"Kapan? Di mana? Bagaimana cara Guru Mada bertemu guru saya?" tanya Irman. "Kau pasti tau kan sebelumnya aku sempat menghilang. Sebenarnya aku tidak menghilang pada waktu itu. Hanya saja aku tersesat di waktu ikut rombongan festival. Aku terbawa menuju Padepokan Bayangan Singa," jelas Guru Mada. "Oh jadi pada waktu itu, guru tersesat ya. Lantas bagaimana guru bisa kembali lagi ke sini?" tanya Irman heran. "Aku mengikuti rombongan festival di hari terakhir. Toh, mereka melakukan perjalanan kembali dari Padepokan Bayangan Singa menuju alun-alun dekat bandar pelabuhan kan," jelas Guru Mada."Maaf guru, jika aku boleh tau. Hal apa saja yang guru temukan sewaktu guru berada di padepokan Bayangan Singa selain guru menjumpai Ki Segara Wetan?" tanya Irman kembali. "Hmmm, begini nak. Sebenarnya aku hanya diberi titipan surat ini oleh Guru mu, aku tidak bisa berbincang secara langsung," jelas Guru Mada sembari memberikan sepucuk surat kepada Irman. "Jadi Guru Mada hanya berpapasan saja dengan G
Irman segera membuka surat yang ditulis oleh sang guru. Di surat tersebut, hanya berisi tentang perintah dari Ki Segara Wetan kepada Irman, agar menuruti segala kata dari Guru Mada. Sebagai seseorang murid yang penurut, Irman tentunya akan menuruti segala kata yang ditulis oleh gurunya di surat tersebut."Apa kau sudah selesai membacanya?" tanya Guru Mada. "Sudah guru, saya telah selesai membacanya," jawab Irman. "Baguslah kalau begitu. Sekarang kita harus mempersiapkan diri untuk berangkat ke Kerajaan Kahn. Oh maaf maksudku kalau kau mau ikut. Kalau kau tidak berminat ikut ya sudahlah tidak masalah," jelas Guru Mada. "Aku ikut guru, bagaimanapun juga aku akan menyelamatkan guru ku dari Si Keparat Wei Fang itu," sahut Irman dengan amarah menyala-nyala. "Kau punya semangat yang bagus nak, namun perlu kau ingat satu hal. Kita harus dapat mengontrol emosi kita apa pun yang terjadi. Jika kita sampai mendahulukan emosi daripada akal sehat. Kita akan mati di tempat sebelum kita berperang," t
Bagaskoro dan Bajulgeni masih berada di dalam ruangan khusus Master Li Mo. Akan tetapi, buku yang diberikan oleh Master Li Mo tersebut menggunakan aksara sansekerta kuno. Untungnya di buku tersebut terdapat catatan di beberapa halaman buku. Catatan tersebut diselipkan oleh Master Li Mo tatkala Master Li Mo mencoba menafsirkan arti buku tersebut. Di beberapa halaman pula Master Li Mo menandai beberapa kata yang dinilai punya makna ganda."Buku ini memang unik ya kang," ujar Bagaskoro. "Begitulah, tapi aku tidak bisa paham semua bahasanya," jelas Bajulgeni. "lho, bukankah kakang paham tentang bahasa sansekerta ya?" tanya Bagaskoro. "Ya aku memang paham, namun di beberapa kutipan itu ada bahasa kuno lainnya. Ditambah ada beberapa istilah yang mengartikan makna lain di dalamnya," jelas Bajulgeni.Bajulgeni yang mengerti bahasa sansekerta terus meneliti isi buku tersebut. Ia membaca halaman daftar isi yang kebetulan menggunakan bahasa sansekerta dengan cermat. Ia membaca dengan teliti, bah
Setelah mendengar penuturan Master Li Mo, Bajulgeni terkejut bukan kepalang. Sejenak Bajulgeni mencoba mengingat-ingat tentang semua pelajaran yang sudah diberikan oleh gurunya. Termasuk, dulu ia pernah diceritakan bermacam-macam hal oleh gurunya. Bajulgeni dengan sekuat tenaga masih mencoba mengingat-ingatnya. Ia tidak asing dengan nama Wijaya Negoro."Ada apa kakang? Adakah suatu hal yang aneh?" tanya Bagaskoro memastikan. "Entahlah aku sepertinya pernah mendengar nama Wijaya Negoro. Dan seingatku juga, dulu aku terkagum-kagum tidak karuan. Aku ingat betul Guru Mada pernah menyebut nama itu," jelas Bajulgeni. "Oh jadi begitu ya," timpal Bagaskoro. "Bagaimana nak? Apa ada hal yang perlu kau tanyakan. Atau ada hal yang ingin kau diskusikan. Kelihatannya kau berpikir sangat keras," ujar Master Li Mo yang ternyata memiliki nama asli Wijaya Negoro tersebut."Maaf Master Wijaya, aku ingin bertanya beberapa hal jika diizinkan. Sebelumnya aku benar-benar minta maaf, jika nantinya aku menyin
"Apa yang terjadi Wijaya? Apa kau baik-baik saja?" tanya Segara Wetan. "Tidak, aku tidak apa-apa," jawabku. "Kau di sini saja. Aku dan rekan-rekan akan mencoba mengejar dan mencari keberadaan Wei Fang. Hei kalian! Ayo kita cari Wei Fang," ujar Segara Wetan. Aku pun segera kembali menuju ruangan Guru Suleiman.Guru Suleiman nampak bingung akan apa yang terjadi barusan. Beliau hanya menatap ku dengan perasaan sedih. "Ada apa guru? Mengapa guru kelihatan sangat sedih?" tanyaku. "Hmmmm, Bagaimana ya? Aku akan menjelaskannya nanti setelah aku selesai dengan pewarisan pusaka kepada Mada," tegas Guru Mada. Aku pun menunggu dengan sabar sampai Guru Suleiman menyelesaikan perbincangannya.Tidak berselang lama, aku pun tertidur. Aku dibangunkan oleh Mada setelahnya. "Hei Wijaya! ayo bangun, perbincangan ku dengan guru telah selesai. Sekarang beliau menunggumu," ucap Mada. "Huaaa, apa sudah selesai dari tadi?" tanyaku setengah sadar. "Tidak, baru saja selesai, lebih baik kau basuh muka dulu. Set
Aku pun segera pergi ke kamar dan beristirahat. Dalam tidur pun aku masih terngiang-ngiang atas apa yang telah menimpa ku sebelumnya. Hal itu membuatku semakin sulit untuk tidur. Aku pun mencoba membaca beberapa buku, untuk menghilangkan keraguan dan menenangkan pikiranku. Tak ayal, saat membaca buku pun aku akhirnya tertidur.***"Maaf master, aku izin menyela," ujar Bajulgeni. "Ya nak, ada apa? apa yang ingin kau sampaikan?" tutur Master Li Mo. "Bagaimana kalau ceritanya dilanjutkan esok hari saja. Lihatlah ke luar jendela, hari sudah petang," ujar Bajulgeni. "Oh, benarkah?" sahut Master Li Mo dengan kaget.Master Li Mo pun setelah menengok ke arah luar. Betapa terkejutnya Master Li Mo, mendapati bahwa matahari telah terbenam. Ia pun segera kembali ke tempat duduknya. "Kelihatannya, aku bercerita terlalu asik, sampai tidak ingat dengan waktu ya," celetuk Master Li Mo. "Mungkin begitu master, hehehehe," timpal Bagaskoro. "Baiklah, kalau begitu kita cukupkan saja untuk hari ini. Kalia
"Kalau begitu kalian bisa segera membukanya dulu saja, Aku akan ke belakang sebentar," tutur Master Li Mo. "Baik Master," jawab Bagaskoro dan Bajulgeni. Master Li Mo pun segera meninggalkan ruangan. Dia pergi meninggalkan mereka berdua."Bagaimana kakang, apakah kita akan membukanya?" tanya Bagaskoro. "Entahlah, tapi rasanya tidak enak kalau kita buka berdua langsung tanpa menunggu Master Li Mo," jawab Bajulgeni. "iya, kelihatannya seperti itu. Aku penasaran saja kang, mengapa kita diberitahu langsung mengenai keberadaan pusaka sakti ini? Padahal murid dari generasi sebelumnya saja dilarang untuk mengetahuinya," ujar Bagaskoro.Mendengar ucapan Bagaskoro, Bajulgeni sejenak berpikir cukup dalam. Ia benar-benar memahami ucapan Bagaskoro dengan penuh perasaan dan pikiran. Ia rasa apa yang dikatakan Bagaskoro memang benar apa adanya. Apa sebenarnya alasan yang dimiliki oleh Master Li Mo, sehingga mereka diberitahu begitu saja tanpa ada pengujian terlebih dahulu. "Apa yang sebenarnya terja
***Kapal yang dinaiki oleh Guru Mada dan Irman masih menerjang lautan badai yang ganas. Sapuan angin dan ombak terus menghantam kapal tersebut. Tak peduli di pagi hari, di siang hari, atau di malam hari. Kapal tersebut terus bertarung dengan ganasnya lautan dia sekelilingnya. Irman yang berasa di dalam dek kapal memutuskan untuk keluar melihat sekelilingnya. Irman menatap tajam terhadap ganasnya ombak lautan yang sedang mereka hadapi."Hai Irman, apa yang kau pikirkan? kelihatannya kau terus memandangi lautan dengan perasaan bingung," kejut Guru Mada. "Eh... Guru Mada, tidak ada guru, saya tidak memikirkan hal-hal yang aneh. Hanya saja, semenjak kita meninggalkan daratan dan sampai di sini, di tengah-tengah lautan saya berpikir seberapa tangguh pendahulu kita yang mengarungi lautan, menerjang badai di sepanjang perjalanannya dan terus bertahan sampai pada daratan," jawab Irman. "Hahahaha, kepekaan dan pengetahuan mu sangat luas ya nak, pasti Segara Wetan bangga punya murid seperti mu