VIOLAAku sedang bersiap-siap untuk menjemput Ben ke bandara sambil mendengar cerita Lakeizia mengenai keseruannya main sepeda dengan Kenzio. Nggak ada habisnya pujian terlontar dari mulutnya mengenai Yanda-nya itu."Nda, tau nggak, hari Minggu Yanda mau ngajak Kei lagi.""Main sepeda?""Bukan, Nda, tapi Yanda mau ngajak Kei ke pantai. Kata Yanda Kei mau diajarin surfing.""Apa?" Aku terbeliak mendengar penuturan Lakeizia."Kok Bunda kaget?" Lakeizia menatapku heran."Gimana Bunda nggak kaget, Nak. Kei tau nggak surfing itu apa?" Aku menatap Lakeizia selekat mungkin."Ya taulah, Nda. Tadi Yanda udah ngeliatin sama Kei papan surf-nya. Terus Yanda juga ngeliatin foto-foto saat Yanda surfing di pantai.""Kei nggak takut memangnya? Surfing itu bukan main-main biasa, Nak. Ombaknya besar, Kei juga bisa jatuh kalau nggak hati-hati. Kalau udah jatuh Kei bisa tenggelam."Lakeizia menggelengkan kepalanya yang membuatku kehilangan kata. "Kan ada Yanda. Kei nggak sendiri. Yanda bakal ngelindungin
KENZIOViola dan Ben kompak termangu setelah kutagih buku nikah pada mereka. Namun kemudian Viola mengambil alih situasi.“Duh, Zio, kebetulan buku nikah kami hilang dan kebetulannya lagi aku nggak punya kopiannya,” ucapnya dengan wajah sangat menyesal memohon pengertian dariku.Aku kesulitan menahan diri untuk tidak tertawa kala mendengar ucapan Viola. Agaknya dia benar-benar lupa sedang berbicara dengan siapa. Dan aku rasa dia juga lupa atau tidak memperhitungkan kemungkinan yang satu ini.“Jadi bukunya hilang?” tanyaku mengonfirmasi.Dia memberi jawaban anggukan kepala.“Nggak apa-apa kalau memang nggak ada kopiannya. Kita masih bisa telusuri datanya.”“Maksudnya?” Viola mengerutkan dahi.“Kita bisa tracking data kamu dan Ben secara online. Di sana semuanya lengkap. Mulai dari hari dan tanggal menikah sampai KUA tempat pernikahan kalian terdaftar. Sesimpel itu. Jadi nanti hasil print out-nya bisa digunakan sebagai bukti yang sah bahwa kalian benar suami istri. Kata Pak RT nggak apa
KENZIO"Dia bukan istri gue. Kami nggak pernah menikah,” ucap Ben padaku.Seketika seperti ada aliran air membasahi tenggorokanku yang kering mendengar pengakuan lugas lelaki di hadapanku ini. Sejak mendengar cerita Lakeizia yang dituturkan dengan lugu aku memang sudah menduganya. Keyakinanku bertambah kuat oleh sikap Viola yang aneh seakan sedang menutupi sesuatu dariku. Dan ternyata semua terbukti. Ben sendiri yang mengakuinya tanpa aku perlu berepot-repot mencari tahu."Really? Terus kenapa lo ngaku sebagai suaminya?" Aku mencoba untuk bersikap seolah-olah terkejut dan cukup sulit untuk melakukan itu karena nyatanya aku sudah tahu."Viola yang minta gue buat pura-pura jadi suaminya. Karena katanya ada cowok usil yang suka menggoda dia, yaitu lo.”Aku tak kuasa menahan senyum. Ternyata aku membuatnya sebegitu kesal hingga Viola benar-benar sebal padaku."Memang suaminya ke mana? Kenapa dia minta lo? Kenapa bukan suaminya aja yang ke sini?"Ben menyesap Americano-nya sesaat sebelum m
VIOLA“Nda, Ayah sama Yanda ke mana sih? Kok lama banget dari tadi nggak pulang-pulang?” Lakeizia mulai resah ketika sudah berjam-jam berlalu namun Ben dan Kenzio masih belum kembali.“Mungkin sebentar lagi, kita tunggu aja ya,” jawabku sambil membelai kepala si gadis kecil. Dia sudah nggak sabar ingin quality time dengan ayahnya.“Nanti kita ke pantai sama Ayah dan Yanda ya, Nda?”“Om Zio nggak bisa, Nak. Om Zio lagi sibuk,” jawabku menolak keinginan Lakeizia.“Yaaa … kok gitu sih? Mana seru kalau nggak ada Yanda.” Lakeizia mengerucutkan mulutnya tidak terima.Aku membungkukkan badan. Menyejajarkan posisi tubuh dengannya. Lalu kuberi dia pengertian.“Dulu waktu kita tinggal di Batam nggak ada Om Zio, kita selalu pergi bertiga. Tapi tetap seru kan?”“Tapi waktu itu kita kan belum kenal sama Yanda, jadi mana bisa jalan sama-sama.”Aku salah jika berpikir Lakeizia akan berhenti mendebatku. Dia malah mengeluarkan argumen lain yang membuatku nggak habis pikir pada alur pikirannya. Yang di
KENZIOSetelah pembicaraan dengan Ben tadi aku pulang ke rumah. Ben juga pulang ke rumah Viola. Aku sengaja nggak mengekorinya karena semua sudah terungkap. Ben menyerahkan semua padaku untuk menyelesaikan masalah dengan Viola. Mengingat betapa keras hati Viola, aku yakin ini semua nggak akan mudah. Tapi untungnya aku memiliki banyak waktu di sini. Aku nggak menyesali keputusanku untuk tidak mengambil job dulu karena ternyata di balik keputusan-keputusan itu ada hikmah yang begitu besar.Tok ... tok ... tok ..."Zio!"Suara Rhiannon terdengar bersama ketukan di depan pintu. Ternyata dia sudah pulang dari Lombok."Masuk aja, Rhi, nggak dikunci."Pintu terbuka setelah aku menyahut.Rhiannon melangkah ke dalam lalu ikut naik ke tempat tidur dan berbaring di sebelahku."Duh, capek banget. Badan aku berasa mau rontok," keluhnya."Ya jangan sampai rontok dong. Kalo nggak punya badan gimana?""Zio, ah, becanda mulu. Ini beneran aku capeknya nggak main-main.""Ya udah, istirahat kalau gitu."
VIOLASudah kuduga sebelumnya. Berdua dengan Kenzio akan membuatku terjebak dalam momen ini. Kami harus membicarakan sesuatu yang selama ini sangat aku hindari. Dan dugaanku tadi bahwa Kenzio merencanakan semuanya dengan matang semakin mendekati nyata.“Aku mohon kamu jangan menghindar lagi, Vio. Sudah saatnya kita bicarakan masalah ini secara dewasa. Aku tau akulah yang salah dalam hal ini. Aku nggak akan menyangkal. Sepenuhnya ini memang salahku. Tapi tidakkah aku berhak atas kesempatan kedua?” Kenzio membicarakannya tanpa kata pembuka atau basa-basi. Dia sedikit pun nggak membahas mengenai sandiwara yang kulakukan. Seakan kejadian tadi pagi tentang aku yang mengakui Ben sebagai suami nggak pernah terjadi.“Sorry, Zio, seharusnya kamu nggak perlu meminta kesempatan apa pun padaku karena kesempataan itu mutlak punya kamu. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu membuangnya, kamu melempar kesempatan untuk bersamaku jauh-jauh. Kamu lebih memilih untuk bersama Clara. Jadi kesempatan apa lagi?
VIOLA Hujan yang turun rintik-rintik di luar sana meniupkan hawa dingin yang menelusup sampai ke tulang. Sesekali terdengar suara guruh yang seakan ingin membelah langit.Aku merapatkan selimut membentengi diri dari udara dingin yang membuat tubuhku menggigil. Di sebelahku Lakeizia sudah tertidur sejak berjam-jam yang lalu. Keasyikannya bermain di pantai tadi membuat anak itu lelah tapi bahagia. Sehingga setibanya di rumah kasur adalah hal pertama yang dicarinya.Sedangkan aku sampai jam segini sepicing pun belum bisa memejamkan mata. Bukan karena insomnia yang datang tiba-tiba, melainkan karena perasaan membuncah akibat terlalu bahagia. Semua beban berat yang selama ini menggayuti pundakku terangkat sudah. Yang tersisa hanya perasaan lega.Notifikasi dari ponsel yang kuletakkan di nakas menjadi bebunyian lain yang menyela suara hujan di luar sana. Bibirku otomatis melengkungkan senyum saat melihat nama ‘Yanda’ tertera di layar. Secepat itu aku mengganti namanya di daftar kontakku. S
KENZIO Semalam aku meninggalkan rumah Viola setelah dia tidur. Sebelum tertidur Viola memberitahu letak kunci cadangan rumahnya padaku sehingga aku bisa mengakses kapan pun aku mau. Lalu pagi ini aku sudah nggak tahan menyimpannya sendiri. Aku nggak mau membuang lebih banyak waktu. Aku nggak akan bisa tenang sebelum menyampaikan pada Papa dan Ayang mengenai Viola dan Lakeizia."Zio, kenapa sih dari tadi duduknya gelisah? Nggak enak masakan aku?" tegur Rhiannon yang duduk di sebelahku, berhadapan dengan Papa dan Ayang. Saat ini kami sedang sarapan pagi."Enak banget," jawabku. "Masih ada lagi nggak?" Pagi ini Rhiannon menyediakan egg muffin untuk kami."Ada tuh di belakang. Mau nambah? Itu kan belum habis." Dia melirik piringku, heran."Bukan untuk aku sih, tapi buat Kei.""Lakeizia?"Aku memberi jawaban anggukan kepala lalu bangkit dari tempat duduk. Seluruh mata tertuju padaku saat aku menyuruh ART kami mengantar dua porsi egg muffin ke rumah sebelah."Yang, Zio kenapa sih perhatian