Share

Bab 6 : Teringat Masa Lalu

"Kau ... apa yang kau lakukan!" Li jing menepuk dahi dengan sebelah tangan.

Sementara itu, Larasati mengedipkan mata seakan-akan tak mengerti. "Aku hanya membantumu."

"Kau menghancurkan acaranya dan membuat awak media memburu kita sekarang!" gerutu Li Jing.

"Ah, aku minta maaf," ucap Larasati. "Aku benar-benar tidak bermaksud merepotkan." 

Meski Li Jing sangat marah, tetapi semua telah terlanjur, bahkan Larasati yang merasa bersalah sebelumnya juga tidak tahu bahwa Li Jing tak menyukai tindakannya. 

"Kita tidak bisa pulang ke rumah. Aku akan mencari tempat untuk beristirahat," kata Li Jing yang berusaha menenangkan diri, walau begitu masih tidak mau menatap Larasati. 

***

Matahari telah terbit menyinari jagat raya, pagi pun menjelang. Sementara Larasati tertidur, Li Jing masih mengemudikan mobil menuju pegunungan. Keduanya telah meninggalkan kota, juga menyeberang pulau. 

Sesaat Li Jing memperhatikan Larasati, sebelum terfokus kembali pada jalanan di depan. Kereta tanpa kuda, berhenti di halaman sebuah penginapan. Larasati segera terbangun dari tidur, menggeliat, lalu menoleh Li Jing di sampingnya. 

"Di mana kita?" tanya Larasati sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. 

"Penginapan," jawab Li Jing. 

Mata Larasati seketika membelalak. "Apa?" 

"Aku sudah mengatakan semalam. Apa kau tidak dengar?" Li Jing menatap benci Larasati. 

Perlahan bidadari itu tersenyum bodoh. "Aku lupa." 

"Kita akan tinggal sementara waktu di sini." Li Jing melangkah turun dari mobil, Larasati menyusul kemudian. Pria itu berjalan menuju resepsionis, sedangkan Larasati tetap menunggu di belakang. 

"Aku memesan dua kamar. Untuk aku dan wanita ini." 

"Baik, tunggu sebentar," pinta pegawai hotel yang segera mengambilkan dua kunci kamar, lalu menyodorkannya di meja. 

"Silakan." 

"Terima kasih," ucap Li Jing. Pria itu menoleh Larasati, sebelum akhirnya kembali mengalihkan pandangan ke depan. 

Resepsionis tersenyum ramah dan menaruh rasa hormat. "Sama-sama." 

Li Jing dan Larasati berjalan mencari kamar masing-masing. Setelah menemukan nomor yang sama dengan yang tertera di kunci pintu pun dibuka. Larasati segera memasuki kamar untuk melihat-lihat. 

"Kau jangan berbuat kekacauan di sini!" Li Jing memberi peringatan. 

Senyum mengulas di wajah Larasati, sebelum berbalik dan menatap lawan pria tersebut. "Aku janji." 

Tanpa menunggu lama, Li Jing sendiri segera memutar diri sebab merasa lelah dan ingin beristirahat.

"Kau mau ke mana?" tanya Larasati. 

Lagi-lagi Li Jing dingin menyikapi. "Kamarku di sebelah."  

"Li Jing, aku benar-benar meminta maaf. Karena diriku, kau tidak bisa kembali ke rumah!" sesal Larasati. "Aku pikir, aku bisa membuatmu lega dengan menghentikan wawancara dan pestanya. Aku tau kau menyukai wanita muda itu!" 

"Konyol sekali.” Walau mengelak, mata Li Jing menyiratkan kecemburuan pada Ying Fei. Kemudian, dia melanjutkan langkah pergi meninggalkan Larasati. 

***Sang Dewi***

Indah suasana di sore hari, semburat sinar matahari yang mulai menguning merasuk lewat jendela. Silir angin bertiup menambah hawa sejuk pegunungan. 

Larasati berdiri sembari sesekali menyesap teh panas di sebelah tangannya. Bibir tipis semerah jambunya membentuk senyuman kala menikmati pemandangan, sebelum memudar saat matanya tak sengaja melihat sesuatu. 

Bidadari tersebut segera menaruh cangkir teh di meja, rasa berkecamuk di dalam hati menuntun langkahnya yang perlahan ke luar dari jendela, lalu menuju ke lereng gunung. 

Tak berselang lama, Li Jing memasuki kamar, dia terkejut mendapati Larasati tak ada. Hanya secangkir teh panas di meja yang menjadi petunjuk. Sewaktu menoleh ke arah luar, terlihat Larasati telah berada di kejauhan. Li Jing segera menyusul Larasati karena ingin tahu apa yang dilakukan bidadari tersebut. 

Sementara itu, Larasati sendiri tengah memperhatikan lereng gunung yang tersaji. Matanya memindai ke sekitar, lalu menghampiri sebuah batu andesit kuno.

'Panjalu Jayati 1035 Saka.' 

Dada Larasati serasa sesak ketika jemari tangannya menyentuh aksara yang tertulis, tentu saja dia tak akan lupa pada masa lalu. Rasa rindu makin menyiksa batin, seiring ingatan Larasati yang mulai menerawang. 

***900 tahun lalu...

Mamenang menjadi tempat yang indah bagi dewi-dewi cantik, putri dari Istana Panjalu. Bagian besar kerajaan Kahuripan yang telah terbagi menjadi dua atas Jenggala di bagian timur dan Panjalu di bagian barat. 

Suara pedang terdengar beradu di taman berlatih, dua orang kakak beradik sedang sengit bertarung menggunakan jurus masing-masing. Larasati lihai dalam setiap gerakan, sabetan demi sabetan menguasai jurus sang kakak Jaya Amijaya, Pangeran kedua Panjalu. 

Sesaat kemudian, gadis berusia dua puluh lima tahun tersebut berlari kelelahan keluar dari taman, disusul sang kakak yang belum puas atas permainan. 

"Hei, aku belum kalah!" teriak Jaya Amijaya dengan napas ngos-ngosan. 

"Aku lelah, Kakak," sahut Larasati yang berdiri lemas di tirai pembatas. 

"Jaya, Sati, kalian sudah selesai berlatih?" tanya sesosok putri bertubuh ramping dengan balutan busana berwarna krem, dia adalah Pramesti.

Bukanya menjawab, Larasati justru menatap girang wanita bersanggul di hadapannya itu. "Kakak, aku baru saja akan ke kaputren mencarimu." 

Sang kakak membalas senyum. "Oh, ya ...." 

Cepat-cepat Larasati merangkul bahu sang kakak, tetapi matanya melirik Jaya Amijaya. "Untuk meminta pijit tentunya!" keluhnya. "Punggungku terasa sakit!"  

Setelah menyingkirkan tangan Larasati, Pramesti menoleh pangeran tersebut di belakang. "Apa kau menendangnya, Jaya?" 

"Tidak. Aku sama sekali tidak mengapa-ngapakan dia," sanggah Jaya Amijaya. 

"Kau tidak menendangku, tapi memukulku dengan pedangmu!" Larasati merasa kesal. 

"Ya, sudah, sudah," pinta Pramesti. 

"Sati, ayo ke keputren. Aku akan meminta dayang membuatkan ramuan obat agar rasa sakit di punggungmu membaik." Pramesti menuntun langkah Larasati menuju ke taman putri, mengabaikan Jaya Amijaya yang seketika tercengang melihat kelakuan si adik.

"Aku sangat menyukaimu, Kakak. Kau benar-benar tau apa yang adikmu ini butuhkan!" puji Larasati. 

Tentu saja Pramesti memahami sikap manis Larasati sehingga membalas senyum. "Kau akan selalu manja seperti ini jika ada maumu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status