Share

04. Dawai Cinta

Esok paginya Gilang tidak muncul. Keesokan harinya pun menghilang entah ke mana. Percuma Rara menunggu sepanjang siang, pemuda itu tak datang-datang tanpa alasan yang jelas. Dia jadi uring-uringan dan majalah yang dibacanya kena sasaran.

"Beraninya banting majalah," ledek Kartika sambil menonton acara televisi. "Banting saja cintamu."

"Aku kesal sama penculik mahasiswi itu! Bukan koruptor saja diculik! Cuci otaknya! Biar bersih!"

"Pura-pura! Kangen ya? Salah sendiri. Pulang dari Bali bukan bongkar hati, malah bongkar muatan."

"Ngomong apaan sih?" Rara pura-pura mengambil majalah yang dibanting dan membacanya lagi.

"Kayak baru pertama kali ke Bali saja. Heboh banget."

"Biarin."

"Gak kuat nahan rasa kangen ya? Mulut jadi dar der dor kayak petasan Lebaran?"

"Sotoy."

"Bagus orangnya sabar. Kalau aku, sudah dibakar rumah ini."

"Bakar saja! Rumah Kak Tika ini!"

"Kalau tidak mau kehilangan dia, sekarang gantian kamu bolak-balik ke rumahnya."

"Memangnya selama aku pergi ke Bali Gilang sering datang ke mari?" Akhirnya Rara terpancing juga, menoleh ke arah kakaknya.

"Siapa lagi yang ngomongin Gilang."

"Sebel deh."

"Itu tukang kebun tetangga."

"Jangan meledek."

"Jadi benar kangen sama Gilang?"

"Cerewet."

"Habis kamu kayak anak kecil. Lain kali, kalau bepergian, pamit dulu, sayang-sayangan dulu. Kasihan dia."

Jadi itu sebabnya, pikir Rara muram. Dia marah padaku. Kenapa? Karena aku pura-pura tidak rindu padanya? Pura-pura tidak melihat senandung merdu di matanya?

Gilang kecewa tidak memperoleh sambutan yang diharapkan, padahal sudah sepuluh hari menunggu pulang. Tapi Rara malah menyuguhi dengan cerita-cerita yang membosankan. Cerita-cerita yang sebenarnya tak pernah terjadi!

Di Bali, dia lebih suka merenung seorang diri daripada ikut berenang di pantai. Dia lebih senang menghabiskan malam-malamnya di kamar hotel daripada clubbing bersama teman-temannya. Dan dia tahu apa sebabnya. Dia tahu mengapa begitu malas mengisi hari-harinya di sana. Karena rindu pada Gilang!

Rara masih ingat kejadian di tepi telaga itu. Nikmatnya kecupan Gilang sampai terbawa ke pulau dewata. Cuma sekilas memang. Bukan pertama kali pula. Tapi baru pertama kali ada debaran indah di jantungnya saat seorang laki-laki menyentuh bibirnya! Dan dia sakit hati ketika tahu Gilang melakukannya tanpa cinta! Pemuda itu mencium bibir perempuan seperti mencium bau parfumnya!

Sekarang aku mesti bagaimana, keluh Rara bingung. Dia tak biasa mengejar laki-laki. Pantaskah dawai cintanya berdenting sementara Gilang belum memetiknya?

Tapi kalau berharap Gilang melakukan hal itu, sampai kiamat pun tidak akan terjadi! Pemuda itu terlalu sombong untuk mengakui kalau mereka sudah terjebak dalam pesona masa lalu!

"Sudah dua hari Gilang tidak datang." Abah muncul dari dalam kamar sambil menghisap cerutu. "Ada apa?"

Rara langsung siap-siap untuk pergi dari ruang keluarga, tapi Kartika menahannya. Dia terpaksa duduk lagi.

Abah pulang pagi dan langsung masuk kamar. Jam segini baru keluar pasti habis bercinta. Kartika kasihan pada Ambu. Dia jadi korban kekerasan seksual. Ayahnya semakin brutal kalau keinginannya tidak terpenuhi.

"Kesempatan emas datangnya cuma satu kali," kata Abah tenang. "Jika tak pandai memanfaatkan, kamu akan menyesal seumur hidup."

"Kayak Abah?" sindir Rara pedas. "Peluang sekecil apapun jadi kesempatan emas kalau dimanfaatkan baik-baik."

"Maka itu kamu tak boleh melakukan kesalahan yang sama."

Tentu saja Rara tidak mau membuang-buang kesempatan seperti ayahnya. Konyol namanya, kalau bukan sebuah kebodohan besar.

Ketika ibunya mendapat warisan sebidang tanah, bukan diurus. Malah dijual karena menginginkan uang yang lebih besar. Pasang kupon gelap. Setiap makam keramat didatangi untuk memperoleh angka jitu. Dan angka itu benar-benar jitu memperdaya dirinya! Sampai sekarang masih nekat pasang dengan modus arisan online!

Dipercaya sebagai mediator tanah, malah berkhianat. Uang panjar tidak sampai ke penjual, ludes dipakai taruhan Liga Champion!

Jadi ketua RW tak bedanya ketua rampok. Dipilih karena uang, jabatan jadi hitung-hitungan dagang. Bagaimana mengembalikan modal dalam waktu singkat dan dapat untung. Rakyat jadi sapi perahan. Sampah masyarakat adalah harga yang pantas untuknya.

"Kamu harus bisa mengambil hatinya," ujar Abah.

"Gilang tidak seperti teman-teman aku yang lain," sanggah Rara.

"Kelemahan laki-laki ada di wanita. Dan kamu punya kemampuan untuk membuktikan."

"Cinta tak bisa dipaksa."

"Cinta? Apa itu cinta? Apa kakakmu menikah karena cinta? Apa artinya cinta yang berkobar-kobar kalau kehidupannya padam? Tapi Abah percaya Gilang memiliki keduanya."

"Abah," geram Rara menahan marah. "Berhentilah memperburuk citra keluarga kita. Perlakukan kami sebagai anak-anak Abah, bukan barang dagangan!"

"Jangan dengarkan omongan tetangga," dengus Abah tidak senang. "Kalau kita sengsara, mereka juga tidak mendengarkan keluhan kita."

"Aku tidak mendengarkan omongan tetangga, aku melihat tingkah laku Abah yang membuat keluarga kita tidak ada harga di masyarakat."

"Itu artinya kamu melihat tetangga, mendengar gunjingan mereka yang so suci."

"Mereka bukan so suci, Abah yang kotor!"

"Jadi membela tetangga kamu? Jangan mentang-mentang sudah bisa cari duit sendiri kamu berani melawan aku."

"Kalau tidak mau mendengar omongan orang, mendingan Abah tinggal di hutan!"

Rara bangkit dengan jengkel. Percuma bersitegang dengan ayahnya. Dia sudah terlanjur lelap dalam mimpinya, dan tak ada satu kekuatan pun yang sanggup membangunkannya. 

Kartika mengikuti adiknya menaiki anak tangga menuju ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar. 

"Aku sudah tidak tahan lagi." Rara menghempaskan tubuhnya dengan kesal ke kasur. Dia hidupkan televisi dengan remote dan menonton sambil berbaring. "Lama-lama aku bisa gila tinggal di rumah ini." 

Kartika menegur dengan lembut. "Pelankan sedikit volumenya. Telingamu bisa rusak."

"Bodo."

"Foto model masa kupingnya rusak?"

"Kalau tuli, aku tidak mendengar kata-kata Abah."

"Kamu juga tidak bisa mendengar kata-kata cinta kalau kupingmu rusak." Kartika tahu kalau adiknya marah tidak bisa dikasari, mesti dibujuk. Lama-lama emosinya reda sendiri. "Abah tidak perlu kamu dengarkan kalau kata-katanya tidak cocok dengan hatimu."

"Semua kata-kata Abah menyebalkan bagiku. Mendingan aku tidak pulang sekalian."

"Kamu ingin membuat Ambu sakit lagi? Kamu tidak kasihan sama Ambu?"

Tentu saja Rara sayang kepada ibunya. Dia tidak pulang seminggu saja Ambu gelisah bukan main. Tapi Abah sudah membuat rumah ini jadi neraka. 

"Aku sudah berkorban untuk kalian, jangan sia-siakan pengorbanan aku."

Rara jadi luluh hatinya kalau ingat itu. Kartika rela menjadi istri simpanan bandot tua karena ingin menyelamatkan keluarga yang diambang kehancuran.

"Aku bahagia kamu sudah bisa mandiri," kata Kartika lembut. "Tapi bukan berarti boleh pergi dari rumah ini. Aku ada untuk kalian."

"Lalu Abah ada untuk siapa?"

"Untuk membuat kita semakin dewasa dalam berpikir. Abah setiap hari menciptakan masalah dan kita setiap hari mencari solusi. Pikiran kita jadi matang karenanya."

"Lama-lama jadi gosong," canda Rara.

"Asal jangan cintamu jadi gosong. Aku tahu Gilang adalah lelaki pertama yang ada di hatimu sejak kamu mengenal cinta."

Rara tersenyum lugu. "Aku itu sejak kecil bermimpi jadi istrinya karena ingin hidup seperti keluarga raja-raja."

"Mimpimu ketinggian. Aku pesimis kamu bisa jadi penghuni istana itu. Tapi aku optimis kamu bisa memiliki Gilang."

"Bagaimana ceritanya? Aku bisa memiliki Gilang kalau aku jadi nyonya muda di istana itu."

"Memiliki Gilang bukan berarti kamu jadi nyonya muda."

"Maksud Kak Tika kawin lari?"

"Aku tidak bilang begitu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status