Abi." Gilang memeluknya dengan sedih. "Semoga Abi baik-baik saja di Tanah Suci." "Jaga adikmu baik-baik," pesan Umi menahan tangis ketika mendapat kesempatan memeluk anaknya yang terakhir kali. "Jangan bertengkar. Kamu mesti sabar menghadapinya." Sementara Wisnu sudah pergi diam-diam. Dia pengap melihat pemandangan di sekeliling. Air mata bercucuran di mana-mana seolah mereka tidak akan bertemu lagi. Mereka pergi h
Kartika memandang ke luar lewat gorden jendela kamar. Hujan turun sangat deras. Musim kemarau telah berlalu. Gilang sampai hari ini belum memberi tahu di mana alamat adiknya. Dia sedikit tenang karena pemuda itu tidak mungkin membiarkan mereka menderita. "Aku sudah katakan jangan datang ke apartemen kalau kamu belum berubah," kata Gilang dalam pertemuan terakhir mereka. "Kamu masih saja menggangguku." "Aku sudah berubah," sahut Kartika. "Aku sudah menghentikan kegilaan itu. Bagaimana aku membuktikannya padamu?" Entah Kartika bertekad ingin menghentikan hubungan terlarang itu atau Abah tidak pulang-pulang, mereka sudah sebulan lebih tidak berhubungan intim. "Aku ingin tubuhmu," ujar Gilang tiba-tiba. "Kamu adalah ikan Yellowfin yang sungguh menggugah selera untuk disantap." Kartika memandang tak percaya. "Kamu serius?" "Kamu akan mendapatkan alamat adikmu kalau bersedia melayaniku." "Se...ka...rang?" tanya Kartika terbat
Istri muda Abah bernama Surti, kira-kira seusia Nita. Lulus SMP langsung jadi istri muda bandar jeruk, bertahan 2 tahun. Kemudian jadi istri muda pamong desa, dua tahun juga. Nah, paling singkat dengan Abah, dua bulan. Sekalipun cuma dua bulan, sensasinya tidak kalah dengan dua tahun. Jika dilayani, Abah bisa sampai sepuluh kali dalam sehari. Kartika salut pada Ambu yang dapat bertahan puluhan tahun. Hari ini Surti datang dengan diantar ayahnya untuk menggugat cerai. Gadis semuda itu berumah tangga dengan Abah tidak trauma saja bagus. "Kedatangan aku ke sini untuk minta cerai," kata Surti menjelaskan maksudnya. "Aku ingin bertemu Abah." "Sebentar," tukas Kartika tidak mengerti. "Abah sudah dua bulan tidak pulang. Tinggal di rumah yang baru bersamamu. Mengapa tiba-tiba saja kau datang ke rumahku ingin bertemu Abah?" "Malam Abah pergi," sahut Surti. Kartika kaget. "Pergi kenapa?" Surti kelihatan serba salah. Dia menoleh ke ayahny
Rara membuka dasi dan kemeja suaminya. Sebuah pelayanan yang sudah menjadi janjinya sebagai istri. Gilang baru pulang kerja. Istrinya libur hari Sabtu dan Minggu. Dia pasti sibuk kalau suaminya nanti masuk kantor tiap hari. Dia harus pulang lebih awal agar bisa menyambut kedatangan suaminya. Gilang tidak pernah minta untuk mendapat pelayanan seperti pangeran. Dia tidak enak jika Rara sedang mencopot sepatu di beranda kepergok oleh mertuanya. Dia sudah menolak untuk diperlakukan begitu, istrinya malah marah dan menganggapnya menutup pintu untuk berbakti kepada suami. Perlakuan istimewa ini membuat Gilang mempunyai beban tanggung jawab untuk dapat mewujudkan setiap keinginan istrinya. Untung Rara tidak memiliki banyak keinginan. Dia hanya ingin dicintai untuk selamanya. Gilang jadi tidak tahu harus belanja apa setiap kali mereka pergi jalan-jalan ke mall. Gilang sungguh suami yang beruntung. Dia dianugerahi seorang istri yang demikian sempurna dengan sedikit pe