“Huuuu ….”Terdengar sorak sorai dari luar rumah. Masih banyak orang yang mencaci maki keluarga Bu Sulis dari luar rumah. Bahkan ada yang melempari rumah mereka dengan telur dan tomat busuk. Sepertinya, kali ini warga tak bisa tinggal diam. Mereka benar-benar muak. Sebenarnya komplek perumahan ini cukup aman dari gossip. Warganya tak begitu suka mencampuri urusan orang lain. Mereka sibuk akan pekerjaan rumah dan juga kantor mereka. Tapi kenapa kali ini mereka kompak mendatangi rumah Bu Sulis dan melabraknya? Alasannya tentu saja sangat jelas. Hampir semua orang pernah bermasalah dengan keluarga itu. Bu Sulis suka mencari masalah dan menguji kesabaran para tetangganya itu.“Aku gak mau tinggal di sini lagi, Mas. Bawa aku pindah dari sini,” rengek Nesi pada Handi.“Kur4ng 4jar. Kenapa mereka bisa tiba-tiba tahu rahasia kita, sih?” Bu Sulis nampak geram. Gemerutuk giginya terdengar oleh yang lainnya. Wajahnya semakin nampak seram.“Siapa lagi kalau bukan si wanita tua itu pelakunya, Bu.
“Mas Lingga?” Agnes terkejut melihat kedatangan suaminya.Agnes dengan susah payah mendorong kursi rodanya hingga ke ruang tamu. Dia ingin secepatnya bertemu dengan sang suami. Sudah sebulan lebih mereka dipisahkan oleh jarak.“Sini, Nak! Ibu bantu.”Bu Ines dengan sigap membantu menantunya untuk lebih dekat dengan sang putra.Kini Lingga dan Agnes berjarak beberapa centimeter saja. Mereka saling pandang. Mata Agnes berkaca-kaca karena menahan rindu berkepanjangan. Sedangkan Lingga hanya mematung dengan wajah datar. Hal itu sontak membuat Agnes keheranan.“Peluk aku, Mas! Kenapa kamu diam saja? Apa kamu gak suka kita bersatu lagi? Aku janji, mulai hari ini … tak akan ada yang memisahkan kita lagi. Termasuk Mbak Bulan."Agnes menggantung kedua tangannya ke depan. Berharap sang suami akan menghampiri dan memeluknya. Tapi itu tak kunjung terjadi, hingga semua orang pun dibuat semakin keheranan.“Nak Lingga. Kamu kenapa? Liat Agnes! Dia begitu senang kamu bebas dari penjara. Peluk lah dia
“Sayang, tunggu!”Lingga berlari mendekati Bulan.“Sayang, kamu mau berangkat kerja, ya?”“Emm … tolong panggil nama aja, Mas! Sebentar lagi kita sudah berstatus mantan.”Bulan berusaha melepaskan genggaman Lingga di tangannya. Dia merasa risih. Apalagi setelah melihat sosok Agnes memantaunya dari rumah tetangga.“Tapi kita belum resmi berpisah, Sayang. Apa salahnya kita bermesraan seperti dulu? Sebenarnya aku juga ingin sekali rujuk denganmu.”“Lepasin, Mas! Lihat di sana!” tunjuk Bulan ke rumah tetangga. “Istrimu lihat. Nanti dia dan keluarganya salah paham. Aku benar-benar malas berurusan dengan mereka lagi. Sudah, ya. Aku mau berangkat kerja.”“Eh tunggu dulu, Say ….”“Bulan, Mas. Bulan. Jangan panggil sayang lagi.”Lingga menghembuskan nafas kasar mendengar permintaan Bulan. Pada akhirnya dia menuruti keinginan wanita itu.“Iya, deh. Bulan. Emm … apa aku boleh nebeng?”Bulan terkejut. Kenapa tiba-tiba Lingga ingin ikut dengannya? Memangnya pria itu mau kemana? Bukankah dia sudah
“Habis ini gak boleh jajan lagi, ya!"Sella menasehati anaknya untuk irit. Tak boleh jajan terus.“Nih anak bener-bener, deh. Ngajakin keluar pas matahari lagi terik-teriknya.”Sella masih menggerutu. Sedangkan anaknya tetap mengekor di belakangnya. Anak itu tak banyak cakap maupun tingkah. Jika keinginannya mau dipenuhi, maka dia tak boleh membuat Sella semakin marah.Saat Sella ingin mengeluarkan sepeda motornya dari garasi, tak sengaja mata indahnya menangkap sesuatu yang mengejutkan. Di rumah Bulan terdapat pergerakan yang mencurigakan. Ada dua orang wanita yang terlihat celingak-celinguk mengawasi sekitar. Dia menyasar pintu rumah Bulan.“Siapa itu?” Sella memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas.“Astaga. Nesi? Bu Sulis? Benarkah mereka? Mau ngapain mereka masuk ke rumah Bulan? Bukankah jam segini Bulan masih bekerja?”Sella mulai mendekat. Dia ingin mengintip aksi ibu dan anak itu. Tapi apa daya. Ada anak kecil di belakangnya yang menangis memanggil dirinya Ibu.“Ayo, Bu!
“Laporkan saja ke polisi, Mbak! Biar mereka jera. Biar mereka tak berani macam-macam lagi. Biar gak banyak tingkah.”“Iya. Laporkan saja! Biar komplek ini terbebas dari makhluk-makhluk macam mereka.”Orang-orang sangat bersemangat melihat keluarga Bu Sulis masuk penjara. Mereka memengaruhi Bulan untuk melaporkan keluarga itu ke polisi.“Lagian pak polisi kemana, sih? Dari tadi gak muncul-muncul. Beneran ditelponin kan, Pak?” tanya seorang tetangga pada security komplek.“Coba saya cek lagi, Bu. Tenang dulu, ya!"Security itu memeriksa ponselnya. Dan ternyata dia lupa memencet tombol kirim pesan ke salah satu temannya yang bekerja di kantor kepolisian.“Jadi dari tadi pesannya belum terkirim, Pak?” tanya para tetangga.“He he. Iya. Sekarang saya telepon, ya.”Melihat security komplek ingin menelpon pihak kepolisian, Bu Sulis kembali mengamuk. Dia benar-benar tak ingin dijebloskan ke penjara.“Sudah, Pak! Gak usah telepon polisi. Saya sudah memaafkannya. Kita selesaikan secara kekeluarg
“Heh, kamu jangan ngaku-ngaku istri Handi, ya! Mana mungkin Handi punya istri gemb3l kayak kamu,” ucap Bu Sulis.“Iya benar. Saya istri kedua Mas Handi. Lihat lah! Kita sangat jauh berbeda. Lagipula, Mas Handi itu orang kaya. Mana mungkin mau sama perempuan kayak kamu,” Nesi ikut menimpali.Perempuan lusuh itu nampak terkejut. Dia tak percaya dengan perkataan yang terucap dari mulut Nesi.“Apa? Istri kedua? Mas Handi menikah lagi?”Perempuan itu nampak bersedih. Dia bahkan jatuh lemas dan terduduk di teras depan. Merasa tak percaya dengan kenyataan ini.“Udah, udah! Gak usah drama! Gak akan ada yang percaya dengan aktingmu. Di lampu merah banyak nih muka memelas kayak kamu. Pergi kamu!” Bu Sulis segera mengusir perempuan itu.Tak mau beranjak. Perempuan itu tetap kekeh berdiri di depan pintu. Dia ingin bertemu Handi. “Duuuh, pusing. Minggir!”Bu Sulis mencoba mendorong perempuan itu untuk menjauh dari pintu. Dia ingin menutup pintu. Tapi salah satu kaki perempuan itu menghalangi.“Ak
“Kalian siapa, ya?”Seorang wanita paruh baya dengan penampilan mewah, menatap tiga orang di depannya dengan sinis.“Maaf, Nyonya. Mereka menerobos masuk begitu saja ke dalam.”Seorang pria dengan pakaian security terlihat ketakutan di hadapan tuannya. Takut dikatakan tak becus dalam bekerja hanya gara-gara tiga tamu asing ini.“Sudah, gak apa! Biar mereka, saya yang urus. Kamu balik ke pos!”Sangat berwibawa. Bahkan tiga tamu asing itu sempat terkesima dengan pembawaan si tuan rumah. Dalam hatinya, mereka kagum akan sosok wanita berpenampilan mewah itu.Tapi itu hanya sesaat, karena salah satu tamu asing itu mulai melancarkan aksi tak tahu dirinya. Dia adalah Bu Sulis.“Biarkan kami masuk. Minggir!”Bisa-bisanya Bu Sulis bersikap tak sopan di rumah orang. Tuan rumah di sana yang kini diketahui bernama Nyonya Anjani, berusaha untuk diam dan ingin melihat lebih jauh maksud tamu-tamu asing ini bersikap tak sopan pada dirinya.Sedangkan Bu Sulis sudah melenggang masuk tanpa memedulikan s
Enam bulan kemudianLingga dan Bulan telah resmi bercerai. Lingga semakin uring-uringan. Sampai saat ini, dia tak punya penghasilan tetap. Dia pun hanya mendapat harta gono-gini sebesar lima juta rupiah. Uang itu tak dimanfaatkan dengan baik olehnya maupun keluarganya.Lingga tak ingin pindah ke kampung. Dia menyuruh sang Ibu untuk menjual semua hartanya di kampung untuk biaya hidup di kota.“Gengsi lah, Bu. Apa kata orang kalau aku tinggal lagi di kampung? Apalagi istri yang kubawa beda. Ahhh … pokoknya ribet. Males denger pertanyaan-pertanyaan orang.”Begitu lah ucapan Lingga dulu saat ibunya meminta dia untuk kembali ke kampung. Karena terus didesak oleh anaknya, pada akhirnya Bu Ines menjual semua hartanya di kampung dan tinggal permanen di kota. Sayang beribu sayang, uang hasil penjualan harta itu tak cukup untuk membeli rumah di kota. Mereka hanya bisa mengontrak dan bertahan hidup dengan sisa uang itu.“Kamu gak nyari kerja, Ngga? Uang Ibu sisa sejuta saja. Sampai akhir bulan