"Kau ... apa yang kau lakukan!" Li jing menepuk dahi dengan sebelah tangan.
Sementara itu, Larasati mengedipkan mata seakan-akan tak mengerti. "Aku hanya membantumu." "Kau menghancurkan acaranya dan membuat awak media memburu kita sekarang!" gerutu Li Jing. "Ah, aku minta maaf," ucap Larasati. "Aku benar-benar tidak bermaksud merepotkan." Meski Li Jing sangat marah, tetapi semua telah terlanjur, bahkan Larasati yang merasa bersalah sebelumnya juga tidak tahu bahwa Li Jing tak menyukai tindakannya. "Kita tidak bisa pulang ke rumah. Aku akan mencari tempat untuk beristirahat," kata Li Jing yang berusaha menenangkan diri, walau begitu masih tidak mau menatap Larasati. *** Matahari telah terbit menyinari jagat raya, pagi pun menjelang. Sementara Larasati tertidur, Li Jing masih mengemudikan mobil menuju pegunungan. Keduanya telah meninggalkan kota, juga menyeberang pulau. Sesaat Li Jing memperhatikan Larasati, sebelum terfokus kembali pada jalanan di depan. Kereta tanpa kuda, berhenti di halaman sebuah penginapan. Larasati segera terbangun dari tidur, menggeliat, lalu menoleh Li Jing di sampingnya. "Di mana kita?" tanya Larasati sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. "Penginapan," jawab Li Jing. Mata Larasati seketika membelalak. "Apa?" "Aku sudah mengatakan semalam. Apa kau tidak dengar?" Li Jing menatap benci Larasati. Perlahan bidadari itu tersenyum bodoh. "Aku lupa." "Kita akan tinggal sementara waktu di sini." Li Jing melangkah turun dari mobil, Larasati menyusul kemudian. Pria itu berjalan menuju resepsionis, sedangkan Larasati tetap menunggu di belakang. "Aku memesan dua kamar. Untuk aku dan wanita ini." "Baik, tunggu sebentar," pinta pegawai hotel yang segera mengambilkan dua kunci kamar, lalu menyodorkannya di meja. "Silakan." "Terima kasih," ucap Li Jing. Pria itu menoleh Larasati, sebelum akhirnya kembali mengalihkan pandangan ke depan. Resepsionis tersenyum ramah dan menaruh rasa hormat. "Sama-sama." Li Jing dan Larasati berjalan mencari kamar masing-masing. Setelah menemukan nomor yang sama dengan yang tertera di kunci pintu pun dibuka. Larasati segera memasuki kamar untuk melihat-lihat. "Kau jangan berbuat kekacauan di sini!" Li Jing memberi peringatan. Senyum mengulas di wajah Larasati, sebelum berbalik dan menatap lawan pria tersebut. "Aku janji." Tanpa menunggu lama, Li Jing sendiri segera memutar diri sebab merasa lelah dan ingin beristirahat. "Kau mau ke mana?" tanya Larasati. Lagi-lagi Li Jing dingin menyikapi. "Kamarku di sebelah." "Li Jing, aku benar-benar meminta maaf. Karena diriku, kau tidak bisa kembali ke rumah!" sesal Larasati. "Aku pikir, aku bisa membuatmu lega dengan menghentikan wawancara dan pestanya. Aku tau kau menyukai wanita muda itu!" "Konyol sekali.” Walau mengelak, mata Li Jing menyiratkan kecemburuan pada Ying Fei. Kemudian, dia melanjutkan langkah pergi meninggalkan Larasati. ***Sang Dewi*** Indah suasana di sore hari, semburat sinar matahari yang mulai menguning merasuk lewat jendela. Silir angin bertiup menambah hawa sejuk pegunungan. Larasati berdiri sembari sesekali menyesap teh panas di sebelah tangannya. Bibir tipis semerah jambunya membentuk senyuman kala menikmati pemandangan, sebelum memudar saat matanya tak sengaja melihat sesuatu. Bidadari tersebut segera menaruh cangkir teh di meja, rasa berkecamuk di dalam hati menuntun langkahnya yang perlahan ke luar dari jendela, lalu menuju ke lereng gunung. Tak berselang lama, Li Jing memasuki kamar, dia terkejut mendapati Larasati tak ada. Hanya secangkir teh panas di meja yang menjadi petunjuk. Sewaktu menoleh ke arah luar, terlihat Larasati telah berada di kejauhan. Li Jing segera menyusul Larasati karena ingin tahu apa yang dilakukan bidadari tersebut. Sementara itu, Larasati sendiri tengah memperhatikan lereng gunung yang tersaji. Matanya memindai ke sekitar, lalu menghampiri sebuah batu andesit kuno. 'Panjalu Jayati 1035 Saka.' Dada Larasati serasa sesak ketika jemari tangannya menyentuh aksara yang tertulis, tentu saja dia tak akan lupa pada masa lalu. Rasa rindu makin menyiksa batin, seiring ingatan Larasati yang mulai menerawang. ***900 tahun lalu... Mamenang menjadi tempat yang indah bagi dewi-dewi cantik, putri dari Istana Panjalu. Bagian besar kerajaan Kahuripan yang telah terbagi menjadi dua atas Jenggala di bagian timur dan Panjalu di bagian barat. Suara pedang terdengar beradu di taman berlatih, dua orang kakak beradik sedang sengit bertarung menggunakan jurus masing-masing. Larasati lihai dalam setiap gerakan, sabetan demi sabetan menguasai jurus sang kakak Jaya Amijaya, Pangeran kedua Panjalu. Sesaat kemudian, gadis berusia dua puluh lima tahun tersebut berlari kelelahan keluar dari taman, disusul sang kakak yang belum puas atas permainan. "Hei, aku belum kalah!" teriak Jaya Amijaya dengan napas ngos-ngosan. "Aku lelah, Kakak," sahut Larasati yang berdiri lemas di tirai pembatas. "Jaya, Sati, kalian sudah selesai berlatih?" tanya sesosok putri bertubuh ramping dengan balutan busana berwarna krem, dia adalah Pramesti. Bukanya menjawab, Larasati justru menatap girang wanita bersanggul di hadapannya itu. "Kakak, aku baru saja akan ke kaputren mencarimu." Sang kakak membalas senyum. "Oh, ya ...." Cepat-cepat Larasati merangkul bahu sang kakak, tetapi matanya melirik Jaya Amijaya. "Untuk meminta pijit tentunya!" keluhnya. "Punggungku terasa sakit!" Setelah menyingkirkan tangan Larasati, Pramesti menoleh pangeran tersebut di belakang. "Apa kau menendangnya, Jaya?" "Tidak. Aku sama sekali tidak mengapa-ngapakan dia," sanggah Jaya Amijaya. "Kau tidak menendangku, tapi memukulku dengan pedangmu!" Larasati merasa kesal. "Ya, sudah, sudah," pinta Pramesti. "Sati, ayo ke keputren. Aku akan meminta dayang membuatkan ramuan obat agar rasa sakit di punggungmu membaik." Pramesti menuntun langkah Larasati menuju ke taman putri, mengabaikan Jaya Amijaya yang seketika tercengang melihat kelakuan si adik. "Aku sangat menyukaimu, Kakak. Kau benar-benar tau apa yang adikmu ini butuhkan!" puji Larasati. Tentu saja Pramesti memahami sikap manis Larasati sehingga membalas senyum. "Kau akan selalu manja seperti ini jika ada maumu."Sesampainya di taman putri, Larasati duduk pada sebuah gubuk dengan posisi bersandar pada dinding kayu, sementara Pramesti sendiri duduk di hadapannya. "Dayang, tolong buatkan ramuan khusus penghilang nyeri untuk Putri Larasati!" perintah Pramesti sembari menoleh pelayan yang baru datang. "Segera saya siapkan, Dewi Putri." Setelah menyatukan kedua telapak tangan sembari menundukkan kepala, pelayan itu pun melangkah pergi. "Kakak, kapan kau akan menikah? Kau selalu mengurus kami, kapan kau akan mengurus suami? Aku takut Putri Sulung Panjalu akan menjadi perawan tua," protes Larasati. "Kalau ada seorang pangeran yang melamar, Kakak juga mau menikah. Kau tak perlu berpikir sekeras itu, Sati." Pramesti tersenyum menyikapi. "Kalau begitu, aku akan meminta Ayah membuatkan sayembara untukmu," cetus Larasati yang memeriksa tatanan rambut kuncirnya. "Tidak perlu. Ayah baru saja pulang dari perang. Kau hanya akan merepotkannya," tolak sang kakak. Beberapa saat kemudian pelayan datang
Malam telah larut, suara hewan malam mulai mengisi keheningan. Larasati berjalan keluar dari kamar. Sembari melihat ke atas, dia terbang dan memijakkan kaki di atap, kemudian duduk dengan posisi memeluk lutut. Keindahan sang bulan purnama tersaji di langit bersama jutaan kerlap-kerlip bintang. Memandangnya makin membuat hati Larasati tersiksa oleh kerinduan, hingga embusan napas kasar keluar. Akan tetapi, masih juga terasa sesak dalam dada bidadari itu.Sekelebat bayangan sesosok makhluk menampakkan diri menghalangi sang bulan. Berwujudkan pria berambut panjang dengan paras tampan yang teramat menawan. Dari cahaya di tubuhnya yang berbalut busana berwarna putih, sudah dapat dikenali bahwa dia adalah Dewa Mandala, Putra Mahkota Istana Langit Agnicaya. Senyum tak lepas dari wajah sang Dewa yang memiliki dagu belah. Pembawaannya begitu tenang, seakan-akan mampu menyihir Larasati sehingga terus memandangi sampai pria tersebut turun dan duduk bergabung di sisi kanan."Bagaimana keadaan A
"Assalamualaikum, Pandhita." Larasati memberi salam. Pria bersorban berbalik, memperlihatkan sosoknya yang berbeda dari yang Larasati kira. " Waalaikumsalam." Seketika Larasati terkejut, ternyata sang Ulama bukanlah Syekh Maulana Ngali Samsujen, meski memiliki postur tubuh yang hampir sama dan sama-sama berwajah Persia. "Siapa, Nona, ini?" Pria tersebut bersikap ramah.Sadar telah salah orang, Larasati mengedipkan mata sembari tersenyum bodoh. "Maaf, tadi saya mengira Anda ... guru saya." Sang Ulama tersenyum menyikapi. "Silakan duduk dulu." Pria bersorban mengarahkan sebelah tangan dan mengambil tempat duduk bersila di lantai. Begitu juga Larasati yang segera menekuk lutut agar dapat bersimpuh. "Bagaimana Nona bisa mengira saya guru Nona? Siapa guru Nona?" tanya sang Ulama. "Saya akan menceritakan suatu kisah. 900 tahun yang lalu ...." Ingatan Larasati mulai menerawang. *** Jayabhaya kedatangan seorang ulama dari Mekkah. Dia segera turun dari singgasana menyambut baik tamu y
Di hutan, Larasati sedang mengarahkan anak panah pada seekor rusa di semak-semak. Namun, bidikannya meleset. Si hewan yang merasa terancam lari tunggang langgang. Pramesti dan Sasanti mentertawai gadis itu di belakang, lalu keduanya melangkah menghampiri. "Ah, sial!" Larasati menjadi kesal. "Cara memanahmu tidak terlalu bagus, Larasati," kata Pramesti. Larasati menoleh sang kakak dan menatap benci. "Kau harus belajar dariku, Kak!" ejek Sasanti. Larasati tak peduli, dia mengalihkan pandangan ke depan seraya mengayunkan tungkai. "Kalian berdua, senang sekali melihat kegagalanku." "Kakak, kau tak perlu khawatir. Aku benar-benar akan memperbaiki cara memanahmu." Sasanti menggoda gadis berkemban dengan bawahan rok putih itu, lalu bersama Pramesti mengimbangi langkah di belakang. "Sudahlah, jangan bersikap seperti anak kecil! Nanti Kakak buatkan sup jamur kesukamu. Lihat, Kakak mendapatkan banyak hari ini!" bujuk Pramesti dengan memperlihatkan rentengan tumbuhan berbentuk payung dala
Turun dari pesawat, Li Jing dan Larasati segera melangkah ke luar dari bandara. Ada beberapa orang berjas hitam mengapit keduanya, mereka adalah para bodyguard yang diminta Li Jing untuk mengamankan jalan. Walau telah memakai masker, aktor tampan tersebut masih menghalangi pandangan dengan cara menunduk. Namun, tetap saja ada yang mengenali dia hanya karena membawa asisten artis bernama Dong Min di sisi kanan. Para penggemar mulai bergerak mengerumuni, memfoto, dan berteriak histeris, bahkan di antara mereka ada yang berdesak-desakkan untuk melihat lebih jelas sang idola. Hal itu membuat Larasati kebingungan sehingga terus memperhatikan ke sekitar seraya memelankan langkah di belakang. Li Jing segera menyambar tangan bidadari itu. "Cepat!" perintahnya sembari menyeret Larasati menuju halaman. Pengawal membuka pintu, Li Jing memasukkan Larasati ke dalam mobil, disusul dia kemudian dari sisi kanan. Sementara itu, Asisten Dong Min segera menempati kursi kemudi. Setelah menyalakan me
Jumpa pers untuk acara promosi film tiba. Li Jing datang bersama Larasati dan juga Asisten Dong Min. Pria berkaus putih tersebut melempar senyum pada awak media, lalu beralih menatap Ying Fei dan Han yang berada tak jauh di depan. Wartawan segera mewawancarai. "Li Jing, siapakah Nona ini?""Apakah benar dia seorang penyihir?" "Lalu, bagaimana kalian bisa saling mengenal?" Sejenak Li Jing tersenyum menoleh Larasati di samping kiri, sebelum akhirnya, menoleh kembali awak media. "Dia temanku, Larasati. Kami bertemu saat sama-sama berlibur di Bali, setelah saling mengenal kami memutuskan untuk menjadi teman. Dia penyihir dari suku Jawa atau biasa dikenal sebagai dukun di berbagai belahan dunia," katanya. "Dukun?" Mata Larasati membelalak lebar, seketika dia menoleh aktor bergaya modis tersebut karena tak mengerti apa yang sedang dia katakan. "Soal kejadian di Asian Film Awards, aku meminta maaf. Dia memang suka lepas kendali, tapi semua tanpa kesengajaan." Li Jing mengklarifikasi.B
Di halaman, Larasati gugup sendiri sewaktu berjalan bersama pelayan tua di belakangnya. "Kalau begini aku bisa terlambat!" keluh Larasati yang memperhatikan pakaian sembari mengangkat bagian bawah kain jarik. "Putri, itu merusak dandananmu!" Pelayan memperingatkan, tetapi Larasati tidak peduli. Dia melanjutkan langkah sebelum terhenti kembali karena terkejut dengan sesosok pria di depan mata. Dharmasura 'Raja Asura dari Karpala' datang bersama Perdana Menteri Lokasura. Ketika melihat Larasati, sang Raja terpesona hingga matanya tak berkedip. Namun, semanis apa pun senyum yang dia berikan Larasati dingin hati. Gadis itu justru berlalu pergi. "Siapa putri cantik itu?" tanya Dharmasura pada Lokasura. "Dewi Laras Kencana, sang Prabu. Atau disebut juga Putri Larasati. Anak keempat Raja Jayabaya," jawab pria berparas tampan tersebut. Meski namanya Lokasura, tetapi Perdana Menteri Istana Karpala tersebut berwujud manusia, bukan golongan dari bangsa Asura. Selain tegas, pria bertubuh g
Di aula istana, Raja Jayabhaya melangkah menuruni singgasana. Tak jauh di belakang telah berdiri Permaisuri Sara, Jaya Amijaya, dan Perdana menteri Buta Locaya. Pramesti berusaha menenangkan Larasati dengan mengelus pundak gadis itu, sedangkan Sasanti yang juga berada di sisi Larasati lebih banyak diam memikirkan jalan keluar. “Tak tau bagaimana awalnya, Dharmasura menginginkan Laras Kencana,” kata Jayabhaya.” Ini bukan sesuatu yang baik, Dharmasura sangat ambisius. Dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa saja yang dia inginkan.”Jaya Amijaya gelisah. “Lalu kita harus bagaimana, Ayah?”“Semula aku berpikir dia akan melamar Larasati untuk putranya Jaka Lelana, tetapi ternyata Dharmasura sendiri yang tergila-gila.” Pria berhidung mancung itu tak menduga. “Aku tidak rela Larasati menikah dengan Dharmasura, Ayah. Dia bangsa Asura,” kata Pramesti. Jayabhaya masih begitu tenang menyikapi. “Kalian tak perlu khawatir! Laras Kencana tidak akan menikah. Aku telah menangguhka