Rara membuka dasi dan kemeja suaminya. Sebuah pelayanan yang sudah menjadi janjinya sebagai istri. Gilang baru pulang kerja. Istrinya libur hari Sabtu dan Minggu. Dia pasti sibuk kalau suaminya nanti masuk kantor tiap hari. Dia harus pulang lebih awal agar bisa menyambut kedatangan suaminya.
Gilang tidak pernah minta untuk mendapat pelayanan seperti pangeran. Dia tidak enak jika Rara sedang mencopot sepatu di beranda kepergok oleh mertuanya. Dia sudah menolak untuk diperlakukan begitu, istrinya malah marah dan menganggapnya menutup pintu untuk berbakti kepada suami.
Perlakuan istimewa ini membuat Gilang mempunyai beban tanggung jawab untuk dapat mewujudkan setiap keinginan istrinya. Untung Rara tidak memiliki banyak keinginan. Dia hanya ingin dicintai untuk selamanya. Gilang jadi tidak tahu harus belanja apa setiap kali mereka pergi jalan-jalan ke mall.
Gilang sungguh suami yang beruntung. Dia dianugerahi seorang istri yang demikian sempurna dengan sedikit pe
Rara ketar-ketir saat Gilang mengajak pulang kampung. Dia ingin suaminya saja mengantar Ambu pulang dan diturunkan di depan rumah. Mata-mata orang tua Gilang bertebaran di setiap sudut kampung untuk memonitor anaknya selama mereka pergi ke Tanah Suci. Dia tidak mau kepulangan mereka menghadirkan petaka baru. "Kita tidak mungkin bisa sembunyi selamanya," kata Gilang sambil menunggu istrinya selesai berdandan. "Hanya soal waktu pernikahan kita bocor ke warga." "Jangan kita yang menentukan menentukan," sanggah Rara. "Biarlah waktu itu sendiri yang menentukan." "Apa yang kamu takuti kalau orang tuaku tahu tentang pernikahan kita?" tanya Gilang. "Kamu takut suamimu jatuh miskin?" "Aku takut suamiku tidak dapat menerima kenyataan. Aku tahu kamu tidak kerasan tinggal di Jakarta, hanya karena cinta kamu rela tidur di kamarku. Sampai kapan itu bertahan?" "Selamanya," sahut Gilang yakin. "Aku sudah ingin belajar hidup seperti orang kebanyakan, kamu sugu
Hujan turun sangat deras ketika mobil Gilang memasuki jalan perkampungan. Suasana sangat sunyi padahal baru jam delapan malam. Gilang melambatkan lari mobil karena jarak pandang terbatas. Dia menjalankan mobil agak ke tengah, menjaga agar ban tidak terpeleset ke tanah dan pasti merepotkan. Jalan ini belum memiliki trotoar. "Ketakutanmu terbukti tidak beralasan," kata Gilang. "Siapa yang tertarik melihat perut buncit di hujan lebat begini? Kodok saja enggan keluar lubang." "Aku tidak takut ketahuan perut buncit," sahut Rara. "Aku takut akibatnya yang menimpa kamu." "Aku sendiri tidak takut akibatnya. Kenapa kamu mesti takut?" Gilang sudah nekat. Dia tidak peduli dengan pandangan warga. Kenal saja tidak. Dia besar di kota. Sejak masuk SMP dia sudah meninggalkan kampung halaman. Dia pulang enam bulan sekali dan itu tidak cukup untuk mengenal perkembangan penduduk kampung. Kepala Gilang mumet karena memikirkan orang tua. Ayahnya tokoh terpandang d
Jantung Rara berdebar kencang. Dia tidak tahu apa maksud Gilang dengan membawa dirinya pulang ke rumah orang tuanya. Dia kuatir suaminya tersinggung dengan kata-kata Kartika sehingga merubah rencana semula. "Aku ingin menginap di rumah kakakku karena sudah lama tidak pulang," kata Rara cemas. "Kau rubah rencana secara mendadak. Aku terus terang tidak paham." "Kamu tidak ingin tidur di kamar paling mewah di kampung ini?" tanya Gilang santai. "Kesempatan yang mungkin datang hanya sekali untuk seumur hidup." "Aku takut, lebih baik kita pulang ke Jakarta." "Apa yang kamu takuti?" "Kamu membawaku ke rumah dengan perut besar begini, bagaimana aku bisa tenang?" Ada satu yang paling ditakuti Rara dengan kedatangan ke rumah orang tua suaminya. Mereka masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan oleh orang rumah dan suaminya tidak menyadari hal itu. Orang tua Gilang mungkin saja sudah mendengar kabar tentang pernikahan diam-diam ini. Ke
Malam yang penuh kebahagiaan. Rara sangat tersanjung mendapat sambutan hangat dari orang rumah. Dia sendiri lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Mereka mengingatkan dengan kejutan yang sangat istimewa. Pesta ulang tahun yang sangat mewah dan mungkin tidak dialaminya lagi. Gilang mengajak istrinya masuk ke dalam kamar selesai menikmati hidangan makan malam. Koki menyiapkan masakan spesial dan semua memuji kelezatannya. Rara duduk di sofa beludru sambil melihat-lihat interior kamar. Sebuah kamar yang sangat besar dan mewah. Lebih besar dari rumah mereka di Jakarta. Perabotan sangat eksklusif dan memiliki nilai seni. Lukisan naturalisme ghotic yang terpampang di dinding berwarna cerah menambah kesan mewah dan menarik. Suaminya begitu dimanjakan kehidupan. Kemewahan adalah teman sehari-hari. Dia tidak perlu bermimpi karena semua sudah terwujud. Kekayaan semakin berlimpah apabila mewarisi harta opanya. Sebuah keadaan yang membuat Rara sangat khawa
Rara bangun dengan badan pegal-pegal. Dia melihat suaminya tidak ada di tempat tidur. Matanya melirik jam besar berbentuk lemari dengan ukiran unik yang terdapat di sudut ruangan. Pukul delapan. Suaminya tentu sudah berada di tempat kerja. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Rara mengambil handphone di meja kecil. Ada notifikasi chat dari suaminya. Dia buka. "Aku tidak membangunkan kamu karena kelihatan pulas sekali," bunyi chat itu. "Orang rumah hari Minggu biasa breakfast jam 8.00. Kamu pasti bangun telat. Hubungi saja manajer rumah tangga untuk menyiapkan sarapan saat kamu bangun. Nomornya ada di telepon rumah." Rara mengirim chat memberi kabar. "Aku bangun jam delapan tepat. Aku mesti pergi ke rumah Kartika karena tidak membawa baju salinan." Kemudian muncul chat balasan. "Wisnu sudah membelikan beberapa setel pakaian dan seperangkat alat kecantikan sebagai hadiah ulang tahun. Hadiah itu aku simp
Rara melewati hari-hari di rumah suaminya dengan bahagia. Dia merasa jadi ratu di rumah itu. Setiap kata-katanya adalah perintah, tak ada yang berani membangkang, padahal bukan menantu resmi. Dia akan pergi sebelum orang tua suaminya pulang dari Tanah Suci. Siang itu Rara menemukan Pak Kumis sudah mencukur bersih kumisnya. Malam itu dia sebenarnya bercanda tapi didengar serius oleh security separuh baya itu. Dia tidak takut melihat pria berkumis, hanya geli. Itu juga untuk Gilang, bukan untuk orang lain. Dia merasa terganggu apabila mereka berciuman. Rara menghabiskan waktu di dalam rumah. Dia tidak merasa bosan karena rumah ini sangat besar dan terdapat banyak ruangan. Dia kadang jalan santai di taman ditemani Silvana dengan CCTV dikondisikan oleh Wisnu. Anak itu sangat berpengaruh di rumah ini sehingga tidak ada satu pegawai pun yang berani berkhianat. Kemudian Rara tenggelam berjam-jam di perpustakaan melalap habis novel klasik yang menarik perhatiannya. K
Abah sering pergi berhari-hari membawa uang banyak dan muncul di depan pintu dengan wajah berdosa. Malam itu dia pergi tidak membawa apa-apa dari rumah istri muda dan tidak pulang-pulang. Keanehan ini membuat Ambu jadi gelisah. Dia duduk menunggu di ruang tamu setiap malam. Lelaki yang diharapkan tidak muncul dan berdiri di muka pintu setiap kali dia mengintip lewat gorden depan. Suaminya selama ini sudah melakukan perbuatan yang melampaui batas, manakala tidak pulang-pulang, tak urung jadi beban pikiran. "Aku itu heran sama Ambu," kata Kartika. "Harusnya senang Abah tidak pulang-pulang, berarti rumah ini aman dan damai. Tidak ada minuman keras, tidak ada keributan, tidak ada kekerasan, dan tidak ada perbuatan keji yang membuat Ambu meninggalkan rumah ini." "Dia ayahmu." "Aku tidak tahu dia ayahku atau suamiku," sahut Kartika enteng. "Aku malah curiga dia setan gentayangan yang kabur dari neraka." "Kamu menikmati apa yang terjadi," sindir Ambu
Gilang dan Surya mengalami kesulitan mencari teman sekolah Abah. Ambu hanya memberi nama dan kampung dimana mereka tinggal tanpa tahu persis alamat rumahnya. Mereka terpaksa mesti bertanya ke kantor desa setempat, kemudian menelusuri alamat yang tercatat. Beberapa orang sudah pindah alamat. Entah ke mana pindahnya. "Begini pentingnya jadi warga negara yang baik," gerutu Surya kesal. Mereka sudah pusing tujuh keliling mencari alamat, tidak tahunya sudah pindah. "Atau teman Abah kriminal semua, jadi pindah rumah tidak lapor." Kebanyakan warga kampung tidak peduli untuk melaporkan data faktual ke kantor desa. Mereka baru mengurus domisili kalau ada keperluan. Data yang akurat sangat penting sehingga memudahkan pelayanan bila ada tamu butuh informasi. Mereka jadi kehilangan rejeki hari ini karena kelalaian sendiri. Gilang memberikan amplop kepada teman Abah yang dijumpai sekalipun tidak memberi informasi yang menggembirakan.