Dennis marah-marah lewat telepon. "Kamu laporan sama bude dan bulik? Tidak tahu diuntung! Kamu tidak bisa menikah dengan keponakanku kalau aku tidak bersedia jadi wali!"
"Memangnya ada apa?" tanya Gilang tenang. "Pagi-pagi sudah ngegas. Salah sarapan apa?"
"Gara-gara kamu aku kena maki bude dan bulik!"
"Gara-gara aku apa gara-gara Tarlita? Sehingga om tersayang lupa diri ingin mengorbankan anak yang lagi butuh kasih sayang," sindir Gilang sinis.
"Kurang ajar!"
"Aku paling tidak suka dimaki oleh lelaki brengsek macam kamu. Dengar baik-baik, jangan hubungi nomorku kalau kamu menempatkan nafsu di atas segalanya, atau aku lapor atasanmu agar dipecat."
"Kamu laki-laki terlicik yang aku kenal."
"Aku pria terdahsyat yang kamu kenal. Kamu boleh tanya sama keponakanmu kalau tidak percaya."
"Urusanmu!"
"Jadi buat apa ngebel kalau bukan untuk tahu urusanku? Aku jauh lebih brengsek dari kamu, dan berhenti jadi orang brengse
"Kamu tidak malu wisuda bawa bayi?" tanya Rara saat mobil yang dikendarai Gilang memasuki gerbang kampus dan meluncur menuju gedung serba guna. "Aku kira hanya kamu yang membawa anak istri." "Aku ingin Idyla menyaksikan kehebatan ayahnya," sahut Gilang kalem. "Dan kamu adalah perempuan tercantik pendamping calon wisudawan." "Aku sampai pergi ke salon karena tidak percaya diri." "Nyonya itu sudah kayak bidadari turun dari kahyangan," puji Mimin yang duduk di belakang bersama Ambu dan Nita. "Masa tidak percaya diri? Bagaimana saya? Bedaknya tidak ketebalan kan, Ambu?" Ambu tersenyum sedikit. "Tidak. Kamu dandan cantik-cantik buat apa? Usiamu itu ketuaan untuk cari brondong." "Duda tidak masalah. Yang penting jangan suami orang. Males berantemnya." "Aku tidak ingin suamiku mendapat malu," kata Rara. "Maka itu aku berusaha untuk tampil sempurna." Rara sangat bahagia karena suaminya tidak malu membawa anak istri di hari bahagia ini.
Karlina tidak dapat melawan takdir. Dia sudah berencana jauh-jauh hari untuk menikah dengan Roby. Maut menghapus semua impian yang ada. Satu hari setelah pengumuman kelulusan, Roby pergi untuk selamanya karena leukemia. Penyakit ganas itu membuat uang tak berkuasa atas segalanya. Keinginan Roby yang berkuasa. Maka itu mami papinya mengabulkan setiap keinginan anaknya, termasuk menikah muda. Satu-satunya permintaan Roby yang tidak terpenuhi karena ajal sudah terlebih dahulu menjemput. "Kepergian Roby membuat aku harus menerima perjodohan ini," kata Wisnu dalam perjalanan menuju tempat perayaan wisuda di sebuah restoran mewah. Gilang dan istrinya ikut dengan Wisnu. Sementara Nita dan keluarga membuntuti di belakang. Jalan raya tidak begitu padat. "Aku tidak tahu bagaimana perasaan Andini." Wisnu mengurungkan niat untuk menunjukkan video syur ke ibunya. Dia tidak ingin banyak nama terjungkal karena video itu. Lebih-lebih saat Roby sudah pergi. Karlina sendiri me
Gilang menghentikan kendaraan di depan rumah. Mereka turun dari dalam mobil. Gilang membukakan pintu buat istrinya, kemudian mengambil toga yang tersimpan di dalam tas jinjing. Toko kelihatan sangat ramai. "Marto dan istrinya keteteran melayani pembeli," kata Ambu. "Aku langsung ke toko." "Istirahat saja dulu, Ambu," cegah Gilang. "Pembeli bisa antri." "Kita harus memberi pelayanan yang terbaik," sahut Ambu. "Mereka tidak boleh menunggu." Ambu pergi ke toko untuk membantu Pak Marto dan istri. Mereka masuk ke dalam rumah. Mimin langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan buat makan sore. Nita masuk ke dalam kamar beristirahat. Hari-hari ini dia banyak waktu luang menunggu hasil testing masuk perguruan tinggi negeri. Rara menidurkan bayi di ranjang, kemudian membuka sepatu dan pakaian suaminya. Kebiasaan yang tak pernah ditinggalkan bagaimanapun sibuknya. Gilang mengenakan pakaian rumah dan berebahan di kasur beristirahat, Rara men
Gilang mengamati pisau dapur yang dipegangnya secara seksama. "Pisau ini sama persis dengan pisau yang menancap di punggung Abah dalam mimpiku." "Pisau dapur di rumah itu banyak dan jenisnya sama persis." "Gagang pisau ini sedikit cacat, kayak bekas menumbuk sesuatu." Surya angkat bahu sedikit. "Lalu apa yang hendak kamu lakukan dengan pisau itu?" Gilang menggeleng pelan. "Entahlah. Aku cuma yakin pisau ini yang digunakan untuk membunuh mertuaku." "Keyakinanmu tidak berguna. Kamu butuh bukti di alam nyata, bukan di alam mimpi." "Maka itu aku minta kamu untuk menjalankan misi terakhir. Kamu harus bisa masuk ke rumah itu untuk memeriksa dan melihat situasi di dalam rumah." "Ini harusnya tugas kamu. Kedatanganmu tidak akan dicurigai tukang kebun. Kamu bebas masuk ke kamar mana saja." "Tukang kebun dan istrinya tidak curiga. Kartika pasti curiga, apalagi jika dia pelakunya. Aku jadi terlilit masalah, Rara pasti tidak meneri
Mengunjungi orang sakit adalah kebiasaan langka di kampung ini. Paling antar saudara saja. Kalau antar tetangga, jarang sekali. Jadi sangat surprise jika Surya membawa buah tangan yang cukup banyak. Dia turun di depan gerbang rumah Kartika. "Aku langsung pulang ya, Sur," kata Gilang. "Hati-hati pisaunya. Kau nanti kena sweeping. Hari ini di kota kecamatan ada demo." "Aku tidak lewat kota, sedikit lebih jauh tapi aman." "Bagusnya begitu." Surya membuka pintu gerbang yang tidak terkunci dan memasuki pelataran rumah sambil menjinjing beberapa kantong plastik berisi buah tangan. Dia pencet bel rumah. Kemudian muncul Mirna dari dalam rumah. "Kang Dudung update status lagi sakit, apa benar, Teh?" "Oh iya, dia kena demam," sahut Mirna. "Dari pagi tidak bangun-bangun dari tempat tidur. Masuk, Sur." Surya masuk dan Mirna menutup pintu. Kemudian dia menyerahkan buah tangan ke wanita itu. "Tidak dibawa ke Puskesmas?" tanya
Gilang menyodorkan sertifikat nilai ke hadapan Marliana. Wanita cantik itu tersenyum bangga melihat nilai yang tercantum. Gilang adalah lelaki terdahsyat dalam segala aspek kehidupan, begitu informasi yang didapat dari orang kepercayaannya. Hal yang sangat menggugah sifat kewanitaannya. "Jauh sekali dengan anakku, Bimo," puji Marliana. "Mestinya kamu jadi CEO." "Posisi saat ini sudah cukup baik bagi saya," kata Gilang. "Saya ingin diterima sebagai pegawai secara penuh, tentu saja kalau Ibu berkenan." "Aku ada posisi yang sangat menarik untukmu. Kamu bisa mendampingi Bimo sebagai CEO Junior. Kamu dapat mewujudkan semua mimpi dengan fasilitas eksklusif yang kuberikan." Gilang menolak secara halus. "Saya belum ada pengalaman untuk itu, masih harus banyak belajar." Marliana tersenyum manis. "Kamu bisa belajar banyak nanti. Aku tidak akan melepas kalian begitu saja." "Menurut saya ada yang lebih pantas." Handa, staf senior lebih lay
Hari pertama jadi pengangguran terasa aneh bagi Gilang. Dia bangun pagi-pagi tidak tahu untuk apa. Membuka toko sudah ada Pak Marto. Membersihkan rumah sudah digarap oleh Mimin dan Nita sejak subuh. Nita mengisi hari-hari tegang menunggu hasil ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri dengan berbagai kesibukan.Akhirnya Gilang tinggal di kamar menunggui bayi, kadang mengganggu istri jika menyusui. Rara sendiri merasa aneh pagi-pagi melihat suaminya berkeliaran di depan matanya."Aku jadi mati gaya," kata Gilang sambil duduk di atas tempat tidur. "Aku tidak tahu apa yang harus dikerjakan."Rara tersenyum menggoda. "Bercinta.""Malam sudah lima dan sekarang hari masih pagi.""Memangnya kenapa hari masih pagi? Aku masuk kerja minggu depan. Kamu sudah menyiapkan berkas untuk melamar pekerjaan, tapi lowongan kerja yang sesuai dengan bidangmu belum ada. Lalu ka
Terik matahari masih terasa walaupun Gilang berlindung di bawah pohon peneduh jalan. Dia mengeluarkan saputangan menyeka keringat yang meleleh di kening. Tenggorokannya terasa kering, padahal segelas jus jeruk baru saja mampir di perutnya. Kantor di wilayah barat metropolitan ini hampir semua telah didatangi, dari gedung pencakar langit sampai pencakar ayam. Jawaban yang diterima sama. Jawaban usang. Tidak ada lowongan atau cari yang berpengalaman. Bagaimana punya pengalaman kalau mereka selalu bilang tidak ada lowongan, mendahulukan orang yang pernah bekerja, seolah cuma ingin memindahkan karyawan dari satu perusahaan ke perusahaan lain, bukan merekrut pengangguran. Rara dengan mudahnya pindah ke swalayan dekat penitipan bayi, naik jabatan pula, tanpa proses berbelit-belit. Atau perempuan gampang diterima kerja asal berani pakai rok tinggi? "Buang pikiran kotormu," sergah Rara. "Swalayan itu yang punya wanita." "Kaum kalian yang katanya lemah