Rumah terbuat dari anyam bambu di pelataran banyak di tumbuh rumput itu, Laila tunjuk sebagai rumahnya, keadaan benar-benar sederhana. Jauh berbeda dari rumah disekitarnya.Rumah Laila tepat sekali di pinggir persawahan. Rumah itu adalah hasil gotong royong warga karena kasihan melihat Bu Hambar yang memiliki banyak anak. Namun, tidak lagi memiliki suami. semua mantan suaminya tidak ada yang benar."Itu rumahnya?" tanya Hendra memastikan."Iya, jelek kan? Maka dari itu aku malas pulang, tinggal di gubuk reot gitu." Tanpa sadar Laila berucap demikian membuat kening Hendra berkerut dalam.Namun, Laila cepat menyadari kesalahannya."Aku udah lama nggak pulang. Ya, begini keadaan rumah kami, Mas. Menyedihkan, apalagi Emak suka sekali kawin cerai itu memperkuat niatku untuk nggak pernah pulang." Laila sedikit menyudutkan ibunya.Sebisa mungkin Laila akan membuat Hendra tidak suka pada ibunya. Sebab, Bu Hambar yang mata duitan bisa menghalangi kehidupan Laila. Tentu saja itu jangan sampai t
"Mas, kamu dapat duit dari mana?" tanya Laila sedikit geram. Sebab, suaminya ingkar janji.Hendra tersenyum melihat kepanikan di wajah istrinya. "Ada uang lebih dari bengkel. Uang yang kamu pegang nggak Mas minta lagi. Kasian Emak, kemarin sebelum berangkat nelepon Mas lagi, Emak nangis-nangis. Jadi, Mas usahakan ada uangnya." Begitu perdulinya Hendra dengan keluarga Laila. Lelaki itu tahu jika Laila kurang menyayangi ibunya. Maka dari itu sebisa mungkin dia memberikan uang pada Bu Hambar tanpa mengusik uang Laila. "Tapi Emak itu .... Ah, udahlah susah ngomong sama kamu," ucap Laila, ketus.Wanita itu beranjak ke luar rumah untuk mencari angin segar. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa panas dan kepala berdenyut mengetahui ibunya selangkah lebih maju darinya. Panggilan dari suaminya pun tidak direspon.Hendra memutuskan istirahat. Pasalnya tubuh terasa lelah, berkendara terlalu lama. Di atas tikar dia membaringkan tubuh.Sedangkah Laila duduk di ayunan yang berada di depan rumah. Ingata
"Ada apa ribut-ribut tadi, Sayang?" tanya Hendra sembari memasukkan koper dalam mobil."Nggak, Emak nggak mau aku pulang. Udah yuk, kita jalan sekarang." Laila lebih dulu masuk mobil. Sedangkan Hendra masuk lagi dalam rumah."Mas, mau ke mana lagi?" Laila menyembulkan kepalanya dari balik kaca mobil."Bentar, pamitan dulu."Di dalam rumah, Bu Hambar menangis tergugu sembari mengucapkan sumpah serapah pada putri sulungnya. Mau melawan percuma, wanita itu masih memiliki rasa malu juga kebohongan akan terbongkar jika nekat bertengkar dengan Laila. Puji, Weni dan Denis mengintip dari dapur, mereka menyaksikan pertengkaran kakak dan ibunya. Sesekali Puji mengusap air mata yang mengalir di pipi. Begitu juga Denis menatap tak suka."Dari dulu selalu kayak gitu ya, Bang. Emak nggak pernah sayang sama kita," ujar Puji dengan nada getir.Denis tidak menjawab hanya memberi usapan di puncak kepala adiknya itu."Ma, kenapa?" Hendra bertanya seraya membantu mertuanya berdiri.Bu Hambar menggeleng
Bu Tari bersama Pak Tono berlari-lari kecil menyusuri lorong rumah sakit. Gurat lelah dan cemas tercetak jelas di wajah sepasang suami istri itu. Ya, Hendra memberi kabar dini hari tadi, sehingga baru pagi ini bisa datang menjenguk Laila karena jarak yang lumayan jauh. Hendra membawa Laila ke rumah sakit terdekat. Namun, masih jauh dari rumah mereka.Hendra juga telah memberi kabar pada Bu Hambar. Namun, ekspetasi lelaki itu tidak sesuai realita. Ibu Laila itu memberi banyak alasan yang menyebabkan dirinya tidak bisa datang menjenguk, apa lagi merawat anaknya. "Buk, pelan-pelan aja, toh. Kaki Bapak linu," ujar Pak Tono seraya menyamakan langkah. Sesekali lelaki tua itu memegang lututnya. Tubuh bugar, tetapi tetap saja usia tidak bisa bohong. "Udah jangan berisik, Pak. Ikut aja, mantuku sakit nggak ada yang jaga. Hendra bilang dia sendirian, kasian. Ayo cepat, Pak." Akhirnya Pak Tono tidak lagi bersuara. Lelakit tua itu paham bagaimana perasaan istrinya yang dilanda kekhawatiran me
Lelaki yang pakaiannya tidak lagi rapi menyandarkan tubuh di sandaran sofa. Kepalanya sedikit menggantung, mengadah ke atas. Rambut acak-acakan dan pipi merah bekas tamparan dari istrinya sangat jelas di kulit putihnya. Ya, setelah reaksi obat penenang habis Laila bangun dan mengamuk lagi. Hendra, Pak Tono dan Bu Tari sempat kewalahan hingga meminta dokter untuk memberikan obat lagi, tetapi dokter tidak mau. Sebab, akan membahayakan janin dalam kandungan.Akhirnya Dokter mampu menenangkan Laila dengan kalimat peyemangat dan menjanjikan setelah melahirkan akan membantu menurunkan berat badannya, tetapi saat ini Laila lebih banyak diam, hanya sesekali saja mau bicara.Hendra memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing mengingat bagaimana terpukulnya Bu Tari setelah Laila kembali tenang."Kenapa Laila sampai kayak gitu, Ndra? Kenapa dia nggak mau punya anak? Kamu apakan anak orang, Hendra?" Bu Tari mencecar berbagai pertanyaan diiringi isak tangis. "Laila nggak mau tubuhnya rusak, Bu
"Mas janji bakal dampingi kamu selama kehamilan ini. Setelah lahir pun kalau kamu nggak mau mengurus anak kita, Mas akan sewa babysitter. Kamu tenang aja."Sampai begitu Hendra membujuk istrinya agar mau menerima kehamilan itu. Lelaki itu takut jika Laila sampai mengamuk lagi dan akan membahayakan diri sendiri serta janin yang baru saja dia ketahui kehadirannya."Mau aku tolak juga dia udah di sini dan mau nggak mau ya di terima. Tapi, aku nggak suka kamu dekat-dekat," ujar Laila, lalu berbaring dan menutup tubuh dengan selimut. Tidak ada sapaan Mas lagi Laila gunakan untuk memanggil Hendra. Jika mengingat kehamilan emosi dalam diri seakan ingin meledak.Tiba-tiba saja terlintas ide untuk memanfaatkan keadaan. Di mana dia menjadikan kehamilan untuk sedikit menjaga jarak dengan Hendra.Hendra tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari mulut Laila. Terselip bahagia dan sedikit kecewa. Sebab, permintaan sang istri yang sulit diwujudkan, tetapi demi anak dia akan berusahan untuk t
Dua hari berlalu, kini Laila telah berada di rumah setelah dua hari mendapat perawatan. Laila diperbolehkan pulang, tetapi harus istirahat total, sebab kandungan yang sedikit lemah. Apalagi Laila terus saja muntah, hampir sepanjang hari. Sudah dua hari juga Bu Tari menginap membantu Hendra merawat istrinya. Pasalnya, lelaki itu bingung apa yang harus dilakukan saat Laila muntah dengan hebatnya. Ini merupakan hal baru dan tentu saja yang pertama, tentu saja membuat dia kewalahan.Dibantu Bu Tari, wanita berambut panjang itu menuruni tangga. Dia ingin bersantai di taman, begitu katanya saat di kamar tadi."Aduh! pelan-pelan, dong, Buk." Kakinya terbentur tangga."Hati-hati, Nduk." Bu Tari mengeratkan pegangan di tangan sang menantu."Hati-hati, Ibuk yang nggak bejus," gerutu Laila seraya menuruni tangga dengan sedikit kasar.Bukan Bu Tari yang lalai, tetapi Laila sengaja agar mertuanya itu tidak betah di rumahnya. Sejak Bu Tari datang, Laila tidak bisa bebas melakukan apapun yang dia m
Tidak ada bantahan ataupun suara dari Hendra, membuat kening Bu Tari berkerut dalam. Beliau tidak tahu anaknya itu membela atau malah menyalahkan dirinya. Andai saja semua ini bukan permintaan Hendra, mungkin Bu Tari sudah pulang ke rumah. Membiarkan suaminya sendiri, tetapi dengan menantu sendiri tidak di hargai.Derap langkah dari lantai atas terdengar semakin dekat menuju tangga. Bu Tari yang sedari tadi mencuri dengar segera pergi menuju dapur. Takut jika itu Laila.Di ujung tangga Hendra tersenyum mendapati ibunya tengah mencuci piring. Ruang tengah dan dapur saling terhubung sehingga dari ujung tangga pun bisa langsung melihat aktivitas di dapur."Sini, biar Hendra aja yang cuci. Ibuk istirahat aja." Hendra ingin mengambil alih spons di tangan Bu Tari.Namun, Bu Tari segera menepisnya."Udah, nggak apa, Le. Kamu aja yang istirahat. Baru pulang kerja pasti capek kan." Wanita setengah baya itu terus melanjutkan mencuci piring tidak dibiarkannya Hendra memegang piring kotor yang