Esok paginya Gilang tidak muncul. Keesokan harinya pun menghilang entah ke mana. Percuma Rara menunggu sepanjang siang, pemuda itu tak datang-datang tanpa alasan yang jelas. Dia jadi uring-uringan dan majalah yang dibacanya kena sasaran.
"Beraninya banting majalah," ledek Kartika sambil menonton acara televisi. "Banting saja cintamu."
"Aku kesal sama penculik mahasiswi itu! Bukan koruptor saja diculik! Cuci otaknya! Biar bersih!"
"Pura-pura! Kangen ya? Salah sendiri. Pulang dari Bali bukan bongkar hati, malah bongkar muatan."
"Ngomong apaan sih?" Rara pura-pura mengambil majalah yang dibanting dan membacanya lagi.
"Kayak baru pertama kali ke Bali saja. Heboh banget."
"Biarin."
"Gak kuat nahan rasa kangen ya? Mulut jadi dar der dor kayak petasan Lebaran?"
"Sotoy."
"Bagus orangnya sabar. Kalau aku, sudah dibakar rumah ini."
"Bakar saja! Rumah Kak Tika ini!"
"Kalau tidak mau kehilangan dia, sekarang gantian kamu bolak-balik ke rumahnya."
"Memangnya selama aku pergi ke Bali Gilang sering datang ke mari?" Akhirnya Rara terpancing juga, menoleh ke arah kakaknya.
"Siapa lagi yang ngomongin Gilang."
"Sebel deh."
"Itu tukang kebun tetangga."
"Jangan meledek."
"Jadi benar kangen sama Gilang?"
"Cerewet."
"Habis kamu kayak anak kecil. Lain kali, kalau bepergian, pamit dulu, sayang-sayangan dulu. Kasihan dia."
Jadi itu sebabnya, pikir Rara muram. Dia marah padaku. Kenapa? Karena aku pura-pura tidak rindu padanya? Pura-pura tidak melihat senandung merdu di matanya?
Gilang kecewa tidak memperoleh sambutan yang diharapkan, padahal sudah sepuluh hari menunggu pulang. Tapi Rara malah menyuguhi dengan cerita-cerita yang membosankan. Cerita-cerita yang sebenarnya tak pernah terjadi!
Di Bali, dia lebih suka merenung seorang diri daripada ikut berenang di pantai. Dia lebih senang menghabiskan malam-malamnya di kamar hotel daripada clubbing bersama teman-temannya. Dan dia tahu apa sebabnya. Dia tahu mengapa begitu malas mengisi hari-harinya di sana. Karena rindu pada Gilang!
Rara masih ingat kejadian di tepi telaga itu. Nikmatnya kecupan Gilang sampai terbawa ke pulau dewata. Cuma sekilas memang. Bukan pertama kali pula. Tapi baru pertama kali ada debaran indah di jantungnya saat seorang laki-laki menyentuh bibirnya! Dan dia sakit hati ketika tahu Gilang melakukannya tanpa cinta! Pemuda itu mencium bibir perempuan seperti mencium bau parfumnya!
Sekarang aku mesti bagaimana, keluh Rara bingung. Dia tak biasa mengejar laki-laki. Pantaskah dawai cintanya berdenting sementara Gilang belum memetiknya?
Tapi kalau berharap Gilang melakukan hal itu, sampai kiamat pun tidak akan terjadi! Pemuda itu terlalu sombong untuk mengakui kalau mereka sudah terjebak dalam pesona masa lalu!
"Sudah dua hari Gilang tidak datang." Abah muncul dari dalam kamar sambil menghisap cerutu. "Ada apa?"
Rara langsung siap-siap untuk pergi dari ruang keluarga, tapi Kartika menahannya. Dia terpaksa duduk lagi.
Abah pulang pagi dan langsung masuk kamar. Jam segini baru keluar pasti habis bercinta. Kartika kasihan pada Ambu. Dia jadi korban kekerasan seksual. Ayahnya semakin brutal kalau keinginannya tidak terpenuhi.
"Kesempatan emas datangnya cuma satu kali," kata Abah tenang. "Jika tak pandai memanfaatkan, kamu akan menyesal seumur hidup."
"Kayak Abah?" sindir Rara pedas. "Peluang sekecil apapun jadi kesempatan emas kalau dimanfaatkan baik-baik."
"Maka itu kamu tak boleh melakukan kesalahan yang sama."
Tentu saja Rara tidak mau membuang-buang kesempatan seperti ayahnya. Konyol namanya, kalau bukan sebuah kebodohan besar.
Ketika ibunya mendapat warisan sebidang tanah, bukan diurus. Malah dijual karena menginginkan uang yang lebih besar. Pasang kupon gelap. Setiap makam keramat didatangi untuk memperoleh angka jitu. Dan angka itu benar-benar jitu memperdaya dirinya! Sampai sekarang masih nekat pasang dengan modus arisan online!
Dipercaya sebagai mediator tanah, malah berkhianat. Uang panjar tidak sampai ke penjual, ludes dipakai taruhan Liga Champion!
Jadi ketua RW tak bedanya ketua rampok. Dipilih karena uang, jabatan jadi hitung-hitungan dagang. Bagaimana mengembalikan modal dalam waktu singkat dan dapat untung. Rakyat jadi sapi perahan. Sampah masyarakat adalah harga yang pantas untuknya.
"Kamu harus bisa mengambil hatinya," ujar Abah.
"Gilang tidak seperti teman-teman aku yang lain," sanggah Rara.
"Kelemahan laki-laki ada di wanita. Dan kamu punya kemampuan untuk membuktikan."
"Cinta tak bisa dipaksa."
"Cinta? Apa itu cinta? Apa kakakmu menikah karena cinta? Apa artinya cinta yang berkobar-kobar kalau kehidupannya padam? Tapi Abah percaya Gilang memiliki keduanya."
"Abah," geram Rara menahan marah. "Berhentilah memperburuk citra keluarga kita. Perlakukan kami sebagai anak-anak Abah, bukan barang dagangan!"
"Jangan dengarkan omongan tetangga," dengus Abah tidak senang. "Kalau kita sengsara, mereka juga tidak mendengarkan keluhan kita."
"Aku tidak mendengarkan omongan tetangga, aku melihat tingkah laku Abah yang membuat keluarga kita tidak ada harga di masyarakat."
"Itu artinya kamu melihat tetangga, mendengar gunjingan mereka yang so suci."
"Mereka bukan so suci, Abah yang kotor!"
"Jadi membela tetangga kamu? Jangan mentang-mentang sudah bisa cari duit sendiri kamu berani melawan aku."
"Kalau tidak mau mendengar omongan orang, mendingan Abah tinggal di hutan!"
Rara bangkit dengan jengkel. Percuma bersitegang dengan ayahnya. Dia sudah terlanjur lelap dalam mimpinya, dan tak ada satu kekuatan pun yang sanggup membangunkannya.
Kartika mengikuti adiknya menaiki anak tangga menuju ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar.
"Aku sudah tidak tahan lagi." Rara menghempaskan tubuhnya dengan kesal ke kasur. Dia hidupkan televisi dengan remote dan menonton sambil berbaring. "Lama-lama aku bisa gila tinggal di rumah ini."
Kartika menegur dengan lembut. "Pelankan sedikit volumenya. Telingamu bisa rusak."
"Bodo."
"Foto model masa kupingnya rusak?"
"Kalau tuli, aku tidak mendengar kata-kata Abah."
"Kamu juga tidak bisa mendengar kata-kata cinta kalau kupingmu rusak." Kartika tahu kalau adiknya marah tidak bisa dikasari, mesti dibujuk. Lama-lama emosinya reda sendiri. "Abah tidak perlu kamu dengarkan kalau kata-katanya tidak cocok dengan hatimu."
"Semua kata-kata Abah menyebalkan bagiku. Mendingan aku tidak pulang sekalian."
"Kamu ingin membuat Ambu sakit lagi? Kamu tidak kasihan sama Ambu?"
Tentu saja Rara sayang kepada ibunya. Dia tidak pulang seminggu saja Ambu gelisah bukan main. Tapi Abah sudah membuat rumah ini jadi neraka.
"Aku sudah berkorban untuk kalian, jangan sia-siakan pengorbanan aku."
Rara jadi luluh hatinya kalau ingat itu. Kartika rela menjadi istri simpanan bandot tua karena ingin menyelamatkan keluarga yang diambang kehancuran.
"Aku bahagia kamu sudah bisa mandiri," kata Kartika lembut. "Tapi bukan berarti boleh pergi dari rumah ini. Aku ada untuk kalian."
"Lalu Abah ada untuk siapa?"
"Untuk membuat kita semakin dewasa dalam berpikir. Abah setiap hari menciptakan masalah dan kita setiap hari mencari solusi. Pikiran kita jadi matang karenanya."
"Lama-lama jadi gosong," canda Rara.
"Asal jangan cintamu jadi gosong. Aku tahu Gilang adalah lelaki pertama yang ada di hatimu sejak kamu mengenal cinta."
Rara tersenyum lugu. "Aku itu sejak kecil bermimpi jadi istrinya karena ingin hidup seperti keluarga raja-raja."
"Mimpimu ketinggian. Aku pesimis kamu bisa jadi penghuni istana itu. Tapi aku optimis kamu bisa memiliki Gilang."
"Bagaimana ceritanya? Aku bisa memiliki Gilang kalau aku jadi nyonya muda di istana itu."
"Memiliki Gilang bukan berarti kamu jadi nyonya muda."
"Maksud Kak Tika kawin lari?"
"Aku tidak bilang begitu."
"Jangan sering-sering datang ke rumahnya." Suara Umi menghentikan langkah Gilang di pintu keluar. "Nanti ketularan." Gilang memutar tubuh dan memandang ibunya. "Aku mau ke rumah Surya." "Alasan." "Sejak kapan Umi tak percaya sama aku?" "Sejak kamu pacaran dengan begundal itu!" "Aku tidak pacaran." "Terus buat apa kamu datang ke rumahnya kalau tidak pacaran? Main judi sama ayahnya?" Gilang menghela nafas. Ibunya masih saja curiga, padahal kepikiran saja tidak untuk main ke rumah Rara. Kebersamaan mereka putus dengan sendirinya. "Umi cuma mengingatkan. Kalau sampai tergoda rayuannya, itu petaka buat masa depanmu. Bisa-bisa studimu putus di tengah jalan." "Aku sudah belajar baik-baik, dan mencapai hasil yang baik." "Nah, pilihlah gadis baik-baik! Agar masa depanmu baik!" "Kenapa sih Umi jadi peduli sama kuliah aku? Padahal dulu Umi memohon agar aku tidak melanjutkan sekolah. Kasihan Abi tidak ada ya
Umi mulai curiga. Anak sulungnya rajin sekali keluar malam. Minggu-minggu ini memang banyak acara siraman rohani, bulan baik untuk hajatan menurut hitung-hitungan. Tapi bukan berarti boleh pulang seenaknya. Bahkan pernah ayam sudah berkokok baru pulang. Dikasih kebebasan malah kebablasan. Wisnu yang dipercaya untuk memata-matai pun mulai meragukan. Setiap kali ditanya, jawabannya itu-itu saja. "Umi kan tahu si kakak calon mubaligh. Lebih suka dengar ceramah kyai daripada ceramah Umi." "Masa tiap malam?" "Tablighnya tiap malam." "Minggu ini cuma tiga." "Di desa sebelah." "Desa sebelah?" Umi terbelalak kaget. "Kalian pergi sejauh itu?" "Kan bawa mobil." Tapi Umi tetap sangsi. Gilang bisa dimengerti suka pengajian. Anak itu rajin ke mesjid. Tapi Wisnu sejak kapan suka tabligh? Biarpun cuma mengantar? Shalat saja menunggu perintah ayahnya! Dia tak pernah membantah setiap kali disuruh mengawal kakaknya. Kadan
"Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan." Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat." "Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita." "Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?" "Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jang
Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi. Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "
Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu
Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar. "Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi." Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?" "Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape." "Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti." Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?" "Pakai kimono." Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda." Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap. A
Mata Gilang mencari Rara di antara hiruk-pikuk mahasiswa yang pulang kuliah. Dia melihat gadis itu berlari meninggalkan teman-temannya. Dia menyeka peluh yang mengalir di wajahnya dengan tissue. Panas sekali udara hari ini. Jakarta sungguh tidak ramah. Siang ini adalah yang ketiga kalinya Gilang menjemput Rara ke kampusnya. Kebetulan menjelang akhir pekan tak ada kuliah. Dia bisa menunggu dengan tenang tanpa dikejar waktu. Tempat ini aman dari jangkauan mata-mata ibunya. Dia tak perlu khawatir ada yang melaporkan. Hanya kadang tidak aman dari gangguan teman-teman Rara. Tapi itu bukan persoalan. "Sudah lama?" tanya Rara dengan sebaris senyum di bibirnya. "Baru kaki pegal-pegal." "Langsung dari Bandung?" "Kalau pulang dulu, sama saja buronan cari polisi." "Mobilnya mana?" "Service rutin." Rara menatap dengan selidik. "Service rutin apa disita Umi?" "Memangnya ketemu kamu harus bawa mobil ya?" "Yang
Abah membanting vas bunga ke lantai dengan jengkel. Kebiasaan pulang pagi dan kebutuhan batin jadi pemicu pertengkaran itu. "Aku tidak minta banyak darimu," geram Abah. "Aku cuma minta dilayani." "Setiap hari kamu minta dilayani," kata Ambu tak kalah sengitnya. "Jangan samakan aku dengan janda langgananmu yang bisa dipakai kapan kamu butuh." "Tugasmu selaku istri untuk memenuhi kebutuhanku." "Lalu tugasmu selaku suami untuk berjudi dan mabuk-mabukan?" "Kurang ajar!" Abah menampar wajah istrinya dengan marah. "Berani kamu melawan suami!" Ambu memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan berurai air mata. "Sering sekali kamu berbuat kasar pada istrimu. Bodohnya aku selalu memaafkan. Aku cuma minta jangan minggu ini, aku lagi datang bulan. Apa itu sebuah kesalahan besar sehingga kamu pantas berbuat begitu?" Kartika yang sudah terlanjur membuka pintu kamar hanya diam terpaku dengan air mata menggenang. Dia tidak sampai hati mel