“Ryan, di mana dia?” Ben bertanya dengan mulai sedikit agak cemas.Ryan yang sedari tadi menjadi salah satu pengawal senior yang bertugas di bagian belakang pun segera celingukan mencari keberadaan Riley.Wajahnya seketika memucat kala dia tak menemukan keberadaan pemuda itu, “Sial. Dia tak ada, Ben.”“Apa yang dia lakukan?”“Kenapa calon prajurit baru ini tak ada yang benar? Yang satu menghilang di depan mata kita dan satu lagi pergi diam-diam!”“Mereka suka membuat kita dalam masalah ya?” gumam prajurit senior yang lain juga. Wajah telah memerah karena marah.Ben tak bisa meluapkan emosinya saat ini. Dia sadar bila tak ada gunanya melampiaskan kekesalannya. Dia malah bisa mendapatkan jauh lebih masalah jika melakukan hal itu.Ben yang sangat gusar itu pun akhirnya berkata, “Ayo, kita cari mereka!”Ryan dan beberapa pengawal senior mengeluh. Tetapi, mereka tak mungkin bisa menolak. Ben yang tahu teman-temannya itu tampak terbebani pun berkata, “Kita harus segera menemukan anak itu d
Alen seketika berlari ke arah barisan di mana para prajurit staf medis berada. Dia ikut berbaris bersama dengan teman-temannya yang lain.Selain itu, semua prajurit di sana, baik prajurit senior dan calon prajurit terlihat berbaris di tempat yang berbeda.Hal itu untuk memudahkan para prajurit dengan jabatan tinggi seperti komandan memeriksa para prajurit mereka.Greg Sehel berputar dan menyapu arah pandangannya ke arah para calon prajurit yang berbaris di bagian kanan. Pria itu mengerutkan kening, “Kenapa aku tidak melihat dua anggota calon prajurit dari kelompok ini?”Salah satu prajurit senior yang mendapatkan tugas menelan ludah sebelum menjawab, “Komandan, dua calon prajurit dari kelompok ini menghilang.”Mata Greg Sehel terlihat melotot seakan hampir loncat dari tempatnya, “Apa? Menghilang? Bagaimana hal itu bisa terjadi?”Napas sang komandan mulai memburu seperti seakan menahan rasa amarah, “Katakan padaku! Bagaimana kalian bisa kehilangan mereka berdua?”“Riley Wood dan James
Seorang temannya menjawab dengan sambil merintih kesakitan, “Dia memang tidak membunuh kita, tapi dia … melumpuhkan kita.”“Apa dia berniat membuat kita tersiksa dan mati secara perlahan?” sambung temannya yang lain.Sang ketua kelompok itu tertatih-tatih mencoba bangkit meskipun kakinya begitu kesakitan. Dia menjawab, “Kalau dia menyiksa kita, setidaknya dia pasti akan menembak di bagian yang menyakitkan. Lihatlah luka kalian semua!”“Dia … hanya mencoba membuat kita tak bisa memegang senjata atau … berjalan. Itu artinya dia memang benar-benar tidak ingin membunuh kita,” lanjut sang ketua.Seseorang malah mengumpat, “Bajingan! Kenapa dia melakukan itu? Apa dia pikir kita ini bukan lawannya?”Sang ketua menggeleng dengan susah payah, tenaganya telah terkuras habis karena menahan rasa sakit, “Aku tidak tahu niatnya apa. Tapi … yang pasti dia tidak membunuh kita. Motifnya apa, aku tak peduli.”“Lebih baik, cari cara menghubungi komandan! Cepat! Kita masih dibiarkan hidup, tapi … kalau k
Sang prajurit Kerajaan Fermoza itu memperlihatkan besi panas tepat di depan mata James Gardner dengan harapan pemuda yang dia perkirakan masih berusia sekitar awal dua puluh tahunan itu akan menyerah lantaran ketakutan.Sayangnya, apa yang dia inginkan tidak terjadi. Dia melihat prajurit muda dari Kerajaan Ans De Lou itu menatapnya tanpa secuil pun rasa takut dan malah berkata, “Silakan saja kau lakukan itu. Aku akan tetap menutup mulutku rapat-rapat.”Prajurit itu pun membelalakkan mata karena terkejut melihat keberanian pemuda itu. Dia pun membalas, “Oh, jadi kau tidak keberatan jika aku melubangi jantungmu itu? Tidak masalah kalau kau mati secara perlahan?”Masih tidak terlihat takut, James menjawab, “Tidak ada satu pun orang yang aku takuti di dunia ini, kecuali … ibuku.”Prajurit musuh itu pun tertawa mengejek, “Ah, begitu. Lalu, bagaimana jika ibumu melihat mayatmu yang mati dengan mengerikan?”Dia menatap James dengan senyuman miring, tapi James tetap teguh pada pendiriannya da
James Gardner tertawa renyah, senang melihat kepanikan yang terjadi di antara pasukan musuh yang kini tak berdaya itu.Si pasukan yang tersisa itu langsung tersinggung, “Kau menertawakan kami?”James di sela-sela tawanya itu menjawab, “Tentu saja. Siapa lagi yang bisa membuatku tertawa?”James melirik sebuah nama yang terpasang di bagian kanan seragam tempur pria itu. Edwin Grace. “Brengsek. Kau tertawa di saat nyawamu ada di tanganku, kau pikir dia akan berhasil menyelamatkanmu?” ucap Edwin.James menyeringai, “Dasar bodoh! Kau itu sadar atau tidak? Orang itu sudah berhasil membuat teman-temanmu tersungkur. Kalau aku jadi kau, aku pasti akan menyelamatkan diriku sendiri.”“Aku bukan pengecut,” balas Edwin sembari mengedarkan mata, mengawasi setiap sudut hutan. Dia tak mau si penyerang itu melihatnya lengah dan akhirnya juga menyerangnya.James ingin membuka mulut lagi untuk membalas, tapi Edwin berteriak lagi, “Kalau kau tidak keluar, temanmu ini akan mati.”James menggigit gigi da
James tidak tersinggung dan malah terkekeh, “Aku hanya lelah.”“Lelah? Kau bodoh atau bagaimana?” balas Riley, semakin jengkel."Aku lelah karena hinaan itu," kata James dengan nada lirih.James meringis kala kakinya yang tulangnya patah itu membentur batu saat mereka berjalan melewati bebatuan.Riley sontak menoleh dan melirik ke arah kaki James yang tak berdarah tapi terlihat menggantung. Tanpa memeriksa kaki itu saja, Riley sudah bisa menduga bila kaki kanan James itu sudah patah.James bukan orang lemah yang akan mengeluh jika dia sakit. Pria itu akan berlagak kuat dan tak menderita apapun. Namun, melihat James tak menyembunyikan rasa sakitnya itu dari dirinya, Riley dengan cepat beranggapan bila l
“Hei, jangan diam saja! Kau membuatku bosan,” kata James sembari mendengus kesal.Riley tetap beradu pandang dengan James yang masih menaikkan alis, menunggu penjelasan.Apakah karena rasa bersalah? Tapi, mengapa?Riley juga tidak tahu bagaimana dia menjawabnya. Dia sendiri tak bisa memahami tindakannya itu. Pemuda yang kakinya sedang terluka itu memang telah tumbuh dari bayi tanpa kehadiran ayahnya. Meskipun semua itu berkaitan dengan ayahnya, tapi tetap saja semua yang menimpa James itu bukan kesalahan ayahnya.Jika sudah begitu, bukankah seharusnya dia tidak perlu memiliki rasa bersalah pada pemuda itu?Lalu, mengapa dia melakukan hal ini? Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya dia melakukan hal yang paling berbahaya di dalam hidupnya. Hal yang dia lakukan kali ini tidak seperti melanggar peraturan istana yang hanya akan berakhir dengan sebuah hukuman, tapi tentu saja tak sampai harus mengorbankan nyawanya.Akan tetapi, saat ini dia benar-benar mempertaruhkan nyawanya di wila
“Ryan, hentikan!” pekik Ben, sang ketua kelompok yang dengan cepat berlari ke arah Ryan yang telah mencengkeram leher Riley.Riley bukan tak bisa melawan prajurit senior itu, tapi dia seolah tahu bila akan jauh lebih baik jika dia diam saja. Bagaimanapun juga, dia memang telah melanggar peraturan dan sudah tentu telah membuat marah para prajurit senior itu.Ryan masih tak mau melepaskan cengkeramannya pada Riley sehingga Ben dengan terpaksa ikut bertindak dengan menarik Ben menjauh dari Riley.“Kau membelanya, Ben? Yang benar saja. Gara-gara dia, Komandan Sehel murka,” teriak Ryan dengan sambil menggeram marah.“Cukup, Ryan! Kendalikan dirimu!” kata Ben tajam.Riley masih terdiam, tak berani berkata apapun. Sementara James masih berdiam diri di tempatnya. Dia mendengar keributan kecil itu dan memilih untuk tak membuat tindakan apapun agar semuanya tak memburuk.Ryan mendesis, “Apa-apaan kau ini? Dia dan temannya itu yang harusnya mengendalikan rasa ingin tahunya yang tinggi itu. Bukan