Share

03. Kecewa

Abah marah. "Kau ingin aku jajan di luar? Baik! Aku penuhi permintaanmu kalau kau tidak mau melayani!"

"Kau tetap pergi ke janda langganan biar aku layani," geram Ambu sengit. "Kerjamu tiap hari cuma membuat malu keluarga. Mabuk, berjudi, main perempuan...."

Abah menampar wanita itu sehingga berhenti bicara. "Aku tidak suka istri bermulut lancang. Kamu bisa pergi dari rumah ini kalau tidak suka denganku."

Kemudian dia menarik tangan istrinya untuk bangkit dari sofa ruang tamu. Obat sudah mempengaruhi otaknya sehingga tidak ada pikiran apapun selain melampiaskan hasrat dengan segera.

Ambu berusaha bertahan. "Aku kurang enak badan."

"Aku sembuhkan dengan kenikmatan."

"Nikmat bagimu sengsara bagiku!"

Abah semakin tidak terkendali. "Kau ingin aku berbuat lebih kasar lagi?"

Ambu bertahan di tempat duduknya. Abah jadi berubah pikiran. Dia berhenti memaksa istrinya untuk masuk kamar. Duduk di sampingnya.

Ambu berontak ketika dipaksa untuk berbaring. Tenaga suaminya besar sekali sehingga usahanya sia-sia. Abah berhasil menindihnya.

"Kamu sudah gila," geram Ambu marah. "Bagaimana kalau anakmu melihat?"

"Dia sudah dewasa."

Saat itu Kartika muncul dari ruang dalam dan balik lagi begitu melihat adegan itu. Wajahnya tampak mendung.

"Kamu suami brengsek," omel Ambu. "Setiap hari pulang pagi dan minta dilayani. Janda langganan tidak sanggup memuaskanmu?"

"Aku tidak jajan di luar kalau kamu sanggup melayani."

"Kamu maniak! Siapa pikirmu yang sanggup bercinta berjam-jam setiap hari di usia sepertiku?"

"Aku minta kau layani."

"Kau mau membunuhku?" sergah Ambu sengit. "Aku berteriak kalau kau memaksa."

"Berteriak saja."

Abah memaksa untuk masuk. Pinggul istrinya bergerak menolak. Dia meringis kesakitan karena tangannya ditekan dengan keras ke lengan sofa.

"Bunuh saja aku sekalian," geram Ambu marah.

Abah menampar wajahnya cukup keras. "Kau ingin aku masuk penjara? Aku sudah bilang tidak suka istri bermulut lancang. Apa kau tuli?"

Abah menghisap puting payudara dengan kasar sehingga istrinya menjerit kesakitan. Wanita itu terpaksa membuka kaki lebar-lebar karena tidak tahan mendapat siksaan dan membiarkan kemaluan suaminya menghunjam sangat dalam sampai di dasar lubuk. 

Bel rumah berbunyi. Abah tak peduli. Dia mencangkul dengan sangat bernafsu.

Ambu berusaha menahan pinggang suaminya. "Aku mohon hentikan. Ada tamu."

"Persetan," sergah Abah. "Jujur saja kamu ketagihan dengan ukuranku yang besar."

Abah bergerak naik turun dengan cepat. Gairahnya semakin bergelora melihat istrinya sangat kepayahan. Dia tidak pernah kewalahan begini sebelum alat vitalnya dimodifikasi. Bel berbunyi lagi.

"Aku mohon jangan permalukan istrimu," pinta Ambu memelas. "Kamu buka pintu karena si Mimin akan segera menuju ke ruangan ini. Aku masih ada rasa malu untuk dilihat asisten rumah dalam keadaan begini."

Abah jadi jengkel. Dia segera melepaskan tindihan dan merapikan pakaian, kemudian berjalan ke pintu depan sambil memaki, "Tamu kurang ajar. Mengganggu kesenangan orang saja."

Wajah kesal Abah serentak berubah ceria saat tahu siapa tamu yang datang. Matanya berbinar melihat kotak cerutu dan martabak telor favoritnya.

"Wah, Raranya tidak ada," senyum pria separuh baya itu lebar. "Tapi masuk saja. Tak apa ngobrol sama Abah."

Sekilas Gilang melihat Ambu merapikan pakaian dan beranjak pergi. Dia rupanya datang bukan di waktu yang tepat. Matanya yang berpengalaman dapat menangkap kalau mereka lagi bercinta di sofa.

"Pergi sama siapa?" tanya Gilang sambil menyerahkan bingkisan yang dibawanya. Dia sudah buru-buru berangkat dari rumah. Siang ini ingin mengajak Rara lunch di kafe. Ternyata kalah cepat. Kalau gadis itu sudah pergi, jangan harap pulang sebelum matahari tergelincir.

"Sendiri."

Ada perasaan lega di hati Gilang. Entah kenapa. Barangkali karena teman Rara kadal semua. Apalagi anak juragan sapi itu. Cuma traktir lobster minta macam-macam. Tidak mau rugi. Maka itu Rara memblokir namanya dari daftar kontak. Anak bandar buah yang bawa duren montong satu pick up saja tidak berani main paksa. Dia sudah bangga bisa makan malam bersama gadis secantik Rara.

"Ke mana?"

"Jakarta. Mana lagi?"

Gilang menatap heran. "Ada pemotretan? Katanya break satu bulan?"

"Piknik sama teman kuliah. Memangnya tidak ngomong sama nak Gilang?"

Kalau bilang buat apa bertanya, gerutu Gilang dalam hati. Dia tahu Rara merasa tak perlu pamit. Gadis itu meninggalkan laki-laki seperti meninggalkan baju kotor di keranjang pakaian. Tak ada beban. Dia sebenarnya tersinggung, tapi Rara bukan pacarnya. Jadi apa haknya untuk tersinggung?

"Berapa hari?"

"Satu minggu."

Lama betul, pikir Gilang tanpa gairah. Pasti pergi ke tempat yang jauh. Pantai mana yang dituju? Bali atau Lombok?

Abah tersenyum seakan tahu isi pikirannya. "Sebentar kok, nak Gilang. Minggu depan bertemu lagi."

Biarpun cuma satu minggu, Gilang tidak sabar menanti. Dia merasa seolah satu abad lamanya. Belum pernah hatinya begini galau ditinggal pergi seorang gadis. Padahal Rara bukan siapa-siapa.

Mula-mula dikiranya karena rasa kesepian. Bosan jalan-jalan sendiri. Ketika batas waktu yang ditunggu-tunggu tiba Rara belum pulang juga, Gilang bukan cuma tidak sabar.

"Bel saja," saran ayah gadis itu. "Kalau sama Abah, pasti tidak diangkat."

Padahal tidak mau rugi. Untuk kepentingan sendiri saja pinjam sama teman Rara. Kalau mereka pelit, berarti ijin tidak keluar. Apalagi ini keperluan orang lain. Jadi yang bersangkutan wajib keluar modal. Enak saja dibantu. Lagi pula, apalah artinya pulsa belasan ribu bagi anak miliarder itu.

Masalahnya Gilang jaga gengsi. Nanti dulu kalau ngebel. Bisa-bisa Rara besar kepala. Bertambah satu pengagumnya.

Kalau sekarang Gilang bolak-balik ke rumahnya, semata-mata karena tradisi di kampung belaka. Laki-laki yang harus bertamu. Perempuan akan kehilangan martabatnya kalau sering berkunjung ke rumah laki-laki. Lagi pula, Rara tidak mungkin datang ke rumahnya, tidak disiram air got saja sudah bagus. Di Bandung mana pernah Gilang mendatangi rumah perempuan.

"Siapa tahu sudah berada di pondokan," kata Abah. "Belum sempat pulang."

Boleh jadi. Rara masih lelah untuk pulang ke rumah. Tapi boleh jadi pula masih berada di lokasi wisata. Dan membayangkan bagaimana romantisnya kehidupan di sana, ada selarik perasaan tak enak di dadanya.

Gilang seharusnya gembira Rara berkumpul bersama teman sekampus, yang salah seorang pemudanya mungkin pacar tetapnya, sehingga tertutup pintu untuk jatuh cinta. Tapi kenapa hatinya justru merasa ... cemburu?

Sejak semula Gilang tidak yakin dengan hatinya. Dia hapal siapa dirinya. Gadis itu terlalu menarik untuk menjadi bagian dari masa lalu. Terlalu mempesona untuk dibiarkan berlalu dari hidupnya. 

Atau Rara marah dengan kejadian di tepi telaga itu? Dia tidak ingin pulang ke desa dan bertemu dengannya?

"Brengsek," maki Rara saat berebahan di rumput hijau diam-diam Gilang mencium bibirnya. "Jangan samakan aku dengan gadis-gadismu."

"Laki-laki lain minta ijin kalau mencium kamu?"

"Mereka tidak kurang ajar seperti kamu!"

"Aku tak percaya pacar-pacar kamu belum pernah menyentuh bibirmu."

"Aku tidak minta kamu percaya! Tapi aku tahu kalau pacarku mau mencium aku!"

"Nah, karena aku bukan pacarmu, jadi kamu tak perlu tahu."

Rara diam cemberut. Di mata Gilang justru kelihatan makin menggoda. Dia tahu gadis itu tidak marah. Tapi tidak pula menikmati ciumannya. Ciuman laki-laki tak bedanya lipstik yang tiap hari menempel di bibirnya.

Keesokan harinya Gilang berusaha menahan diri untuk tidak pergi ke rumah Rara. Kelihatan sekali kalau dia mengharapkan kepulangan gadis itu. Di mana harga dirinya?

Sepanjang hari Gilang berada di perkebunan sampai ayahnya heran. Dia belum pernah serajin itu belajar tentang pemeliharaan tanaman, padahal cuma ingin menghalau keresahan hatinya.

Gilang baru datang lagi ke rumah Rara ketika mendapat kabar dari Surya kalau gadis itu sudah pulang dari liburannya. Dia sebenarnya malas pergi tapi keinginan hatinya sulit dibendung.

"Rencananya satu minggu," jelas Rara. "Teman-teman minta tambah. Sebagai panitia, aku oke saja asal mereka bayar ekstra."

Ada seleret kecewa menyapu dada Gilang. Sepuluh hari mereka tidak bertemu, tapi sedikit pun gadis itu tidak menunjukkan rasa rindunya.

Gilang tahu seperti apa laki-laki di matanya. Tak ada yang istimewa. Setiap laki-laki bisa pergi bersamanya dan bisa ditinggal pergi seenaknya. Saat dia diperlakukan sama, ada sakit hati yang tak mau hilang di dadanya.

"Teman-temanku sangat betah di Bali," kata Rara. "Banyak pemandangan yang tidak sepantasnya dipandang."

"Kalau cuma kepingin lihat pemandangan seperti itu, tak perlu ke Bali," sahut Gilang hambar. Semangat yang menggebu-gebu untuk berjumpa dengan gadis itu langsung mencair dengan sendirinya. "Di internet juga banyak."

Rara seolah tidak curiga dengan perubahan di wajahnya. Dia terlampau asyik dengan pengalaman liburannya. "Teman-temanku sempat tertipu dengan taman kupu-kupu di Tabanan. Mereka kira tempat kupu-kupu kertas dan kupu-kupu malam."

"Tolong bukukan saja ceritanya," potong Gilang dingin. "Nanti aku baca."

"Kamu tidak kepingin dengar ceritaku?"

"Kepanjangan."

"Ceritaku tidak menarik ya?"

Gilang diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Dan kemunculan anak bandar duren di ambang pintu membuat nafasnya lega.

"Ke mana?" tegur Rara melihat Gilang bangkit.

"Belum tidur siang."

"Bentar." Rara tidak tahu kalau Gilang hanya pura-pura menguap. "Ada oleh-oleh buat kamu."

Rara pergi ke kamarnya. Ketika kembali lagi ke ruang tamu, Gilang sudah tak ada di tempatnya. Sinar mata gadis itu berubah layu.

"Kok aku ditinggal pergi?" tegur anak bandar duren melihat Rara berjalan ke ruang dalam.

"Aku panggil Abah buat menemani kamu."

"Aku ingin ketemu kamu, bukan Abah."

"Kamu bawa duren, kan?"

"Satu pick up."

"Yang suka duren itu Abah sama si Mimin. Aku sudah bilang tidak suka duren dan tidak suka kamu bawa duren. Jadi lebih baik kamu ketemu Abah atau si Mimin. Tidak ketemu aku lagi."

Pemuda itu bengong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status