"Mau pesan apa, Reyga?""Kopi hitam saja, Elang," jawab Reyga sambil meletakkan tas nya di datas meja. Elang memesan dua cangkir kopi hitam, dan kembali duduk di depan sahabatnya. Reyga tersenyum menatap Elang meski mereka bekerja satu rumah sakit namun ia jarang sekali bertemu. Sesaat pramusaji datang membawakan dua cangkir kopi. "Bagaimana, Lia?" tanya Elang sambil mengambil kopi panas meniup pelan lalu menyesapnya. "Alhamdulillah, kalau dilihat dati luar sih dia baik-baik saja, namun entah jika hatinya.""Syukurlah.""Sebenarnya kenapa Lia sampai bisa menikah dengan Erlan, Elang."Elang tersenyum kecut. "Entahlah aku juga kurang paham, saat itu setelah ia putus dari Dimas tak lama aku dengar ia menikah dengan Erlan."Terlihat kekecewaan dari wajah tampan Reyga. "Ya, aku yang salah pergi tanpa pamit.""Kau kecewa saat Kamila bersama Dimas? Kau menyukai Kamila?"Diam. Reyga meraih gelas dan menyesap kopinya. Terkadang, Reyga menertawakan dirinya sendiri atas semua kesalahannya.
"Mama akan menjodohkanku dengan seseorang, Kamila."DegSesak kembali merelungi jiwa Kamila, tangannya sedikit gemetar. "Aku harus bagaimana, Kamila? Sedangkan aku tak mau hidupku diatur oleh mama, lagi."Hening ... hanya tetdengar embusan angin di pagi itu. Wanita itu menarik napas panjang. Tangannya makin kuat meremas ujung jilbabnya, seolah ingin membuka mulutnya. Namun ia terlihat begitu ragu lalu menatap Reyga dengan tatapan sayu. Dengan tatapan yang entah, seolah tak enak atau mungkin saja segan. "Lalu...." Satu kalimat keluar dari bibir Kamila. "Ayolah, Kamila jangan bercanda." Desis Reyga. Kamila tersenyum simpul dan menggeleng pelan. Seolah ia tahu apa yang Reyga pikirkan, bahwa wanita itu sedang ingin mempermainkan Reyga saja. "Emm, dijodohkan Rey. Sama mama kamu?" tanya Kamila ragu. "Iya."Reyga sempat terdiam saat melihat wajah Kamila yang terlihat begitu murung. Pria itu menatap matanya yang indah dan meneduhkan. Mata yang mungkin saja bisa menjadi penyemangat Rey
Erlan memejamkan kedua netranya, setiap kali deru angin berembus membelai dirinya dalam keheningan malam. Hanya malam yang bisa menjadi temannya kali ini, bahkan rasanya telah mati sejak putusan pengadilan itu. Tak ada ketenangan lain selain membiarkan jiwa terlelap. Hingga, ia terlelap dalam buaian malam."Mas ... bangun." Teriak Ambar menarik lengan Erlan dengan kasar, membuat Erlan Terkejut karena ia baru saja tertidur. Kepala Erlan begitu sakit dan berat, ia memijit pelipisnya yang masih terasa berat. Gila atau gimana wanita itu, hingga membuat Erlan tak bisa berpikir ia menikahi wanita yang tidak punya sopan santun sama sekali. "Ini perbuatan kamu kan, Mas?" tanya Ambarwati sambil menunjukkan gambar Erlan sedang bersama seorang wanita. Seketika itu juga Ambarwati mencengkeraman kuat lengan Erlan, hingga wajah Erlan meringis kesakitan, istrinya sungguh membuat Erlan tak mengerti apa ucapannya. "Apa kau gila, Ambar. Astaga kayak ga ada kerjaan saja sih ngurusi itu," jawab Erla
"Duda?" tanya Kamila terkejut. "Iya, Mbak," jawab Karin takut. Kamila menghela nafas berat. Dan duduk mendekati adiknya. "Kenapa dia menjadi duda, Karin?" tanya Kamila penasaran. Karin takut akan masa lalu kekasihnya tak diterima oleh Kamila, tangannya gemetar memegangi ujung jilbabnya. Entah apapun masa lalunya sekarang kekasihnya menjadi pria yang menjelma menjadi lelaki yang begitu perhatian dan juga penyayang. "Setiap orang punya masa lalu kan, Mbak, dia lelaki yang menjaga hatiku selama ini?"Kamila diam. "Mbak?""Aku tanya kenapa dia menjadi duda Karin? Itu saja?"Dada Karin bergetar hebat, bagiamana bisa ia jujur sedangkan kekasihnya dulu menikah hanya untuk balas dendam. Namun, berbohong sedikit demi kebaikan mungkin tak apa-apa bukan."Karin.""Eh, iya Mbak, dia menikah karena di suruh mamanya balas dendam.""Apa ... apa Mbak ga salah dengar?""Tidak, Mbak.""Astaqfurullah Karin, pertemukan Mbak dengan kekasihmu itu."Kamila tak percaya, namun setidaknya lelaki itu jujur
Suara bising dari mesin cuci memecah keheningan pagi ini. Walau cuaca sedikit mendung, tak menyusutkan tekat Kamila untuk tetap menggiling baju-baju kotor itu. Hatinya sudah lega, saat ini ia hanya fokus mengurus anak-anaknya juga Ibunya. Karena Reyga sudah tak peduli lagi dengannya bahkan beberapa bulan ini ia menghilang. Berat rasa dalam diam hati yang kian mendera. Entah bagaimana nasib Kamila selanjutnya, dalam hati resah Kamila berusaha untuk tegar. Selesai ia berjalan dan menjemur baju, lalu menemani Alifa mandi. Hatinya sedikit cemas namun ia berusaha untuk tetap tersenyum. Selesai perlahan sekali berjalan menuju dapur. Dan menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. "Non, mau masak apa?""Apa saja, Mbok. Biar aku yang bikin sarapannya.""Baik, Non."Semua sudah berada di meja makan, sedang sarapan. Kamila ikut duduk bersama mereka, lalu mengambil selembar roti dan mengolesnya dengan selai."Ma, Alifa mau dibuatin bekal makan siang!" pinta Alifa. "Oh mau bekal, tumben sayang?""
Kamila pulang, sampai di depan rumahnya, Alifa langsung menyambut kehadiran sang mama. Kamila turun dari taksi karena harus bekerja. "Mbok, tolong bawain belanjaan ke tempat Ibu di belakang ya.""Baik, Non," jawab si Mbok lalu mengambil tas belanjaan kesukaan sang Ibu dan membawanya ke dalam.Sedangkan Kamila yang kaget langsung memegangi sebelah dadanya. Karena ada Karin dan teman lelakinya yang sudah menunggunya di ruang tamu. "Kak, ini Mas Levin yang waktu itu Karin ceritain baru bisa main sekarang. Ingin bertemu dengan Mbak, Mila," ucap Karin terbata. "Oh, saya Kamila kakak dari Karin." Kamila menjabat tangan pria itu. "Saya, Levin. Mbak."Sesaat Kamila terdiam, mengamati wajah Levin yang sepertinya punya kepribadian yang baik, kenapa bisa nikah karena balas dendam? "Oh, iya."Setelah panjang lebar mengobrol, Kamila merasa nyaman dengan sikap Levin. Entah kenapa, Kamila tak punya hak untuk melarang adiknya menjalin hubungan dengan Levin. Benar kata Karin dia juga terbilang pr
Kamila tengah duduk berdua di kafe dengan Arum, Kafe yang bersebelahan dengan sekolah Alifa juga Ridho. Tidak sengaja ketemu, Kamila yang sedang menunggu anak-anaknya, saat tiba-tiba seseorang menepuk bahu Kamila pelan. Arum, wanita dengan perut besarnya, tersenyum. Dan setelahnya mereka duduk di sini sekarang.Tadinya Kamila berpikir akan duduk sendiri di kafe itu. Berteman baso juga secangkir teh hangat. Dan hujan yang masih intens menyapa bumi. Tapi Allah yang maha baik mengirimkan sahabat yang sangat ia rindukan. "Rum, dari mana kenapa di sini sih?" tanya Kamila pada sahabatnya. "Gue, kangen lo lah. Gila lama lo ga main ke rumah, entar kalau gue lahiran lama kan gak bisa keluar."Kamila tertawa renyah. " Ya, maaf. Habisnya aku sibuk juga.""Tahu, gue."Kamila mendengkus. Mengalihkan pandangannya menatap hujan dengan perasaan entah. Kamila tak bisa membayangkannya. Semua berbaur menjadi satu entah... "Gimana Rey, sudah sembuh, Mila?"Ya kata dokter sih, sudah kuat. Sudah bisa la
"Mbak Kamila, lagi apa?"Wanita itu menoleh dan tersenyum lebar saat mendapati sosok adiknya di ambang pintu. Ia senang karena adiknya sudah menjadi seorang istri. Begitupun dirinya saat ini sudah menjadi istri sah dokter Reyga. "Ada apa, Karin? Selamat ya, atas pernikahannya semoga langgeng dan samawa." Ucap Kamila pada adiknya. "Iya Mbak, begitu juga, Mbak. Bahagia terus, ya."Kamila tersenyum dan memeluk adiknya. Terlihat raut wajah yang semringah, Kamila begitu bahagia melihat Karin sudah beranjak dewasa dan menikah. Semoga pernikahannya langgeng tanpa ada pengganggu. Kamila tersenyum saat ada Levin datang. "Mbak, Mila."Dan itu sukses membuat Kamila berdeham sambil menahan tawanya. Karena Levin sudah mencari Karin, Kamila sendiri merasa tak nyaman, akan kedatangan adik iparnya. "Tuh sudah di cari suamimu lo, Karin," goda Kamila seraya tersenyum."Ich, Mbak bisa saja." Karin menepuk lengan Kamila. "Sudah, sana temui.""Iya ... iya."Kamila pun mencoba mengatur irama jantung