"Kena kau," Alen berujar ketika dia berhasil menarik tangan salah satu dari kelima calon prajurit itu. Namun, sayangnya sang prajurit tidak menyerah begitu saja dan melakukan perlawanan yang sengit. Alen berusaha mengunci lengannya, tapi ternyata sang calon prajurit dengan bendera berwarna ungu itu masih berhasil melepaskan diri. Dia lalu berlari cepat."Oh, tidak. Aku tidak akan melepaskanmu," Alen berkata sembari mengejarnya dengan penuh semangat.Sementara itu, Riley sudah berhasil menjatuhkan seorang pemuda dengan wajah lonjong dan memiliki tubuh yang jauh lebih pendek darinya. Segera dia menahan kedua tangan lawannya itu agar dia tak bisa bergerak."Lepaskan aku, sialan!" sang lawan mengumpat tapi Riley mengabaikannya dan dengan gerakan gesit mengikat kedua tangan calon prajurit yang memberontak mati-matian itu."Brengsek, apa yang sedang kau lakukan?" mata sang prajurit yang memiliki pin musang sebagai lambangnya itu melotot dengan sempurna.Riley pun hanya berkata, "Tenanglah!
Riley tidak membalas dan malah segera berjongkok untuk memeriksa luka Warren. Begitu Riley memegang kaki Warren yang masih meneteskan darah itu, Warren seketika meringis, "Oh, apa kau sedang menambah penderitaanku?"Sekali lagi Riley tidak membalas perkataan temannya itu dan malah menoleh ke arah Dean, teman mereka yang bersama dengan Warren itu, "Dean, bagaimana kejadian yang sebenarnya?"Dean sontak mendesah dan mulai bercerita, "Kami baru saja dari gudang makanan dan ketika kami hendak menyusul kalian, ada beberapa orang yang menyerang kami, ingin merampas pin milikku. Warren berusaha menghalanginya dan berhasil. Ya, sayangnya ada salah satu dari mereka yang memiliki pisau dan dengan agresif menyerang Warren."Alen ternganga. "Ini gila! Yang memiliki pisau itu bukan hanya dia, Riley juga punya. Tapi ... dia tidak pernah menggunakannya untuk menyerang calon prajurit lain."Warren berujar, "Tapi ... akhirnya mereka kabur, dasar pengecut!"Pria muda tertawa renyah meskipun kemudian la
Warren mengertakkan gigi, "Sukarela? Apa kau pikir kami selemah itu?""Kami memiliki ketua yang menempati peringkat satu, kalau kalian lupa," Alen berkata dengan tatapan menantang.Salah seorang dari mereka meludah begitu mendengar ucapan Alen, seolah bermaksud menghina Alen dan kawan-kawannya itu. Alen mengepalkan tangan sementara pria muda yang meludah itu menyeringai, "Dan di mana si Wood itu? Kenapa aku tak melihatnya? Bukankah tadi dia bersama dengan kalian?"Dean hendak menjawab tapi si pria kurang ajar yang sekarang mendecih itu kembali berkata, "Dia pasti kabur dan meninggalkan kalian di sini."Suara tawa mengejek pun membahana di antara sekelompok calon prajurit yang berasal dari kelompok 3 dengan tanda kain merah di lengan mereka itu."Oh, sudahlah. Tak perlu membuang waktu, ayo kita ambil pin mereka dan segera pergi dari sini," ucap salah seorang anggota kelompok yang sudah tidak sabar.Dia pun memberi instruksi pada teman-temannya untuk segera menyerang tiga orang lawan m
Sayangnya, meskipun tiga orang itu menyerang Riley secara bersamaan, mereka masih tak bisa mengalahkan Riley. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, Riley berhasil meringkus mereka.Riley mengikat mereka dengan tali sambil menahan serangan yang datang dari anggota kelompok tiga itu yang cukup membabi buta. Akan tapi, lagi-lagi Riley menunjukkan kemampuan yang mengagumkan saat dia berhasil membuat enam orang terikat pada pohon hanya dalam waktu yang sangat singkat.Kini, tinggal empat orang lawannya yang menatap penuh takjub, heran sekaligus ngeri ke arah Riley. "Ba-bagaimana dia bisa melakukannya?" Damian bertanya dengan kaki bergetar.Dia memang melihat bagaimana Riley menendang tapi tangannya juga sibuk mencengkeram temannya yang lain dan secara bersamaan dia juga menyikut lawannya yang lain. Sungguh, dia bisa melakukan pertahanan diri sembari menyerang tanpa terluka sedikit pun."Dia ... sangat cepat dan tangkas. Aku ... aku tak berani," salah seorang dari mereka menelan ludah.Da
Warren sontak bersiap-siap, seolah akan menyerang James. Tapi, ternyata di luar prediksi mereka, James malah mengangkat kedua tangan.Riley sontak mendesah, sementara Dean saling lempar pandang dengan Warren yang terlihat juga bingung arti dari gerakan itu.Sedangkan Riley bertanya dengan nada heran, "Kau sendirian?""Hm," jawab James singkat, masih dengan tangan terangkat."Lalu, di mana anggota kelompokmu?" tanya Alen yang celingukan mencari-cari teman satu kelompok James. Tapi tak dia temukan siapapun di belakang James. Pria muda itu benar-benar sendirian.James malah balas balik bertanya, "Omong-omong sampai kapan aku harus mengangkat tanganku?"Riley mendengus, "Dan siapa yang menyuruhmu untuk mengangkat tangan?""Oh, sialan!" umpat James.Dia menurunkan kedua tangannya dengan jengkel.Pria itu berjalan mendekat ke arah mereka dengan begitu santai.Hal itu membuat Warren melotot kaget, "Apa yang mau kau lakukan?""Riley, kenapa kau diam saja?" Dean bertanya penuh kebingungan.Ja
Greg mengangkat bahu, "Dia terlihat terlalu akrab dengan putra Jody Gardner. Kau lihat sendiri kan, Jenderal? Dia bahkan tidak menyerang James Gardner dan malah menghindarinya."Andrew menggelengkan kepala dan membuang napas dengan kasar. Sementara Keannu berujar tanpa menoleh pada perkiraan yang juga dia anggap sebagai tebakan konyol itu, "Kalau dia memang putra dari salah satu anak buah Jody Gardner dulu, dia pasti akan langsung mengungkap kesetiaannya secara terang-terangan.""Yang Mulia, kalau masalah itu bisa saja dia memang diperingatkan oleh ayahnya kalau dia tak boleh terlalu terus terang berada di pihak James Gardner," bantah Greg, masih yakin akan tebakannya.Andrew tidak tahan lagi mendengarnya, "Astaga! Kau ini bodoh atau bagaimana?""Brengsek! Kau memang jenderal perang, tapi ....""Nyatanya kau memang bodoh, Greg." Andrew berkata dengan nada malas.Greg mengertakkan gigi, "Kalau bukan putra dari salah satu pengikut si pengkhianat kerajaan itu, lalu dia putra siapa?"And
William seketika menoleh ke arah sang istri dan memegang bahunya, mencoba menenangkan istrinya meskipun dirinya sendiri mulai tidak tenang.Dia lalu kembali memutar arah pandang ke arah gadis muda yang merupakan putri dari sahabatnya itu. "Mary, kau tidak salah soal ini kan? Jody Gardner ... memiliki seorang putra? Mengapa dulu aku tak pernah mendengar tentang hal itu?" William masih terdengar sulit mempercayainya. Mary pun menjelaskan, "Kami tidak tahu bagaimana tepatnya, Jenderal Mackenzie. Namun, jika dilihat dari catatan kelahiran milik James Gardner, kemungkinan besar, ibunya, Dorothy Winks pergi dari istana saat dalam keadaan sedang mengandung. Dan ... ada kemungkinan jika Jody Gardner sendiri tidak tahu kalau kekasihnya sedang hamil."William pun mengerutkan kening, seolah mencoba menggali ingatannya kembali. Kejadian itu memang sudah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu, tapi dia yakin bisa mengingat kejadian. Samar-samar dia pun teringat bila saat itu Dorothy Winks memang
"Ya," William lagi-lagi menjawab singkat.Sebelum Mary sempat mengajukan pertanyaan pada sang jenderal perang yang pernah mendapatkan julukan "Dewa Maut" itu, Cassandra yang telah hidup bersama suaminya selama hampir dua puluh lima tahun itu bertanya dengan mata menyorot setengah tidak percaya, "Kau akan merahasiakan kedatanganmu ke istana, Bill?"William menyungging sebuah senyum samar pada sang istri, "Kau benar-benar mengenalku dengan sangat baik, Cassie."Cassandra mendengus, "Kita berdua sudah hidup bersama selama hampir separuh hidupku, tentu saja aku bisa menebak jalan pikiranmu.""Tapi ... mengapa kau ingin merahasiakannya?" Cassandra kini bertanya dengan alis tebalnya terangkat ke atas."Karena aku hanya ingin berbicara dengan Riley, bukan bertemu dengan orang-orang di dalam istana," jelas William dengan tegas.Dia masih tetap pada prinsipnya, tak mau berurusan terlalu dalam dengan kehidupan istana yang telah lama dia tinggalkan. Yang dia pedulikan hanyalah hal yang menyangku