Sungai itu lebar dan berkelok-kelok seperti ular raksasa. Musim kemarau airnya dangkal. Banyak endapan pasir bercampur lumpur. Biasanya ada aktivitas penambang pasir. Barangkali mereka tinggalkan karena airnya sudah tercemar.
Ada cairan kehitaman mengalir membentuk pita panjang, mungkin limbah zat kimia dari pabrik di hulu sungai, bercampur limbah rumah tangga.
"Beruntung kita lahir lebih awal," kata Rara. "Bisa berenang di kolam renang terpanjang di dunia."
Di jaman mereka dulu, sungai adalah barometer kenakalan anak-anak. Pulang sekolah langsung bermain di sungai sampai lupa waktu. Lomba menyelam. Balap renang. Adu ketangkasan menangkap ikan. Dan hanya mereka berdua yang berani memasuki daerah lubuk sungai yang konon ada buaya putihnya.
"Masih suka renang?" tanya Rara.
"Bukan di sungai."
"Bukan pula di kolam renang."
"Kok tahu?"
"Matamu terlalu terbuka untuk melihat yang tertutup."
"Dan matamu tidak tertutup untuk melihat yang terbuka."
"Aku tidak sebejat kamu."
"Tapi seorang betina."
"Surya cerita?"
"Untuk tahu perempuan aku tidak butuh cerita dari siapapun."
"Apa yang kau tahu?"
"Soal apa?"
"Kau bicara soal aku, kan?"
"Aku bicara soal perempuan."
"Aku perempuan! Memangnya ada laki-laki sangat seksi begini?"
"Di kota banyak."
"Tidak seseksi aku!" Rara menoleh seolah menantang. "Ngomong apa lagi? Banyak laki-laki cantik di kota? Mereka tidak secantik aku dan bukan perawan suci!"
"Kepingin banget dibilang sangat seksi, sangat cantik, dan perawan suci. Bukan ingin menaikkan nilai jual, kan?"
"Brengsek."
"Semut saja tidak percaya."
"Biarin."
"Tidak ada lagi yang perlu kutahu tentang kamu. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, aku sudah hapal lekuk-lekuknya."
"Dulu. Sekarang tentu beda."
"Beda apanya?"
"Apa-apanya."
"Apa-apanya itu apa?"
"Apa yang termasuk apa-apanya."
"Apa itu?"
"Menurut kamu apa?"
"Apa-apanya."
"Surya benar."
"Apa katanya?"
"Kau pejantan liar."
"Betina yang liar ke aku."
"Karena rayuan mautmu."
"Aku tidak pernah merayu perempuan. Mereka datang sendiri."
"Kayak loket stadion menerima siapa saja yang masuk," sindir Rara. "Tante-tante juga?"
"Aku lebih suka down grade."
Rara memandang tak percaya. "Gadis SMA? OMG! Aku harus menjaga adikku baik-baik."
Mantan Gilang kebanyakan gadis SMA. Anak kuliahan bisa dihitung dengan jari. Dia sangat menikmati manjanya gadis putih abu-abu. Biasanya cinta mereka tidak berumur panjang. Dia segera pindah berlabuh jika sudah puas menghisap sari madunya.
"Bokong tipis bukan seleraku."
"Jadi aku seleramu?"
"Jangan kepedean."
"Memangnya kamu saja yang boleh kepedean?"
"Aku bicara fakta. Mereka datang sendiri mengantarkan cintanya. Gadis seusiamu ada di antrian terakhir."
"Kamu bisa kena pasal perlindungan anak."
"Mereka sudah tujuh belas tahun."
"Kamu suka ABG karena mereka gampang ditipu."
"Tidak ada tipu-tipu dalam cintaku. Semua atas dasar suka sama suka."
"Tidak tahu malu."
"Kalau tahu malu, hidupku mungkin lurus-lurus saja. Tidak tahu dunia ini luas dan banyak kenikmatan yang bisa didapatkan."
"Sebejat apapun manusia rasa malu pasti ada. Manusia loh?"
"Jadi kau punya rasa malu dengan penampilan seperti ini? Kau suguhi mata-mata lugu dengan pemandangan yang tidak biasa. Kau tidak dengar tadi pas di jalan? Bapak-bapak sampai istighfar lihat kamu."
"Tidak ada yang salah dengan penampilan aku."
"Jangan jadikan kampung sebagai panggung catwalk."
"Maka itu banyak nonton teve biar tidak ketinggalan jaman."
"Mereka nonton teve bukan untuk itu."
Di kampung ini tidak semua rumah ada televisi. Perlu parabola untuk menangkap acaranya. Daripada boros biaya, mereka alokasikan uang yang ada untuk membeli alat pertanian. Ada yang nekat, uang buat beli parabola dipakai taruhan dalam nonton bareng Piala Dunia. Pak Marwan provokatornya.
"Mereka nonton teve untuk melihat acara yang sesuai dengan kearifan lokal."
Rara menatap tidak senang. "Kok kamu jadi membela mereka? Pak Kades bukan apa bukan."
Rara tampil modis karena kebiasaan di metropolis, disamping ingin membuka wawasan mereka tentang tren fashion. Tidak sedikit gadis kampung yang salah memilih gaya sehingga menutup pesona alami yang seharusnya menjadi sebuah kelebihan.
"Kalau jadi Pak Kades, aku malah dukung kamu jadi foto model. Untuk membuktikan tidak semua cewek kampung itu katrok."
"Itu profesi yang kujalani sekarang."
Tidak mengejutkan kalau Rara jadi foto model. Lagi pula tidak ada kabar perempuan yang membuat Gilang terkejut. Rara memiliki pesona alami yang sangat fotogenik. Teman kuliah Gilang sampai melakukan operasi plastik untuk tampil sempurna di depan kamera.
"Sales alat kecantikan juga."
"Separuh waktu?"
"Ya."
"Separuh waktu lagi sales om-om?"
"Ngarang."
"Abah bagaimana?"
Masalah terbesar Rara adalah ayahnya. Bukan cuma soal karir, dalam bergaul juga. Tidak sedikit pemuda yang mundur teratur karena kurang modal. Jadi pacar belum tentu, keluar duit sudah pasti. Kadang Surya juga kena pajak, padahal Rara yang menyuruh datang karena ada perlu. Kalau Gilang sudah menyerahkan duit satu gepok agar selama liburan diijinkan bertamu.
Bersyukur Abah mata duitan. Gilang jadi bebas bertemu kapan saja dengan anaknya. Urusan uang pelicin ini Rara tidak tahu. Kalau sampai tertangkap tangan, jangan harap bisa menemuinya lagi. Gilang suka perempuan yang memiliki harga diri.
"Sudah lama aku kehilangan figur seorang ayah. Dia terbuai mimpi yang disuguhkan kakakku. Aku tidak mau ikut terlena."
"Kartika saudara kandungmu."
"Tapi yang kaya suaminya."
"Sama saja."
"Tentu saja beda."
"Kau merasa jadi orang lain di depan kakakmu? Atau Kartika yang membuat kamu jadi orang lain?"
"Dia malah yang paling keras melarang aku kerja. Takut ganggu kuliah."
"Takut kena tipu om-om utamanya."
"Aku tak mau terus-terusan jadi beban. Ingin belajar mandiri."
"Kalau sudah belajar mandiri, ingin belajar apa lagi?"
"Belajar menjitak kepala kamu!"
"Bukan belajar namanya, balas dendam masa lalu."
Barangkali karena masa lalu juga kalau besoknya mereka kelihatan basah-basahan di air terjun. Kejar-kejaran di pematang sawah. Berperahu di telaga. Tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi waktu anak-anak.
Tapi pandangan ibu Gilang tidak hanya sampai di situ! Ini alamat bahaya. Sejak dini dia harus waspada sebelum segalanya terlanjur. Gilang kehilangan masa depan.
Gadis model begitu cuma pintar menggoda. Tak mampu membangun semangat belajar. Apa yang bisa diharapkan darinya?
Kecantikan memang dia kembangnya. Hidup di kota membuatnya tampil beda dengan gadis kebanyakan. Tahu fashion. Cara berdandan. Tapi cuma itu keunggulannya.
Di kampung ini, seorang gadis umumnya pacaran hanya satu kali sebelum melangkah ke pelaminan. Hanya mengenal satu laki-laki. Tapi dia, pemuda kampung mana yang belum mencicipi cintanya? Setiap minggu laki-laki hilir mudik ke rumahnya! Pulang ke desa cuma untuk tebar pesona!
Ayahnya pun membiarkan saja kelakuannya begitu. Memang itu yang diharapkan. Memilih-milih mana pemuda yang paling kaya. Paling banyak berkorban. Ayah dan anak sama bejatnya.
"Hati-hati kalau bergaul," tegur Umi ketika anaknya baru pulang dari rumah gadis itu. "Salah-salah nanti terjerumus."
Gilang menoleh tak mengerti. "Maksud Umi?"
"Jangan kira Umi tidak tahu kedekatan kamu dengan si Rarasapi."
"Rarasari."
"Peduli apa soal nama? Pokoknya bukan keturunan baik-baik!"
"Ayahnya mantan aparat desa."
"Biar mantan aparat, kalau tega menjual anaknya, jadi keparat!"
"Kartika bukan dijual."
"Lalu apa namanya menikah sama lelaki yang sudah bau tanah?" Wajah Umi membentuk lautan cemooh. "Jadi istri simpanan?"
"Kalau jodoh, mau bilang apa? Protes sama Tuhan?"
"Pintar omong kamu! Sudah mulai ketularan rupanya!"
"Pintar omong kamu! Sudah mulai ketularan si Rarasapi rupanya!"
"Rara gadis baik-baik," sahut Gilang sabar. "Tidak seburuk sangkaan Umi."
"Mata Umi belum buta!"
"Jangan lihat luarnya, lihat hatinya."
"Gadis seperti itu mana punya hati?" dengus Umi sinis. "Yang ada di kepalanya cuma bagaimana cara menjerat laki-laki! Menguras isi dompetnya!"
"Umi jadi miskin perasaan karena kebanyakan harta, selalu curiga dan penuh prasangka."
"Jangan salah paham!" sambar ibunya geram. "Umi bukan melarang pacaran! Tapi pilihlah gadis baik-baik! Bukan gadis yang jadi modal usaha!"
"Umi jangan kuatir. Aku tidak tertarik jadi pacar yang ketiga belas. Gadis cantik di kampus asal mau."
Gilang jadi berpikir. Baru kelihatan akrab saja ibunya sudah demikian sengit. Bagaimana kalau mereka benar-benar terjebak dalam jerat cinta?
Abah marah. "Kau ingin aku jajan di luar? Baik! Aku penuhi permintaanmu kalau kau tidak mau melayani!" "Kau tetap pergi ke janda langganan biar aku layani," geram Ambu sengit. "Kerjamu tiap hari cuma membuat malu keluarga. Mabuk, berjudi, main perempuan...." Abah menampar wanita itu sehingga berhenti bicara. "Aku tidak suka istri bermulut lancang. Kamu bisa pergi dari rumah ini kalau tidak suka denganku." Kemudian dia menarik tangan istrinya untuk bangkit dari sofa ruang tamu. Obat sudah mempengaruhi otaknya sehingga tidak ada pikiran apapun selain melampiaskan hasrat dengan segera. Ambu berusaha bertahan. "Aku kurang enak badan." "Aku sembuhkan dengan kenikmatan." "Nikmat bagimu sengsara bagiku!" Abah semakin tidak terkendali. "Kau ingin aku berbuat lebih kasar lagi?" Ambu bertahan di tempat duduknya. Abah jadi berubah pikiran. Dia berhenti memaksa istrinya untuk masuk kamar. Duduk di sampingnya. Ambu berontak
Esok paginya Gilang tidak muncul. Keesokan harinya pun menghilang entah ke mana. Percuma Rara menunggu sepanjang siang, pemuda itu tak datang-datang tanpa alasan yang jelas. Dia jadi uring-uringan dan majalah yang dibacanya kena sasaran. "Beraninya banting majalah," ledek Kartika sambil menonton acara televisi. "Banting saja cintamu." "Aku kesal sama penculik mahasiswi itu! Bukan koruptor saja diculik! Cuci otaknya! Biar bersih!" "Pura-pura! Kangen ya? Salah sendiri. Pulang dari Bali bukan bongkar hati, malah bongkar muatan." "Ngomong apaan sih?" Rara pura-pura mengambil majalah yang dibanting dan membacanya lagi. "Kayak baru pertama kali ke Bali saja. Heboh banget." "Biarin." "Gak kuat nahan rasa kangen ya? Mulut jadi dar der dor kayak petasan Lebaran?" "Sotoy." "Bagus orangnya sabar. Kalau aku, sudah dibakar rumah ini." "Bakar saja! Rumah Kak Tika ini!" "Kalau tidak mau kehilangan dia, sekarang
"Jangan sering-sering datang ke rumahnya." Suara Umi menghentikan langkah Gilang di pintu keluar. "Nanti ketularan." Gilang memutar tubuh dan memandang ibunya. "Aku mau ke rumah Surya." "Alasan." "Sejak kapan Umi tak percaya sama aku?" "Sejak kamu pacaran dengan begundal itu!" "Aku tidak pacaran." "Terus buat apa kamu datang ke rumahnya kalau tidak pacaran? Main judi sama ayahnya?" Gilang menghela nafas. Ibunya masih saja curiga, padahal kepikiran saja tidak untuk main ke rumah Rara. Kebersamaan mereka putus dengan sendirinya. "Umi cuma mengingatkan. Kalau sampai tergoda rayuannya, itu petaka buat masa depanmu. Bisa-bisa studimu putus di tengah jalan." "Aku sudah belajar baik-baik, dan mencapai hasil yang baik." "Nah, pilihlah gadis baik-baik! Agar masa depanmu baik!" "Kenapa sih Umi jadi peduli sama kuliah aku? Padahal dulu Umi memohon agar aku tidak melanjutkan sekolah. Kasihan Abi tidak ada ya
Umi mulai curiga. Anak sulungnya rajin sekali keluar malam. Minggu-minggu ini memang banyak acara siraman rohani, bulan baik untuk hajatan menurut hitung-hitungan. Tapi bukan berarti boleh pulang seenaknya. Bahkan pernah ayam sudah berkokok baru pulang. Dikasih kebebasan malah kebablasan. Wisnu yang dipercaya untuk memata-matai pun mulai meragukan. Setiap kali ditanya, jawabannya itu-itu saja. "Umi kan tahu si kakak calon mubaligh. Lebih suka dengar ceramah kyai daripada ceramah Umi." "Masa tiap malam?" "Tablighnya tiap malam." "Minggu ini cuma tiga." "Di desa sebelah." "Desa sebelah?" Umi terbelalak kaget. "Kalian pergi sejauh itu?" "Kan bawa mobil." Tapi Umi tetap sangsi. Gilang bisa dimengerti suka pengajian. Anak itu rajin ke mesjid. Tapi Wisnu sejak kapan suka tabligh? Biarpun cuma mengantar? Shalat saja menunggu perintah ayahnya! Dia tak pernah membantah setiap kali disuruh mengawal kakaknya. Kadan
"Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan." Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat." "Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita." "Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?" "Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jang
Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi. Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "
Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu
Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar. "Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi." Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?" "Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape." "Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti." Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?" "Pakai kimono." Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda." Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap. A